- Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, karena proyek “hijau” skala besar seringkali membawa dampak sosial dan lingkungan secara signifikan. Sedang pembangkit berskala kecil kelolaan komunitas lokal—yang berpotensi menyediakan listrik bagi masyarakat sekitar—tidak mendapatkan perhatian setara.
- Beyrra Triasdian, Juru Kammpanye Energi Terbarukan dari Trend Asia menyatakan bahwa pemerintah dan pemberi dana internasional masih melihat transisi energi dari sudut pandang “business as usual” sehingga pembiayaan energi terbarukan hanya difokuskan pada proyek-proyek yang lebih menguntungkan secara ekonomi langsung.
- Laporan “Banking on Renewables” menekankan, pendanaan energi terbarukan perlu lebih merata bagi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Ada tiga prinsip utama yang harus ditegakkan: pendanaan hanya untuk energi 100% terbarukan tanpa jejak fosil, pembiayaan yang demokratis, dan memprioritaskan kepentingan publik serta lingkungan.
- Untuk mencapai transisi energi berkeadilan, pemerintah perlu mengadopsi prinsip-prinsip yang lebih inklusif dalam pengelolaan energi terbarukan. Laporan “Banking on Renewables” menekankan tiga prinsip utama: mendanai energi yang 100% terbarukan tanpa keterlibatan energi fosil, memastikan sistem energi yang demokratis dan inklusif, serta memprioritaskan kepentingan masyarakat dan alam dalam proses transisi energi.
Indonesia berupaya mendorong proyek energi terbarukan sebagai bagian dari komitmen global mengurangi emisi karbon. Sayangnya, laporan terbaru menunjukkan, sebagian besar pendanaan global, terutama dari bank pembangunan multilateral (MDB), masih lebih berfokus pada proyek energi berskala besar dibandingkan inisiatif lokal berbasis komunitas yang lebih kecil.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, karena proyek “hijau” skala besar seringkali membawa dampak sosial dan lingkungan secara signifikan. Sedang pembangkit berskala kecil kelolaan komunitas lokal—yang berpotensi menyediakan listrik bagi masyarakat sekitar—tidak mendapatkan perhatian setara.
Laporan “Banking on Renewables: Powering People, Protecting the Planet” yang dirilis oleh Recourse, Trend Asia, dan koalisi organisasi masyarakat sipil internasional, mencatat bahwa proyek energi berskala besar lebih sering mendapat dukungan dibandingkan proyek-proyek skala kecil. Misa, pemerintah dan MDB lebih sering mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) besar atau ladang energi surya raksasa.
Beyrra Triasdian, juru kampanye energi terbarukan Trend Asia, menyatakan, pemerintah dan pemberi dana internasional masih melihat transisi energi dari sudut pandang “business as usual,” hingga pembiayaan energi terbarukan hanya fokus pada proyek-proyek yang dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi langsung.
“Energi terbarukan berbasis komunitas dianggap kurang menguntungkan. Padahal, ketika komunitas menggunakan pembangkit energi terbarukan untuk kebutuhan sehari-hari, itu dapat menggerakkan ekonomi lokal dan berdampak positif secara luas,” katanya kepada Mongabay November lalu.
Di Indonesia, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) Sukabumi berkapasitas 70 kilowatt di Jawa Barat merupakan contoh pembangkit yang terbangun dan kelolaan langsung komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar dalam memenuhi listrik desa mereka. Awalnya, proyek ini didukung dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) asal Jepang. Biaya pemeliharaan jangka panjang tidak ditanggung, hingga masyarakat harus bergotong royong mengelolanya.
Warga merasa pemerintah tak memberikan dukungan berkelanjutan pada alternatif seperti ini.
Kasus serupa terjadi di Kampar, Riau. Desa Batusonggan, di tengah hutan dan hanya bisa terakses dengan perahu, mengandalkan PLTMh Batusonggan untuk kebutuhan listrik. Masyarakat aktif terlibat dalam perencanaan, pembangunan, hingga pendanaan dengan dukungan pemerintah.
Setelah pembangunan selesai, pemerintah tak memberikan pelatihan yang memadai untuk pemeliharaan, hingga pembangkit terbengkalai selama beberapa tahun sebelum dibantu teknisi.
