- Yos Suprapto, pelukis Yogyakarta, batal pameran tunggal di Galeri Nasional (Galnas) bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan karena kurator menilai lima dari 30 karya lukis tidak ada relevansi dengan tema. Tak ada titik temu, pada 23 Desember pun Yos dan tim mulai turunkan lukisan dari Galeri Nasional.
- Menurut Yos Suprapto, pembredelan pemeran ini bermula ketika Suwarno Wisetrotomo, dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mundur sebagai kurator tiga hari sebelum pembukaan pameran. Suwarno, tak setuju dengan dua lukisan yang berjudul Konoha 1 dan Konoha 2: Jilat Menjilat, dipamerkan.
- Zamrud Sayta Negara, Ketua Tim Museum dan Galeri Nasional menjelaskan, tidak ada maksud pembredelan terhadap pameran. Dalam setiap pameran wajib memunculkan kurator. Galeri Nasional meminta kepada Yos untuk menyelesaikan persoalan dengan kurator sembari menunda pameran.
- Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, lukisan-lukisan itu memberikan pesan soal kondisi perjalanan pangan di Indonesia. Seni selain memuat keindahan, juga mesti negara tempatkan sebagai saluran komunikasi dari rakyat.
Yos Suprapto, pelukis Yogyakarta, batal pameran tunggal di Galeri Nasional (Galnas) bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan karena kurator menilai lima dari 30 karya lukis tidak ada relevansi dengan tema. Sang kurator mengundurkan diri, tak ada titik temu, pada 23 Desember pun Yos dan tim mulai turunkan lukisan dari Galeri Nasional.
Pameran yang dijadwalkan berlangsung selama satu bulan ini rencana awal buka 20 Desember 2024. Saat akan pembukaan Galnas membatalkan.
Yos mengatakan, pembredelan pemeran ini bermula ketika Suwarno Wisetrotomo, dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mundur sebagai kurator tiga hari sebelum pembukaan pameran.
Suwarno, kata Yos, tak setuju dengan dua lukisan yang berjudul Konoha 1 dan Konoha 2: Jilat Menjilat, dipamerkan.
Padahal, dalam rapat daring 5 Desember lalu dengan tim kurator Galnas yakni Suwarno, Jarot Mahendra, Zamrud Satya Negara, dari Museum Cagar Budaya, tidak ada masalah.
Rapat menyepakati jadwal pembukaan pameran 20 Desember 2024. Tanda-tanda pembredelan mulai diketahui ketika tim Yos mempersiapkan segalanya untuk pameran, termasuk memajang karya lukis. Pada 16 Desember 2024, dua karya Yos berjudul Konoha 1 dan Konoha 2 : Jilat Menjilat itu ditutup dengan kain hitam, karena dianggap vulgar.
Konoha 1 menggambarkan seseorang layaknya raja yang mengenakan mahkota dengan jas berwarna hitam duduk di singgasana sambil menginjak orang-orang. Dalam gambar itu, sang raja dikawal pasukan bersenjata laras panjang saat beraksi.
Menurut Yos, lukisan itu ada relevansinya perjalanan pangan. Lukisan raja yang menginjak orang itu bermakna kalau penguasa selalu membebankan rakyat dengan dalih memenuhi kebutuhan pangan. Sementara, tidak ada keringanan kepada rakyat, penguasa justru selalu membebankan pajak kepada rakyatnya.
“Jadi, kaki penguasa itu ada di pundak rakyat. Dibebankan di atas pundak rakyat, di punggung rakyat. Itu simbol. Karena memang faktanya begitu,” kata Yos di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12/24).
Sedang lukisan Konoha 2 menggambarkan sekumpulan orang berwarna biru saling menjilat, di bagian lain ada sekumpulan orang terlihat marah. Di tengah lukisan terdapat dua orang saling pelukan tanpa busana.
Pada 19 Desember, Galnas meminta Yos menurunkan tiga lukisan yang berjudul Niscaya, Makan Malam dan 2019.
Saat itu, tim kurator dan Galnas langsung menemui dan mengatakan kalau tiga lukisan mengganggu serta tak sesuai relevansi pameran.
