Reklamasi Pesisir Surabaya Bakal Bebani Nelayan Perempuan

2 weeks ago 23
  • Para nelayan perempuan di pesisir Surabaya, sedang cemas. Mereka tak bisa membayangkan risiko kalau rencana reklamasi di Surabaya jadi setidaknya empat pulau baru atau dengan nama Surabaya Waterfront Land (SLW),  yang masuk proyek strategis nasional (PSN).
  • Nelayan pesisir Surabaya pernah alami masa buruk ketika ada tambang pasir di laut mereka. Ekosistem laut terganggu, ikan-ikan dan biota lain pun berkurang.  Saat ini, laut belum pulih, sudah mau ada rencana penggunaan laut yang berisiko memperparah kondisi yang belum pulih.
  • Susan Herawati,  Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)  mengatakan, rencana proyek SWL tak selayaknya lanjut. Selain proses tak partisipatif, proyek hanya akan menambah beban perempuan di Pesisir Timur Surabaya.
  • Mahmud Mustain,  Guru Besar Departemen Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) mengusulkan,  cara meningkatkan perkonomian warga pesisir dengan mengkaji pengembangan wisata Kanjeran terintegrasi dengan hutan mangrove di Wonorejo. Konsepnya, pengembangan wahana transportasi dari Kenjeran ke Wonorejo dengan mengeksplorasi keindahan dan kekayaan alam pesisir termasuk hutan mangrove. Sebuah konsep wisata ekologi berbasis budaya yang tengah trendi dan berkembang di luar negeri.

Jihan Nafisah,  menatap hamparan pesisir di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya, Jawa Timur. Pikiran perempuan 30 tahun ini mengembara medio 2006 saat sejumlah kapal menyedot pasir laut.

Kala itu, eksploitasi pasir laut untuk reklamasi Pelabuhan Peti Kemas di Teluk Lamong. Lokasi pengerukan pasir ini hanya selemparan batu dari rumahnya.

Dia tak bisa membayangkan risiko kalau rencana reklamasi pesisir Surabaya jadi setidaknya empat pulau baru atau dengan nama Surabaya Waterfront Land (SLW),  yang masuk proyek strategis nasional (PSN).

Bagi Jihan, pengerukan pasir laut itu tak hanya merusak ekosistem laut juga merampas ruang hidup nelayan perempuan yang kehilangan mata pencarian.

Dulu, para nelayan perempuan di pesisir Surabaya kerap tangkap berbagai jenis kerang di pesisir Kedung Cowek, saat air laut surut. Kini, mereka tak bisa lagi mengambil kerang lantaran pasir di dasar laut habis, berganti lumpur.

“Tak ada kerang lagi, nelayan perempuan kehilangan ruang hidupnya,” kata perempuan juga Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kelompok Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (Kopi) Surabaya itu.

Semua itu terjadi karena penambangan pasir bertahun-tahun sebelumnya. Dulu, katanya, para nelayan perempuan cukup berjalan di pesisir dengan mudah memunguti kerang. Kini, harus ke tengah laut berjarak sekitar dua mil dari pantai. Beberapa jenis kerang yang mereka ambil  antara lain, kerang darah, dan bambu.

Dampak penambangan pasir, sentimentasi lumpur tinggi sampai ikan dan kerang menjauh. Sebelum ada tambang pasir, pendapatan nelayan rata-rata Rp300.000-Rp500.000 per hari. Sekarang,  turun drastis rerata Rp100.000, maksimal Rp150.000 per hari. Sedang biaya operasional cukup besar terutama bahan bakar minyak (BBM) .

“Sebagian nelayan terlilit utang ke rentenir,” katanya.

Bunga utang tinggi hingga mencekik para nelayan. Hidup nelayan, makin terhimpit.

Nelayan perempuan, katanya, mendapat beban ganda. Selain menjalankan aktivitas domestik rumah tangga, juga membantu suami mengolah ikan tangkapan. Perempuan berperan di bagian produksi, aktivitas setelah hasil tangkapan turun dari perahu.

Proses produksi tak hanya oleh istri nelayan, juga para janda yang menggantungkan hidup dari proses pengolahan ikan dan kerang. Ikan bulu ayam tangkapan nelayan diolah mulai membelah, mengasinkan dan menjemur.

Mereka bekerja dengan jam kerja panjang, sedikit beristirahat. Dalam waktu sama, mereka masih harus tangani urusan domestik, seperti mengurus rumah, anak, hingga hasil tangkapan suami.

Beberapa dari perempuan ini bahkan turut mengurusi pembelian BBM untuk suami melaut.

Perempuan nelayan juga mencari nafkah tambahan. Perempuan, katanya, saat musim paceklik  harus memutar otak agar kebutuhan domestik rumah tangga tetap terpenuhi. “Dapur tetap ngebul istilahnya, itu yang memikirkan perempuan,” katanya.

Sebagian istri nelayan bersama komunitasnya membuat kelompok arisan dan menambung. Sebagian membeli emas dan perhiasan yang bisa mereka jual saat paceklik atau cuaca ekstrem.

