Skeptisnya Ahli dan Pelaku Usaha akan Janji Capaian Transisi Energi Indonesia

9 hours ago 3
  • Para pelaku industri energi dan para ahli menyatakan skeptis terhadap target iklim ambisius Indonesia, yang pada KTT G20 tahun lalu dinyatakan oleh Presiden Prabowo Subianto.
  • Dalam pertemuan itu Prabowo berjanji untuk mengembangkan 75 GW energi bersih atau lebih dari lima kali lipat kapasitas pembangkit energi terbarukan Indonesia saat ini.
  • Pelaku usaha mencatat bahwa regulasi yang sering berubah-ubah membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di sektor transisi energi.
  • Di sektor kendaraan listrik (EV), program ambisius untuk mensubsidi konversi 50.000 sepeda motor berbahan bakar bensin ke listrik pada tahun 2024 ternyta hanya berhasil mengkonversi 1.500 unit capaian.

Pada bulan November lalu, di Konferensi G20 di Rio de Janeiro, Presiden Prabowo Subianto, menyebut Indonesia dalam waktu 15 tahun ke depan, akan menutup hampir semua pembangkit listrik tenaga batubara (PLUTU), termasuk pembangkit listrik captive, yang memasok listrik untuk tambang dan peleburan yang terpisah dari jaringan listrik utama.

Sebagai gantinya sekitar 75 gigawatt energi bersih, -sebagian besar dari sumber terbarukan, akan dikembangkan dalam kurun waktu yang sama. Indonesia akan mencapai emisi karbon nol-bersih (net-zero) pada tahun 2050, 10 tahun lebih cepat dari tenggat 2060 yang diumumkan tiga tahun sebelumnya oleh pendahulu Prabowo, Joko Widodo.

Masalahnya, rencana ini tidak sejalan dengan kondisi lapangan, dan jauh di bawah perkiraan permintaan listrik. Bahkan dengan target energi terbarukan Indonesia yang telah disepakati secara internasional, sebut para praktisi.

Bagi Edwin Widjonarko, salah satu pendiri Xurya Daya Indonesia, perusahaan yang memasang panel surya atap untuk klien secara komersial, pengumuman pada November lalu adalah contoh lain dari kebijakan yang selalu berubah.

Dalam aturan yang mengatur panel atap surya, regulasi telah berubah lima kali sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2018. Versi terbaru, yang diterbitkan pada Januari 2024, melarang penjualan kelebihan daya listrik (grid) ke jaringan PLN milik negara. Padahal sebelumnya hal itu diizinkan pada Maret 2021.

Menurut Edwin, perubahan-perubahan semacam itu terkesan dadakan dan membuat investor khawatir. Akibatnya menimbulkan keraguan terhadap kelayakan bisnis jangka panjang untuk energi terbarukan.

“Kami telah melihat banyak perubahan, terkadang ke arah positif, terkadang ke arah negatif, bisa terjadi beberapa kali dalam rentang satu atau dua tahun,” katanya kepada Mongabay.

“Itu tidak baik untuk strategi transisi ke energi terbarukan dalam jangka panjang.”

Panel surya yang mendukung pasokan listrik untuk Grand Hyatt Jakarta di pusat ibu kota Indonesia. Foto: Xurya.

Investasi Swasta di Sektor Energi Terbarukan

Pembuat kebijakan di Indonesia mengatakan mereka ingin lebih banyak listrik yang bersumber dari energi terbarukan, dan menyatakan bahwa investasi swasta diperlukan untuk membantu pencapainnya.

Dalam rencana pasokan 10 tahun dari PLN, yang dirilis  Januari 2025, target kapasitas pembangkit listrik terbarukan adalah 71 GW, tidak jauh dari janji Prabowo pada November lalu. Rencana sebelumnya pada tahun 2021 menargetkan hampir 21 GW dari energi terbarukan, sementara blueprint tahun 2019 menargetkan 16,7 GW. 