Yos heran, lukisan itu mengisahkan tentang kehidupan perjalanan pangan. Lukisan berjudul Niscaya, misal, menggambarkan seorang petani tengah menyuapi nasi seseorang yang mengenakan dasi, kemeja dan celana panjang.
Lukisan mengartikan kalau petani merupakan produsen pangan. Hasil pangan petani dijual dan dikonsumsi masyarakat dari berbagai latar belakang, termasuk orang-orang kota.
“Apakah orang-orang kota menanam padi sendiri seperti petani? Kan tidak. Kok petani yang saya gambarkan itu dikatakan tidak ada relevansinya dengan tema pangan.”
Lukisan berjudul Makan Malam juga menggambarkan seorang petani tengah memberi makan segerombolan anjing berlatarbelakang gunung, gedung dan bulan. Lukisan ini, kata Yos mengisahkan tentang simbiosis mutualisme antara petani dan anjing.
Petani itu kalau tinggal di pinggir hutan, harus punya anjing untuk melindungi ladang mereka dari serbuan babi-babi hutan. “Apa salahnya petani memberi makan kepada anjing? Itu juga vulgar?”
Kemudian, lukisan berjudul 2019 yang menggambarkan seseorang berkemeja putih dan celana panjang hitam tengah berjalan menunduk bersama banteng berwarna merah. Lukisan itu berlatarbelakang segerombolan orang, istana dan satu bola mata.
Yos katakan, lukisan itu mengisahkan Joko Widodo yang kala itu masih menjadi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil memenangkan pemilu dan jadi Presiden pada 2019.
Menurut dia, kebijakan pangan tidak bisa tanpa ada kekuasaan. Kebijakan pemerintah soal kedaulatan pangan juga tak bisa terpisahkan dari unsur politik dan ekonomi.
“Simbol kesenian harus dipahami dengan bahasa kesenian. Tidak bisa kesenian dimaknai dengan bahasa politik, kekuasaan yang sangat distortif, untuk sekali lagi, memanipulasi hati dan pikiran rakyat yang sebetulnya ingin merdeka.”
Pada akhirnya, setelah menuruti permintaan itu, Galnas justru membatalkan pameran pada pukul 19.00 WIB, 19 Desember 2024.
“Saya akan menggunakan pendekatan hukum, saya katakan tadi. Ini tentunya tidak boleh sepihak, saya akan melakukan dialog yang beradab dengan jajaran Galnas, maupun Museum Cagar Budaya. Harus ada dialog dua arah.”
Sementara itu, Galnas menyatakan kalau penundaan pameran Yos Suprapto karena alasan kendala teknis yang tidak dapat dihindari. Galnas meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan dan masyarakat yang menunggu keputusan ini.
“Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang demi menjaga kualitas pameran yang ingin kami hadirkan,” tulis Galnas dalam keterangannya.
Suwarno Wisetrotomo, kurator dalam keterangan kepada media mengatakan, dua dua karya berjudul Konoha 1 dan 2 tidak ada relevansi dengan tema pameran, lebih kepada opini pribadi. Lukisan itu, kata Suwarno, justru berpotensi merusak pesan yang kuat dan bagus dari tema pameran.
“Menurut pendapat saya, dua karya itu ‘terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar, hingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya,” katanya.
Perbedaan pendapat itu, kata Suwarno, justru menimbulkan perselisihan dia dengan Yos Suprapto. Karena itulah, dia menyatakan mundur sebagai kurator.
Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, mengatakan dalam setiap pameran selalu ada kesepakatan soal tema antara kurator dan pelukis.
Lima lukisan yang diminta tak dipamerkan itu tidak ada kaitan dengan tema kebangkitan kedaulatan pangan.
“Lukisan-lukisan itu tidak ada kaitan dengan isu kedaulatan pangan, malah agak vulgar. Makanya kuratornya tidak setuju. Mungkin juga ada motif politik.”