Sebanyak 30-an nelayan perempuan bergabung dalam KPPI. Organisasi ini memperjuangkan dan membela hak perempuan pesisir yang selama ini dipandang sebelah mata. Cuaca ekstrem menyebabkan pendapatan nelayan menurun, sedang aktivitas perempuan nelayan makin berlipat dan padat.

Dampak reklamasi pasir laut, kata Jihan, berdampak pada para nelayan petorosan atau yang menggunakan jaring tanpang. Mereka kesulitan menancapkan bambu atau batang kelapa untuk memasang jaring. Lantaran penambangan pasir, dasar laut menyisakan lumpur hingga sulit menancapkan bambu.

“Bambu sering roboh, memperbaikinya tidak murah dan rumit,” katanya.

Mongabay berupaya menghubungi Granting tetapi sampai berita terbit belum berhasil.  Agung Pramono,  Juru Bicara Granting Jaya, enggan memberikan penjelasan mengenai reklamasi Kenjeran.

Ikan hasil tangkapan nelayan perempuan Kedung, Surabaya. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

Beban multi

Susan Herawati,  Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)  mengatakan, rencana proyek SWL tak selayaknya lanjut. Selain proses tak partisipatif, proyek hanya akan menambah beban perempuan di Pesisir Timur Surabaya.

Para perempuan, kata Susan, memiliki kedekatan lebih dengan alam dan lingkungan. Tak terkecuali mereka yang di pesisir Surabaya. Dalam konteks keseharian, kata Susan, akan  banyak perempian pencari kerang tak bisa pagi beraktivitas kalau proyek jalan.

Dampak lain yang tak banyak disadari adalah meningkatnya kekerasan pada perempuan. Kehadiran proyek ini, akan membuat masyarakat pesisir kian terjepit. Mereka tak lagi memiliki ruang cukup untuk sekadar bekerja.

Dalam situasi itu, potensi konflik rumah tangga sangat terbuka. Peluang kekerasan pada perempuan pun mungkin terjadi. “Bagaimana tidak, melaut susah, mencari ikan susah. Yang terjadi stres berujung kekerasan.”

Dampak turunan ini yang seringkali tak para pengambil kebijakan sadari. Dia pun meminta, setop proyek pulau buatan.

Nelayan perempuan Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya melepas ikan bulu ayam atau ikan teri gangga (Thryssa mystax) dari jaring tangkapan para suami yang melaut. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

Setop reklamasi

Para perempuan, termasuk Jihan menuntut proyek SWL  tak lanjut. Dia khawatir,  reklamasi makin merusak ekosistem pesisir yang masih nelayan rasakan hingga kini. “Kami menolak reklamasi,” katanya.

Wahyu Eka Setiawan,  Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, reklamasi dengan pelaksana proyek PT Granting Jaya  (Granting) perlu pasir untuk membangun pulau buatan. Rencana pembangunan bertahap selama 20 tahun, seluas 1.084 hektar dari Kenjeran sampai Wonorejo.

Dia mempertanyakan yang akan jadi lokasi target tambang pasir Granting.  Kalau Granting menambang pasir sekitar Kenjeran bakal merusak ekosistem laut. Apalagi, sebagian warga mengalami pengalaman buruk saat penambangan pasir laut.

Pada 2006-2013, kata Wahyu, terjadi tambang pasir laut di Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya. Pasir laut untuk reklamasi Pelabuhan Peti Kemas Teluk Lamong.

“Ekosistem laut rusak. Terumbu karang hancur, aneka jenis ikan hilang.”

Hasil tangkapan nelayan turun drastis. Nelayan harus melaut lebih jauh sampai ke Keputih, bahkan Madura.  Puncaknya, warga Kedung Cowek aksi mengusir pekerja yang menambang pasir pada 2012.

“Reklamasi ini ibarat menambahkan benda asing di lautan, tentu akan merusak ekosistem laut,” katanya.

Walhi Jawa Timur meneliti nelayan di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Surabaya pada 2020. Hasilnya, selama 10 tahun terakhir,  pendapatan dan tangkapan nelayan anjlok. Terutama nelayan pesisir yang mencari kerang dan ikan di tepi pantai. Sedangkan nelayan petorosan dan jaring juga mulai terganggu. Pendapatan menurun karena kerusakan ekosistem dan krisis iklim.

Surabaya, katanya,  berhadapan langsung dengan laut dan perlu penataan serta perlindungan kawasan. Termasuk,  ekosistem mangrove yang jadi benteng alami pesisir dan cegah abrasi. Kalau hutan mangrove habis, khawatir menyebabkan banjir rob dan abrasi.

Reklamasi di Kenjeran, jelas merusak hutan mangrove. Terjadi beban ganda, reklamasi dan penambangan pasir laut.

“Tentu akan memperbesar daya rusak.”

Untuk membuat satu kawasan di laut, kata Wahyu, akan menambah beban eksploitasi di daerah lain.  “Kalau material ngambil dari laut daerah lain juga akan merusak.”

