- Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengumumkan standar baru untuk perusahaan-perusahaan yang menjadi anggotanya dalam pertemuan tahunan di Bangkok, November 2024 lalu.
- Standar baru ini, yang merupakan pembaruan dari pedoman 2018, menawarkan perbaikan pada aspek perlindungan sosial dan lingkungan, menurut RSPO.
- Namun, kelompok kritis dan advokasi menilai standar ini membuka celah yang dapat memperburuk kerusakan hutan.
- RSPO membantah hal tersebut, dan menegaskan bahwa standar baru ini justru lebih ketat dibandingkan yang lama.
Sidang Umum Forum Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah forum pemangku kepentingan sawit dunia, dengan suara bulat telah menyetujui adanya standar RSPO 2024 pada pertemuan 13 November 2024 lalu di Bangkok.
Standar yang telah direvisi mencakup berbagai perkembangan, termasuk: integrasi Konservasi Nilai TInggi (High Conservation Value Forest/HCV) dengan Karbon Stok Tinggi (High Carbon Stock/HCS) yang disingkat HCV-HCS yang memastikan pembukaan lahan yang bertanggung jawab, hingga penanganan dampak operasi perusahaan terhadap isu hak-hak asasi manusia dalam rantai pasokan.
Aturan baru juga mengatur kredit petani kecil independen (ISH) agar memiliki akses ke sertifikasi dan pasar baru, audit dan penerapan peta jalan konservasi lingkungan dan ketenagakerjaan serta komitmen untuk melindungi hak masyarakat adat dan lokal lewat (FPIC).
RSPO menyatakan bahwa standar baru ini bakal mempertahankan perlindungan yang ada pada standar sebelumnya dan memperkenalkan perbaikan untuk mempermudah implementasi dan audit.
Namun, beberapa LSM mengatakan bahwa standar baru ini bisa membuka celah bagi deforestasi, terutama melalui pengenalan definisi baru untuk hutan stok karbon tinggi atau high-carbon stock (HCS) oleh RSPO yang berbeda dengan pendekatan HCS (HCS Approach) yang diakui secara global.
Para kritikus menyebut pendekatan ini membuka peluang perluasan kebun sawit ke dalam hutan, karena dalam definisi RSPO lebih memprioritaskan nilai karbon hutan daripada peran ekologis hutan yang lebih luas.
“Dalam Prinsip dan Kriteria yang direvisi, RSPO telah melemahkan komitmennya untuk memastikan Nol Deforestasi,” Grant Rosoman, Staf Senior dari Greenpeace International dalam sebuah pernyataannya.
Kekhawatiran akan Deforestasi yang Berlanjut
Berdasarkan standar yang ada, perusahaan sawit yang menjadi anggota RSPO diharuskan untuk melestarikan hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan karbon yang mendukung masyarakat lokal, dengan menggunakan perangkat pendekatan HCV dan HCS untuk identifikasi kawasan hutan.
Setelah berjalan beberapa waktu, -yaitu sejak 2018, kini aturan baru dibuat, lewat standar baru instrumen yang dipadukan untuk menilai HCV dan HCS.
“Tidak ada sama sekali yang mengurangi kewajiban anggota untuk melindungi HCV atau HCS,” kata Kepala Eksekutif RSPO Joseph D’Cruz kepada Mongabay.
Dia menyebut standar baru direvisi agar lebih jelas, lebih mudah diaudit, dan lebih praktis untuk berbagai geografi, tanpa melemahkan perlindungan 2018, imbuhnya.
Namun, hal itu ditepis oleh perwakilan NGO yang mengidentifikasikan adanya celah aturan yang dapat melemahkan standar tersebut, terutama terkait dengan komitmen untuk menghentikan deforestasi.
“Masalah utamanya terletak pada rinciannya,” ujar Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan dari Rainforest Action Network (RAN), kepada Mongabay.
Koalisi LSM mengatakan, salah satu potensi kelemahan dalam standard baru itu adalah definisi Hutan HCS yang telah direvisi.
Standar 2018 menggunakan definisi yang tercantum dalam HCSA (High Carbon Stock Approach) yang diakui secara global. Namun, RSPO mengadopsi definisi sendiri yang berbeda dalam standard baru ini.
“RSPO telah menggantikan definisi global yang kredibel yang tercantum dalam High Carbon Stock Approach dengan definisi yang mereka buat sendiri,” ujar Tillack.
Dia menyebut definisi hanya mempertimbangkan nilai karbon dari hutan, tanpa memperhitungkan nilai ekologi hutan yang lebih luas bagi keanekaragaman hayati, pengaturan air, dan makna budaya bagi masyarakat adat dan lokal.
Dalam definisi ini, RSPO ini juga mendasarkan penilaiannya pada perbandingan antara kehilangan karbon akibat pembukaan hutan dengan potensi peningkatan karbon dari perkebunan sawit.