Namun, hingga akhir tahun 2024, tenaga air, surya, dan sumber listrik terbarukan lainnya hanya menyumbang sedikit lebih dari 13 GW kapasitas terpasang, atau kurang dari seperlima target 75 GW.

Meski begitu, ada beberapa kemajuan. Bursa karbon Indonesia, IDXCarbon, pertama kalinya dibuka untuk investor di Januari 2025 sejak mulai diperdagangkan pada September 2023. Tahun ini, bursa tersebut telah menggandakan jumlah proyek perdagangan karbon menjadi enam, termasuk pembangkit listrik yang lebih bersih dan efisien.

Target Prabowo saja, -yang mencakup pengeluaran untuk sekitar 28 GW pembangkit listrik baru berbahan bakar batubara dan gas pada tahun 2040, akan membutuhkan investasi hingga USD 235 miliar.  Sebagai perbandingan, total pengeluaran pemerintah tahun lalu mencapai USD 210 miliar.

Jika ingin memenuhi komitmennya di bawah Perjanjian Paris yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga hampir sepertiga pada akhir dekade ini, Indonesia memerlukan sekitar USD 146 miliar dana dari sektor swasta, mengacu pada Institute for Energy Economics and Financial Analysis dalam laporan yang terbit pada bulan Juli lalu.

Namun, pengambilan keputusan di tingkat birokrasi yang lambat dianggap menjadi masalah yang terus-menerus terjadi.

Pada Juli lalu, Kementerian ESDM telah membatasi kapasitas pembangkit energi surya baru hingga sedikit lebih dari 1,5 GW pada akhir 2028. Meski itu dua kali lipat dari yang diperkirakan tersedia saat ini, jumlah itu kurang dari 2% dari kapasitas terpasang Indonesia saat ini.

Sebagai perbandingan, energi surya saja menyumbang 10,5% dari listrik yang dihasilkan oleh Vietnam pada tahun 2023.

Eka Himawan, rekan pendiri Edwin di Xurya, mengatakan bahwa dengan pembatasan dalam regulasi di Indonesia, yang dimaksudkan untuk melindungi jaringan listrik dari ketidakstabilan sumber energi seperti surya dan angin, akan membuat investor enggan untuk mengembangkan bisnis mereka.

Sejak didirikan pada tahun 2018, Xurya telah mengumpulkan hampir USD 90 juta melalui modal ventura. Lebih dari setengah jumlah tersebut, yaitu USD 55 juta berasal dari Norwegian Climate Investment Fund dan Clime Capital yang berbasis di Singapura, yang berfokus pada investasi energi. Perusahaan modal ventura asal Jakarta, AC Ventures, juga turut menjadi investor.

“Saya membayangkan pendanaan akan sangat langka untuk sektor ini sampai kuota ini diperbaiki,” kata Eka.  “Jika pemerintah ingin menarik penanaman modal asing (foreign direct investment).di sektor ini, mereka sebaiknya memikirkan kembali angka batas atasnya,” tambah Eka.

Sebuah pembangkit listrik tenaga air di Danau Maninjau di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Foto: D.W. Fisher-Freberg  via Wikimedia Commons (CC BY-SA 3.0).

Problem di Birokrasi

Pada bulan Mei lalu, dalam sebuah Konferensi Badan Energi Internasional di Nairobi, Joko Widodo yang saat itu menjabat Presiden, mengumumkan telah mengalokasikan dana sebesar USD 455 juta untuk subsidi penjualan sekitar 800.000 sepeda motor listrik dan biaya konversi sekitar 200.000 sepeda motor bermesin bensin menjadi listrik. Subsidi akan diberikan sebesar Rp 10 juta per sepeda motor.

Tujuan dari program ini adalah agar Indonesia bisa keluar dari himpitan subsidi sebesar hampir Rp 270 triliun yang dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya untuk menjaga harga bahan bakar, gas, dan listrik tetap rendah bagi konsumen dan dunia bisnis.

