- Majelis Hakim Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak keberatan perusahaan sawit, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sidang 21 November lalu.
- Sanksi KKPU terhadap PT Hardaya Inti Plantations ini atas pelanggaran terkait pelaksanaan kemitraan di sektor sawit yang dianggap tidak sesuai ketentuan berlaku. Terutama, soal keadilan dan keseimbangan dalam hubungan kemitraan antara perusahaan dan petani plasma.
- Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), mengatakan, keputusan ini, langkah penting dalam menegakkan keadilan, dan harapan baru bagi petani plasma pemilik lahan di Buol. Harapannya, putusan ini bisa jadi dasar pemerintah daerah dan pihak terkait membantu memperbaiki situasi yang berlangsung lebih dari satu setengah dekade.
- Keputusan itu, bukan hanya kemenangan hukum, juga bukti perusahaan besar seperti HIP tak kebal hukum. Keputusan ini jelas menunjukkan HIP melanggar hukum, dan semua pihak saatnya bertindak menyelesaikan masalah ini.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak keberatan perusahaan sawit, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam sidang 21 November lalu.
Keberatan diajukan HIP terkait putusan KPPU RI Nomor 02/KPPU-K/2023 pada 9 Juli 2024. Dalam putusan itu, KPPU menjatuhkan sanksi Rp1 miliar kepada HIP dan memerintahkan perbaikan dalam kemitraan mereka dengan Koperasi Tani Plasma Amanah (Koptan Amanah) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Sanksi ini atas pelanggaran terkait pelaksanaan kemitraan di sektor sawit yang dianggap tidak sesuai ketentuan berlaku. Terutama, soal keadilan dan keseimbangan dalam hubungan kemitraan antara perusahaan dan petani plasma.
Dengan penolakan Pengadilan Niaga ini, putusan KPPU tetap berlaku.
Seniwati, pemilik tanah dan anggota Koptan Amanah mengatakan, keputusan ini menunjukkan penegakan keadilan atas dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan kemitraan yang merugikan petani plasma.
Dia bersyukur dan terima kasih atas keputusan pengadilan ini. Sebelumnya, dia khawatir atas permohonan keberatan HIP ini.
Seniwati lega karena pengadilan melihat kebenaran dan menegakkan keadilan. Dia berharap, perjuangan bersama petani pemilik tanah ini terus mendapatkan dukungan, dan Tuhan menyertai upaya mereka.
Dia bilang, kemungkinan HIP akan kasasi ke Mahkamah Agung. Harapannya, proses hukum berjalan adil dan transparan, serta tak ada lagi upaya mengabaikan hak-hak petani.
Seniwati menekankan, keputusan ini menjadi landasan kuat Pemerintah Buol segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan masalah kemitraan yang berlangsung lama dan merugikan petani ini.
Dia juga berharap, DPRD Buol yang baru terpilih serius terlibat dalam penyelesaian masalah ini. “Saya berharap, penegak hukum dapat terus menegakkan keadilan. Kami berharap hasil perjuangan ini dapat membawa kebaikan bagi semua petani plasma,” ujar Seniwati melalui siaran pers yang diterima Mongabay.
Mongabay menghubungi Bambang Luky Dewanto, Lead HRGH HIP untuk meminta keterangan soal permohonan keberatan yang ditolak Majelis Hakim Pengadilan Niaga. Sampai berita ini rilis belum ada jawaban.
Harapan baru pertani sawit Buol
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), berterima kasih kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga di PN Jakarta Pusat yang menolak permohonan keberatan HIP dan menguatkan putusan KPPU.
Keputusan ini, katanya, langkah penting dalam menegakkan keadilan, dan harapan baru bagi petani plasma pemilik lahan di Buol.
Dia berharap, putusan ini bisa jadi dasar pemerintah daerah dan pihak terkait membantu memperbaiki situasi yang berlangsung lebih dari satu setengah dekade.
Sebenarnya, kata Fatrisia, praktik kemitraan HIP di Buol tidak hanya melibatkan petani yang tergabung dalam Koptan Amanah, juga enam koperasi lain, yaitu, Koperasi Plasa, Koperasi Awal Baru, Koperasi Bersama, Koperasi Idaman, dan Koperasi Fisabililah. Kemitraan ini mencakup sekitar 4.934 petani luas lahan 9.746 hektar.
Meskipun kemitraan ini melibatkan ribuan petani dan lahan cukup luas, kenyataan, para petani tidak mendapatkan keuntungan apapun dari hasil kebun sawit itu.
Ironisnya, kata Fatrisia, lahan beserta sertifikat tanah yang seharusnya milik petani, justru dikuasai HIP.
Dia bilang, masalah utama kemitraan ini adalah pengelolaan kebun sawit sepenuhnya oleh HIP, tanpa ada keterlibatan petani atau koperasi. Semua operasional oleh perusahaan melalui sistem manajemen satu atap, yang sangat rentan manipulasi dan praktik korupsi.
Kondisi itu makin diperparah karena tak ada mekanisme transparansi atau pengawasan memadai dari koperasi atau para pemilik lahan. Menurut dia, praktik semacam ini jelas merugikan, karena petani tak hanya kehilangan bagian dari hasil kebun, juga tak memiliki kontrol atas pengelolaan kebun dan lahan mereka.