Proyek-proyek berbasis komunitas ini menunjukkan solusi energi bersih tidak harus besar dan kompleks. Inisiatif kecil kelolaan masyarakat cenderung lebih ramah lingkungan serta lebih inklusif secara sosial dan ekonomi. Namun, pendanaan global belum sepenuhnya mendukung proyek seperti ini.
Beyrra berpendapat, pemerintah seharusnya tak memandang sebelah mata pada inisiatif pembangkit skala komunitas. Upaya seperti di Kampar dan Sukabumi, lebih ramah lingkungan dan demokratis karena kelola langsung masyarakat.
“Dengan pelibatan warga lokal, risiko dampak lingkungan atau penggusuran menjadi lebih kecil. Mereka juga lebih mengenal kebutuhan mereka dan jenis pembangkit yang sesuai kondisi geografis setempat.”
Selain menyediakan energi bersih, katanya, skema ini cocok untuk melistriki daerah terpencil di Indonesia, seperti pemukiman di tengah hutan atau pulau kecil yang sulit terjangkau jaringan PLN.
Emisi karbon global dalam tekanan
Laporan “Emissions Gap Report 2023” dari United Nations Environment Programme menyatakan, emisi gas rumah kaca global mencapai rekor tertinggi, yaitu, 57,4 gigaton CO2e, meningkat 1,2% dari tahun sebelumnya. Sektor energi menyumbang emisi terbesar, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan sekitar dua pertiga dari total emisi.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam “Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia 2018-2022” juga mencatat tren kenaikan emisi gas rumah kaca di Indonesia, yang didominasi emisi karbon.
Industri pengadaan listrik menyumbang emisi karbon terbesar dengan angka 296.854 Gg CO2e, atau sekitar 42,5% dari total emisi di Indonesia.
Laporan “Banking on Renewables” menekankan pendanaan energi terbarukan perlu lebih merata bagi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Ada tiga prinsip utama yang harus ditegakkan: pendanaan hanya untuk energi 100% terbarukan tanpa jejak fosil, pembiayaan demokratis, dan memprioritaskan kepentingan publik serta lingkungan.
Di Indonesia, pemerintah dan pemberi dana lebih tertarik mendanai proyek-proyek besar yang kerap bermasalah. Misal, PLTA Jatigede berkapasitas 110 megawatt di Sumedang, Jawa Barat, yang menenggelamkan lahan 30 desa seluas 4.896 hektar. Proyek Rp2,06 triliun ini mendapat 218 kali protes dari warga sejak dirancang pada 1980-an. Sekitar 11.000 keluarga dan petani tergusur, 84 situs sejarah Kerajaan Sumedang hilang, dan Sumedang sebagai penghasil beras terbesar kala itu terdampak.
Saat ini, pemerintah dan MDB lebih memprioritaskan proyek berskala besar yang juga datang dengan risiko besar. Pembangunan waduk besar, misal, seringkali mengubah ekosistem dan memaksa masyarakat adat atau komunitas lokal kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
PLTA Tampur yang direncanakan di Aceh jadi contoh kontroversial karena proyek ini akan menenggelamkan habitat satwa endemik di kawasan konservasi Gunung Leuser.
Tanpa kerangka kerja pendanaan lebih berpihak pada masyarakat, proyek energi skala besar berisiko memperpanjang masalah sosial dan menciptakan masalah lingkungan baru. MDB dan pemerintah harus memastikan bahwa proyek energi yang mereka dukung tidak hanya bersih dari segi emisi, juga berkeadilan bagi masyarakat.
Transisi energi berkeadilan
Untuk mencapai transisi energi berkeadilan, pemerintah perlu mengadopsi prinsip-prinsip yang lebih inklusif dalam pengelolaan energi terbarukan.
Laporan “Banking on Renewables” menekankan, tiga prinsip utama, mendanai energi 100% terbarukan tanpa keterlibatan energi fosil, memastikan sistem energi yang demokratis dan inklusif, serta memprioritaskan kepentingan masyarakat dan alam dalam proses transisi energi.
Penerapan prinsip ini berarti memberikan kesempatan yang lebih besar bagi proyek berbasis komunitas untuk berkembang. PLTMh kelolaan masyarakat lokal di desa-desa terpencil, misal, menawarkan solusi lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan operasi lebih mudah.