Di bawah program konversi, bengkel-bengkel kecil akan didorong untuk melakukan konversi dan belajar perihal pemeliharaan kendaraan listrik.

Target awal subsidi kendaraan listrik (EV) pada 2024 adalah mengonversi 50.000 unit sepeda motor konvensional. Namun, hanya 1.500 sepeda motor yang berhasil dikonversi menjadi EV di bawah program tersebut tahun lalu.

Putu Kurniawan, yang mendirikan bengkel konversi kendaraan listriknya, Volto Mechanix, di sekitar Sanur, Bali, pada tahun 2021, mengatakan bahwa dia memiliki harapan tinggi untuk mengonversi sekitar 1.000 sepeda motor melalui subsidi pada tahun 2023.

Namun tahun lalu, dia hanya berhasil mengonversi 40 sepeda motor melalui program subsidi tersebut. Kurniawan bilang birokrasi menjadi kendala, macetnya proses disebabkan oleh waktu tunggu bagi para pemeriksa dari pemerintah yang harus terbang dari Jakarta untuk memastikan bahwa setiap kendaraan listrik yang dikonversi layak jalan.

Meski begitu, Kurniawan mengatakan bahwa dia masih optimis pemerintah akan memotong birokrasi dan mempercepat proses ini dalam tahun ini.

“Prosesnya semakin membaik. Segala sesuatunya bergerak ke arah yang benar,” jelasnya.

Pembangkit listrik Suralaya di provinsi Banten, Indonesia, di Pulau Jawa. Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace.

Dilema Tarik Ulur Sumber Energi Fosil

Menurut para ahli, mengumumkan sebuah rencana besar tetapi kemudian mundur berisiko membuat ambisi iklim Indonesia tampak terlihat tidak serius di mata dunia. Menutup semua pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040 tampaknya tidak akan pernah terjadi, kata Katherine Hasan, seorang analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).

Indonesia sudah pernah terpaksa mengubah target energi terbarukan 2030, menguranginya menjadi hanya 19% dari rencana awal 26%.

Pada tahun 2022, di bawah Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) yang ditandatangani bersama Norwegia, Denmark, Uni Eropa, dan negara-negara anggota G7, Indonesia masih mengharapkan sepertiga dari kebutuhan listriknya berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara.

Di bawah rencana tersebut, Indonesia berencana akan menutup pembangkit listrik PLTU yang memancarkan gas rumah kaca selama beberapa dekade dengan bantuan dari negara-negara maju.

Namun, menghapuskan batu bara dalam 15 tahun akan membuat negara ini kekurangan pasokan listrik, sehingga Indonesia perlu menambah rencana JETP untuk energi terbarukan hingga seperempat, meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi 273 GW, bukan 75 GW, menurut laporan CREA.

“Itu tampak mustahil,” kata Katherine tentang penutupan sebagian besar pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040.

Para investor tampaknya lebih memilih untuk melihat alternatif selain multilateral komitmen seperti JETP, yang menjanjikan dana sebesar USD 20 miliar yang akan membantu biaya penutupan PLTU.

Hal lain adalah peluang ketidakpastian komitmen JETP Amerika Serikat di bawah pemerintahan baru Presiden Trump. Katherine menyarankan Indonesia sebaiknya mempertimbangkan perjanjian bilateral dengan sisa negara yang menandatangani pakta tersebut, yang dikenal sebagai kelompok mitra internasional (IPG).

“Itu akan lebih baik daripada memulai lagi semuanya dari awal. Saat ini semua tampak tidak pasti.”

Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 27 Januari 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

***

Foto utama: Petugas yang sedang memonitor panel-panel surya di PLTS Oelpuah, PLTS terbesar di Indonesia. Foto: Palce Amalo

Kedok Transisi Energi dan Diversifikasi Bisnis Fosil

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|