Pembangunan pulau buatan, akan menghilangkan perlahan perkampungan nelayan yang lebih dulu ada.   Bisa saja awalnya dengan menghilangkan akses para nelayan mencari ikan di laut kemudian mempengaruhi ekonomi.

“Kampung nelayan akan disingkirkan, dianggap kumuh,” kata Wahyu.

Dia menduga,  perkampungan nelayan di Cumpat dan Nambangan Kelurahan Kedung Cowek, Bulak, Kota Surabaya,  paling terancam. Kampung-kampungitu hanya selemparan batu dari lokasi reklamasi. “Mungkin mereka jadi yang pertama terusir.”

Aktivitas nelayan kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya menangkap beragam jenis ikan di perairan Kenjeran Surabaya. Mereka was-was kalau proyek pulau buatan sampai berjalan. Foto:: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

Masyarakat pesisir juga akan kehilangan akses sosial. Ruang gerak makin menyempit. Nelayan juga terancam kehilangan pekerjaan, hingga mendorong mereka mencari pekerjaan di tempat lain.

“Dibunuh pelan-pelan. Dipotong akses mobilitasnya, dipotong akses ekonominya, terakhir dibuat tidak nyaman. Akhirnya,  mereka pindah,” kata Wahyu.

Meski Granting menjanjikan satu pulau untuk nelayan, juga tidak akan terjangkau karena harga sewa mahal.

Mahmud Mustain,  Guru Besar Departemen Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) mengikuti dengar pendapat rencana reklamasi di DPRD Jawa Timur, 3 Oktober 2024.

Dalam pertemuan itu menghadirkan para pihak meliputi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, Granting dan nelayan.

Pembangunan, katanya, mutlak harus mendapat persetujuan dan menguntungkan ekonomi masyarakat. Kalau kedua syarat tak terpenuhi pembangunan akan menimbulkan gejolak dan tak memiliki manfaat bagi masyarakat luas.

Teori integrated coastal zone management (ICZM) pengembangan masyarakat pesisir, katanya, secara prinsip terintegrasi vertikal maupun horizontal.

Vertikal antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota dan kabupaten dengan kecamatan kelurahan, ketua RT/RW.

Sedangkan horizontal, melibatkan Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan Perikanan, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

“Kenyataannya,  dalam reklamasi itu, DPRD Surabaya dan Wali Kota Surabaya,  tidak tahu,” katanya.

Mahmud membimbing mahasiswa ITS, Nourma Pustika pada 2014 berjudul “Analisis Pengelolaan Kawasan Pantai Kenjeran Berbasis Masyarakat penelitian.”  Dalam penelitian dia menghitung keuntungan dan kerugian bagi masyarakat atas reklamasi di Kenjeran yang saat itu seluas 300 hektar.

Basis perhitungan dalam penelitian berdasar keinginan masyarakat. Menghitung keuntungan meliputi ketersediaan lapangan kerja, peluang bisnis, dan potensi usaha lain.

Kerugiannya,  berupa kehilangan pekerjaan, penghasilan turun dan kehilangan lahan atau rumah. Penelitian menunjukkan,  keuntungan masyarakat Rp45 miliar, sedangkan kerugian Rp300 miliar lebih.  “Masyarakat rugi banyak,” katanya.

Selain pekerjaan, nelayan akan kehilangan area tangkap. Sedang pengusaha akan mendapat keuntungan besar dari reklamasi.

“Filosofinya,  harusnya membangun demi kesejahteraan masyarakat kecil, bukan investor. Investor sudah sejahtera.”

Rencana relokasi nelayan atau warga di pesisir Kenjeran jelas langkah tak tepat. “Warga ditempatkan di lokasi baru kan bahasa kasarnya ngusir.”

Nelayan perempaun di Surabaya tengah menjemur ikan. Para nelayan khawatir soal rencana proyek reklamasi yang akan bangun pulau dan masuk PSN. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

Seharusnya, dorong ekonomi nelayan

Dia menawarkan solusi meningkatkan perkonomian warga pesisir dengan mengkaji pengembangan wisata Kanjeran terintegrasi dengan hutan mangrove di Wonorejo.

Konsepnya, pengembangan wahana transportasi dari Kenjeran ke Wonorejo dengan mengeksplorasi keindahan dan kekayaan alam pesisir termasuk hutan mangrove. Sebuah konsep wisata ekologi berbasis budaya yang tengah trendi dan berkembang di luar negeri.

Selain menyajikan keindahan alam, juga beragam atraksi budaya dan kesenian untuk memikat wisatawan. Sebuah tawaran Eco Cultural Tourism,  yakni, pariwisata berkelanjutan berbasis alam budaya dan masyarakat lokal.

“Dari sisi kemanusiaan, saya tetap membela masyarakat menengah ke bawah. Jangan sampai mereka dirugikan.”

******

Simsalabim Proyek Pulau Buatan Surabaya

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|