Meski kapasitas terbatas, proyek seperti ini sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan daerah yang tidak terjangkau jaringan PLN dan dapat menghindarkan masyarakat dari risiko penggusuran atau konflik pada proyek besar.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mendukung inisiatif skala kecil ini, misal, dengan membentuk kerangka kerja pendanaan atau insentif yang mendukung pembangkit berbasis komunitas. Hal ini mencakup bantuan teknis, pelatihan, hingga pendampingan berkelanjutan untuk memastikan keberlanjutan proyek.
Meski bergeser dari proyek besar ke proyek komunitas bukan tanpa tantangan, kasus PLTA Jatigede dan PLTA Tampur seharusnya menjadi pengingat bahwa pendekatan berorientasi skala besar memiliki risiko tinggi. Proyek-proyek ini seringkali menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang merugikan masyarakat.
Indonesia, berada di persimpangan dalam upaya menuju transisi energi bersih. Pendekatan pendanaan global yang terlalu fokus pada proyek besar menimbulkan tantangan serius. Perlu ada upaya serius mendorong peralihan penggunaan energi terbarukan secara serius.
Dalam riset Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) “Demokrasi Energi: Transisi Indonesia Menuju Energi Baru Terbarukan yang Berkeadilan” menyatakan, ada dua metode untuk perlahan-lahan beralih ke energi terbarukan. Pertama, penghentian pembangkit listrik berbahan bakar batubara secara bertahap. Kedua, investasi pada fasilitas energi terbarukan.
Namun, hal itu, masih menimbulkan masalah tersendiri. Bahkan di daerah yang dekat dengan pembangkit listrik, banyak desa di Indonesia kekurangan akses listrik. Dari sisi ekonomi, penghentian pembangkit listrik batubara menimbulkan kekhawatiran bagaimana tenaga kerja akan beradaptasi dengan perubahan itu, mengingat belum ada rencana konkret dalam menyelesaikan masalah ini.
Sementara, pembangkit listrik dan proyek energi terbarukan juga menimbulkan masalah seperti konstruksi dan produksi sering membawa kerusakan berbahaya bagi lingkungan dan dampak terhadap kesehatan warga.
Pius Ginting, Koordinator AEER mengusulkan, konsep demokrasi energi sebagai sebuah cara bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait energi untuk memastikan bahwa itu sedemokratis mungkin.
Demokrasi energi, katanya, mendorong sistem pengelolaan energi terdesentralisasi hingga lebih berbasis kepada masyarakat dan penggunaaan energi hijau tak merusak lingkungan dan masyarakat lokal.
Untuk menjalankan demokrasi energi, ada beberapa prinsip harus dilakukan.
- Akses universal dan keadilan sosial
- Energi lokal, terbarukan, dan berkelanjutan
- Kepemilikan publik dan sosial
- Upah yang adil dan penciptaan lapangan pekerjaan hijau
- Kontrol demokratis dan partisipatif oleh masyarakat.
Dia contohkan, praktik demokrasi energi dari pengelolaan PLTMH berbasis masyarakat di Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat. Dalam operasi PLTMH berenergi hijau berkapasitas maksimal 120 KW itu, masyarakat terlibat langsung dalam proses pembangunan, pengelolaan, hingga pola pendistribusian listrik di desa.
AEER merekomendasikan, beberapa poin penting, antara lain, mendorong pendekatan kolaboratif antara masyarakat dan pengambil keputusan terkait rencana dan kebijakan energi. Lalu, memaksimalkan potensi sumber energi lokal terutama di daerah yang kekurangan akses listrik, mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam semua pengambilan keputusan terkait energi melalui penegakan hukum. Kemudian, mengambil pendekatan jangka panjang ketika mempertimbangkan solusi energi dan iklim.
“Konsesp demokrasi energi penting ke dalam diskusi transisi energi berkeadilan. Demokrasi energi selaras dengan salah satu isu strategis transisi energi pada Presidensi G20 Indonesia, yaitu akses energi terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan,” kata Pius.
Laporan “Banking on Renewables” menekankan, dukungan lebih besar untuk proyek energi terbarukan berbasis komunitas akan membantu mewujudkan transisi energi berkeadilan.
“Dengan regulasi mendukung dan pendanaan tepat, Indonesia dapat menciptakan sistem energi berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dan memberikan manfaat adil bagi seluruh lapisan.”
******