Ini berarti anggota RSPO berpotensi dapat membuka hutan, jika mereka dapat membuktikan bahwa sawit yang mereka tanam di lahan itu bisa menawarkan manfaat penyimpanan karbon yang jauh lebih besar daripada hutan sebelumnya.
“[Ini] akan melebih-lebihkan manfaat karbon dari sawit,” kata Tillack. “Menetapkan apa yang dimaksud dengan hutan hanya dengan membandingkannya dengan [karbon] perkebunan sawit adalah hal yang sangat-sangat keliru.”
Sebuah studi pada tahun 2016 menemukan bahwa 11 dari 14 fungsi ekosistem di perkebunan sawit berkurang jika dibandingkan dengan hutan, termasuk penyerapan air, pencegahan erosi tanah, dan mempertahankan suhu lokal akibat berkurangnya naungan.
Perkebunan juga menguras nutrisi tanah, karena pertumbuhan tanaman monokultur yang terus-menerus memerlukan pupuk dan pestisida yang intensif.
Pendekatan sederhana yang hanya fokus pada penyerapan karbon juga mengabaikan emisi gas rumah kaca lainnya, seperti oksida nitrat dan metana, serta emisi dari pengolahan dan kegiatan hilir, kata RAN.
“Kekhawatiran saya, perusahaan dan auditornya akan menggunakan definisi tersebut untuk memanipulasi apa yang diperbolehkan terkait deforestasi,” kata Rosoman
Dia mengungkapkan bahwa dia tidak mengerti mengapa RSPO memilih untuk memperkenalkan definisi Hutan HCS mereka sendiri. Rosoman bilang, kemungkinan RSPO ingin menghindar dari instrumen HCSA yang tidak bisa mereka kontrol.
Ketua RSPO, D’Cruz, membantah hal ini. “Penyesuaian definisi ini tidak melemahkan standar,” katanya.“Sebaliknya, ini bertujuan untuk menyeimbangkan ketelitian teknis dengan kebutuhan spesifik bagi merka yang sedang mempersiapkan sertifikasi, sambil tetap menjaga keselarasan dengan tujuan keberlanjutan yang lebih luas.”
Definisi hutan HCS saja, ujarnya, tidak bisa sepenuhnya menggambarkan rumitnya penilaian area dengan nilai sosial dan lingkungan yang krusial yang perlu dilindungi.
Mengganti Kerugian Akibat Deforestasi
Poin lain yang menjadi perhatian bagi LSM adalah penggunaan prosedur remediasi (pemulihan lahan) & kompensasi (disingkat: RaCP) yang kontroversial, yang tetap digunakan tanpa perubahan.
Salah satu prinsip inti yang sudah lama ada dalam RSPO adalah bahwa anggotanya tidak boleh melakukan deforestasi setelah tanggal batas yang telah ditentukan. Untuk area HCV, yang kaya akan keanekaragaman hayati atau memiliki nilai penting bagi komunitas lokal, tanggal batas tersebut adalah November 2005; untuk area HCS, tanggal batasnya adalah November 2018.
Tidak ada perusahaan anggota yang boleh membuka hutan di area-area ini setelah tanggal tersebut tanpa bukti dan penilaian yang spesifik.
Namun, pelanggaran terus terjadi, sebagian besar disebabkan alasan ketidaktahuan tentang standar RSPO, terutama persyaratan penilaian HCV. Deforestasi juga kadang-kadang dilakukan oleh perusahaan non-RSPO yang kemudian perusahaannya diakuisisi atau digabungkan dengan organisasi anggota RSPO yang sudah ada.
“[RSPO] jelas tidak ingin mengecualikan calon anggota yang telah [menebang] hutan setelah November 2018 atau bahkan setelah Desember 2020. Mereka secara efektif terus mensertifikasi produsen yang terlibat dalam deforestasi,” kata Rosoman dari Greenpeace.
Sebaliknya D’Cruz mengatakan prosedur RaCP tidak mengizinkan deforestasi. Prosedur ini melalui proses perbaikan terstruktur, dan memastikan setiap dampak lingkungan diperhitungkan dan diperbaiki.
“Fokusnya pada memastikan bahwa setiap pembukaan lahan setelah November 2018 dikelola secara transparan, dengan langkah-langkah ketat yang diterapkan untuk mencegah deforestasi lebih lanjut,” katanya.
Terkait dengan aturan baru Uni Eropa yaitu EUDR, RSPO mengatakan akan segera beralih ke sistem ketertelusuran secara digital baru yang disebut PRISMA. Ini memungkinkan para anggota untuk memasukkan data geolokasi kepatuhan EUDR ke dalam catatan ketertelusuran mereka.