Zamrud Sayta Negara, Ketua Tim Museum dan Galeri Nasional menjelaskan, tidak ada maksud pembredelan terhadap pameran. Dalam setiap pameran wajib memunculkan kurator.
Galnas meminta kepada Yos untuk menyelesaikan persoalan dengan kurator sembari menunda pameran.
“Kami tawarkan untuk menunda, menunda, itu artinya bukan pelarangan, bukan pemberantasan atau pelarangan, menunda pembukaan dan pelaksanaan pameran”
Galnas menunda, dan pelukis berkomunikasi dengan kurator terlebih dahulu. “Diperbarui karena dari awal konsepnya memang seperti itu, kita posisikan lembaga ini sebagai lembaga publik yang juga mengedukasi.”
Pada 23 Desember, Yos pun mulai menurunkan lukisan-lukisannya dan akan bawa balik ke Jogja.
Alif Fauzi Nur Widiastomo, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengatakan permintaan Galnas untuk menurunkan lima lukisan Yos Suprapto dan menunda pameran merupakan bentuk represif terhadap kebebasan ekspresi. Lukisan adalah bentuk ekspresi yang merupakan hak asasi manusia (HAM).
“Karya seni yang akan ditampilkan oleh Yos Suprapto bukanlah bentuk ekspresi yang dibatasi menurut instrumen HAM internasional melainkan bentuk ekspresi sah. Galeri Nasional tidak menyampaikan alasan rasional berkaitan dengan pengarangan dan penggunaan pameran,” katanya di kantor YLBHI.
Alif bilang, tindakan penundaan pameran Yos Suprapto adalah bentuk tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi, seni merupakan sarana untuk kritik. Apalagi, Yos Suprapto telah melakukan kajian dan meneliti sebelum membuat lukisan.
Komnas HAM ikut bersuara. Lembaga ini telah melayangkan surat kepada Kementerian Kebudayaan dan Galnas terkait keputusan penundaan pameran pada 20 desember 2024. Surat itu berisi tentang permintaan keterangan Komnas HAM pada dua lembaga itu.
Saurlin P Siagian, Komisioner Komnas HAM mengatakan, kebebasan berekspresi sejatinya dilindungi UU. Untuk itu, apabila pemerintah melarang kebebasan berekspresi diduga telah melakukan pelanggaran.
“Di zaman reformasi seperti sekarang, masih ada pembredelan. Dulu (zaman orde baru) kita jadi teringat pembredelan Detik, pembredelan Tempo. Sekarang kita kembali diingatkan dengan peristiwa itu. Presiden sudah menyampaikan pesan kan, bahwa kritik itu boleh. Seharusnya jajarannya di bawahnya juga manut pada arahan presiden.”
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, lukisan-lukisan itu memberikan pesan soal kondisi perjalanan pangan di Indonesia. Kalau lingkungan suatu negara hancur akan dihantui bencana. Jika negara melarang seni, berarti melarang rakyatnya bahagia.
“Seni selain memuat keindahan, juga mesti ditempatkan negara sebagai saluran komunikasi dari rakyat.”
Dia mengkaitkan dengan isu pangan yang sebenarnya. Pemenuhan pangan yang pemerintah janjikan justru jadi masalah bagi masyarakat.
Zenzi contohkan, proyek pengembangan pangan skala besar (food estate), alih-alih mensejahterakan, justru membuat masyarakat menderita. Proyek gagal dan gagal lagi tetapi turus dilakukan dan menyedot anggaran rakyat.
Dalam dua tahun terakhir, pemerintah menghabiskan anggaran ratusan triliun. Dalam APBN 2024, alokasi dana untuk ‘ketahanan pangan’ Rp114,3 triliun atau naik Rp13,4 triliun dibanding 2023 sebesar Rp100,9 triliun, mencakup food estate. Pada 2025, pemerintah bakal mengalokasikan anggaran food estate Rp124,4 triliun.
“Saya khawatir proyek pangan yang sedang dikampanyekan bukanlah yang sungguh-sungguh untuk menjawab masalah rakyat, tapi dapat digunakan kelompok tertentu berbisnis lapar,” katanya.
*******