“Ketidaktransparanan ini menyebabkan ketimpangan dalam kemitraan, perusahaan lebih diuntungkan sementara petani makin terpinggirkan.”
Selain itu, kata Fatrisia, putusan KPPU yang dikuatkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan bukti bahwa HIP telah melakukan pelanggaran dalam kemitraan dengan petani plasma di Buol.
Putusan ini, katanya, dapat memberikan dasar kuat bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain segera menyelesaikan permasalahan kemitraan yang sudah bertahun-tahun merugikan para petani.
Keputusan itu, katanya, bukan hanya kemenangan hukum, juga bukti perusahaan besar seperti HIP tak kebal hukum. Dia bilang, keputusan ini jelas menunjukkan HIP melanggar hukum, dan semua pihak saatnya bertindak menyelesaikan masalah ini.
“Pemerintah daerah, khusus Pj. Bupati atau bupati yang akan terpilih, harus melihat putusan ini sebagai dasar menyelesaikan konflik kemitraan.”
Dia berharap, DPRD Buol terpilih lebih serius dalam menangani masalah kemitraan yang selama ini terabaikan.
Fatrisia juga mengingatkan, aparat penegak hukum, khusus kepolisian, lebih cermat dan presisi dalam menangani masalah ini.
Terlebih lagi, katanya, sudah ada dua lembaga negara—KPPU dan Pengadilan Niaga—menyatakan HIP terbukti bersalah dalam kemitraan.
Tidak boleh ada kriminalisasi atau intimidasi terhadap para petani dan aktivis yang selama ini berjuang untuk hak mereka.
“Ini konflik kemitraan, masalah perdata yang penyelesaiannya harus melalui jalur perdata. Kami meminta kriminalisasi terhadap petani dan aktivis yang selama ini terjadi dihentikan.”
Tak ada itikad baik
Ali Paganum, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) yang mendampingi petani plasma di Buol, mengkritik keras praktik kemitraan pembangunan kebun sawit HIP.
Kemitraan yang terbangun sangat merugikan petani dan menunjukkan perusahaan sejak awal tidak memiliki itikad baik menjalin kerjasama dengan para petani.
Upaya HIP menguasai kemitraan ini, katanya, terlihat melalui beberapa modus, salah satunya mengendalikan sepenuhnya pengelolaan kebun tanpa melibatkan petani secara adil.
“Pengelolaan kebun sawit sepenuhnya oleh perusahaan tanpa ada keterlibatan setara dari petani melalui koperasi,” kata Ali.
Dia sebutkan, tak ada penyusunan rencana kerja tahunan yang melibatkan petani dan perusahaan secara bersama. Padahal, seharusnya jadi bagian dari perjanjian kemitraan.
Ali juga menyoroti tidak ada pengawasan atas pelaksanaan pekerjaan di kebun.
Meskipun dalam perjanjian terdapat klausula yang mengatur ini, kenyataan perusahaan tidak pernah menjalankan klausul, termasuk dalam pelibatan petani. Semua ini, katanya, mencerminkan perusahaan lebih mengutamakan kepentingan sendiri, tanpa memperhatikan kesejahteraan petani yang bekerja sama sejak awal.
Ali menyayangkan, kurangnya transparansi dalam kemitraan ini. Seharusnya, HIP menjalankan kemitraan dengan prinsip keadilan dan keterlibatan aktif petani dalam setiap tahap pengelolaan kebun. Kenyataan, perusahaan cenderung pada keuntungan pribadi, dan petani tak mendapatkan bagian adil dari hasil kebun.
Dalam beberapa kesempatan, para petani mengeluhkan mereka tidak dapat informasi jelas terkait pengelolaan kebun dan hasil panen. Ali minta pemerintah dan pihak berwenang segera turun tangan memastikan kemitraan lebih adil bagi petani.
Dia juga menyoroti modus lain yang dianggap bertujuan menguasai lahan dan sertifikat petani. Satu langkah HIP lakukan dengan pengalihan piutang dari Bank Mandiri ke perusahaan, bertujuan menahan sertifikat lahan petani.
Sebelum pengalihan utang, HIP menciptakan kesan terjadi masalah pembayaran utang di Bank Mandiri. Sekitar sembilan bulan, HIP tak membayar angsuran kredit di bank, yang memicu pengalihan piutang kepada perusahaan.
“Pengalihan ini, didesain sedemikian rupa untuk mengamankan sertifikat tanah petani di tangan HIP,” katanya.
Saat ini, pengelolaan kebun malah beralih kepada perusahaan lain. Hal ini, katanya, langkah lanjutan yang bertujuan HIP tetap menguasai kebun dan sertifikat tanah petani. Pengalihan pengelolaan kebun ini, kata Ali, makin menunjukkan niat HIP menguasai aset-aset yang seharusnya milik petani plasma.
“Saya berharap pihak berwenang segera mengambil tindakan untuk memastikan petani mendapatkan hak mereka dan kemitraan ini jalan adil dan transparan.”
******