Namun klaim RSPO bahwa RaCP menyediakan solusi efektif untuk hilangnya hutan tidak terbukti, kata Rosoman.
Sebuah tinjauan independen RaCP pada tahun 2020 menemukan bahwa perusahaan anggota RSPO telah mengungkapkan hingga 1 juta hektar pembukaan lahan yang tidak sesuai atau deforestasi.
Hanya 18% dari kasus-kasus ini yang telah menyelesaikan proses RaCP sepenuhnya, dan hanya 8% yang telah menyetujui rencana kompensasi. Dalam lebih dari 98% kasus, tidak ada bukti pemulihan di lapangan, menurut tinjauan studi tersebut.
“Jadi RaCP cukup lemah dalam hal deforestasi hutan di masa lalu. Jika Anda memiliki prosedur kompensasi yang lemah, itu tidak akan menjadi alat pencegah sama sekali,” katanya.
Hak Masyarakat Adat dalam Memberikan Persetujuan
Kritikus juga melihat potensi celah dalam standar baru RSPO, dalam perlindungan lingkungan dan sosial. Dalam aturan baru, terdapat upaya untuk melemahkan standar agar perusahaan dapat terus membuka hutan.
Upaya ini sudah terlihat pada draf sebelumnya dari standar baru, menurut Marcus Colchester, Penasihat Senior Kebijakan di organisasi hak asasi manusia Forest Peoples Programme (FPP), yang turut serta dalam proses revisi.
Titik yang paling mencolok adalah penghapusan total kewajiban bagi anggota RSPO untuk memperoleh Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan dari para pengguna lahan (baik Masyarakat Adat maupun lokal) yang sudah ada sebelum konsesi perkebunan ada, kata Colchester.
FPIC sendiri telah menjadi persyaratan utama dalam standar RSPO, sejak pertama kali diadopsi pada tahun 2005.
Standar 2018 mengharuskan FPIC dilakukan untuk operasi yang sedang berjalan maupun penanaman baru. Namun, draf sebelumnya dari standar baru menghapus kewajiban FPIC untuk perkebunan yang sudah ada, menurut Colchester.
“Hal ini memberikan perusahaan cara untuk menghindari proses FPIC dan membuka peluang bagi pelanggaran hak asasi manusia yang serius serta perampasan lahan. Bahkan meskipun draf sebelumnya mempertahankan kewajiban FPIC untuk penanaman baru, teksnya telah banyak dipermudah,” jelas Colchester.
Misalnya, dia mengatakan, draf tersebut menghapus semua referensi terhadap hukum internasional, meskipun hak Masyarakat Adata dan Komunitas Lokal secara khusus tercantum dalam hukum internasional, terutama dalam Konvensi Masyarakat Adat dan Suku Terasing ILO tahun 1989, dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat tahun 2007.
“Pelemahan ini bertentangan dengan hukum internasional, praktik terbaik industri, dan membalikkan kebijakan RSPO selama 19 tahun yang mendukung FPIC, termasuk untuk operasi yang sudah ada,” katanya.
Standar Baru yang Diperlemah?
D’Cruz membantah bahwa perubahan telah dilakukan untuk melemahkan standar, termasuk penghapusan persyaratan FPIC, dengan mengatakan salah satu prinsip inti dari proses revisi tidak akan ada penurunan standar dibandingkan dengan tahun 2018.
Ia menambahkan bahwa hal ini terjadi setiap kali standar RSPO direvisi. Dia bilang mereka telah melakukan proses dengar pendapat dengan banyak pihak.
“Kami bahkan melibatkan lembaga sertifikasi, lembaga penjaminan kami dan bertanya kepada mereka sebagai auditor. Ketika Anda membaca ini, apakah ada risiko auditor dapat menafsirkan ulang ini sebagai pengurangan standar?’” katanya.
Berdasarkan standar baru, anggota RSPO juga diharuskan untuk melakukan uji tuntas hak asasi manusia dan mengembangkan rencana aksi yang sesuai, termasuk bagi para pemasok sawit.
“Karena kami menyadari bahwa fokus pada hak asasi manusia sangat penting saat ini untuk kredibilitas di pasar,” kata D’Cruz.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, kelompok advokasi independen yang berbasis di Indonesia, mengatakan RSPO harus mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab karena diduga mencoba melemahkan standar baru tersebut.
“Apakah ini agenda perorangan atau perusahaan tertentu? Jika ini kebijakan perusahaan [untuk melemahkan standar], maka RSPO perlu membentuk tim independen untuk menyelidikinya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip perbaikan berkelanjutan RSPO,” katanya.
Tulisan ini pertamakali diterbitkan di Mongabay Globa di sini pada tanggal 6 November 2024. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Catatan Akhir Tahun 2024: Tata Kelola Karut Marut, Sawit Terus Ekspansi