Nyegara Gunung: Saat Unsur Gunung dan Laut Bertemu di Les

2 weeks ago 26
  • Desa Adat Les-Penuktukan di Bali Utara, memiliki geografis daratan yang diapit oleh samudera di bagian Utara dan pegunungan di Selatan.
  • Dalam filosofi Bali, Nyegara Gunung menggambarkan kesatuan hubungan tidak terpisahkan antara laut dan gunung, setiap aktivitas di daratan akan berdampak pada pesisir dan laut, juga sebaliknya.
  • Dalam dua dekade ini terjadi transformasi alat tangkap ikan yang ramah lingkungan, warga bersepakat meninggalkan praktik penggunaan bahan kimia yang merusak terumbu karang.
  • Perkembangan ini juga didorong oleh aturan kawasan yang telah ditetapkan oleh para pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah, banjar, dan adat desa.

Dalam konsep filosofi Bali, Nyegara Gunung menggambarkan hubungan yang tidak terpisahkan antara laut dengan gunung dalam satu-kesatuan pengelolaan wilayah. Setiap tindakan di darat (gunung) akan berdampak kepada pesisir (laut). Demikian pula sebaliknya.

Adalah Les, sebuah desa di Kabupaten Buleleng, Bali yang di utaranya berbatasan dengan samudera dan di selatannya berupa wilayah perbukitan. Keduanya secara kosmologi mempresentasikan konsep Nyegara Gunung. Keseimbangan alam ini yang secara transformasi berjalan di Les, yang warganya, mayoritas bergantung pendapatan ikan hias dan ikan konsumsi.

Ketut Partiana salah satunya. Ia adalah pencari ikan hias. Sejak di tingkat sekolah dasar dia sudah mencari ikan mengikuti profesi orangtuanya.

“Sejak SD sudah mencuri potas milik bapak untuk cari ikan hias,” tuturnya. Potas [potasium] adalah sejenis kimia sianida yang biasa digunakan oleh nelayan dengan cara di semprot diantara ikan-ikan sasaran. Cara kerjanya cairan potas akan masuk ke sistem respirasi ikan, yang membuat ikan setengah pingsan.

Meski cara itu dianggap lebih cepat untuk tangkap  , namun lingkungan yang terkena dampak. Karang tempat hidup ikan pun banyak yang mati, akibatnya populasi ikan turun.

Tapi sekarang kondisi lingkungan laut di pesisir Les sudah semakin pulih, sejak nelayan sepakat beralih ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Ia menunjukkan alat pencari ikan hias yang biasa digunakan nelayan yakni jaring dengan mata jaring sekitar 0,5 cm, dan serok.

Untuk menangkap ikan, bagi yang ahli, para nelayan ini mempraktekkan teknik selam free diving.

“Sekarang belum pulih 100%, tapi keberadaan ikan-ikan makin banyak,” urai Partiana. Dia sebut perubahan mulai terjadi sejak dua dekade, atau sekitar tahun 2003-an.

Nelayan pencari ikan hias di pesisir Les. yang jernih Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Hal itu pun dibenarkan oleh I Nyoman Triada atau yang akrab dipanggil Gombal. Dia salah seorang nelayan senior di Les dan menjadi saksi sejarah transformasi yang dilakukan oleh para nelayan.

Dia sebut, di dekade 1990-an ada permintaan besar ikan hias untuk tujuan ekspor dari pengepul lokal. Untuk memenuhi target dan cara pintas, nelayan banyak yang menggunakan potasium. Tetapi ternyata, selain karang banyak yang mati, semprotan sianida itu membuat banyak ikan yang ditangkap mati.

Kondisi itu berubah pada awal tahun 2000-an, saat para aktivis lingkungan mulai memperkenalkan cara tangkap yang lebih ramah lingkungan. Awalnya mereka tidak memperkenalkan diri sebagai aktivis lingkungan, tetapi perwakilan buyer luar negeri yang membutuhkan ikan hias yang ramah lingkungan.

Nelayan pun lalu belajar cara-cara menangkap ikan menggunakan serok. Tidak saja dengan cara tangkapnya, transformasi ini berlanjut dalam organisasi nelayan. Saat ini kelompok nelayan yang ada telah membuat aturan-aturan penangkapan, termasuk penangkapan ikan dengan cara yang ramah lingkungan.

“Jika ada yang melanggar menggunakan potas bisa dikeluarkan dari kelompok. Sampai dikenakan denda, dan sanksi hukum,” sebut  .

Para nelayan ikan hias ini sangat hafal ratusan jenis ikan hias, sesuai pesanan para pengepul. Misalnya paling mahal jenis famili Pomacanthidae, meliputi enjel [angel] ungu (Centropyge argi), enjel beka (Centropyge bicolor), enjel hitam (Centropyge melas), dan enjel abu-abu (Curoliki sp.).

Ada juga famili Labridae, meliputi ikan bajing laut (Bodianus bilunulatus), ikan anjing laut (Bodianus sp.), keling daun (Cheilio enermis), keling mutiara (Coris sp.) Berikutnya juga ada famili Acanthuridae, meliputi butana kuning (Acanthurus caerulerus), butana biru (Acanthurus leocostemon), butana kaca mata (Acanthurus nigricans), butana kasur (Acanthurus lineatus).

Dari segi kesehatan ikan, tingkat kematian ikan hias sudah jauh menurun jika dibandingkan saat ikan ditangkap dengan potasium. Dari segi kesehatan para nelayan pun, mereka bilang setelah bekerja badan mereka tidak pernah lagi meriang karena paparan zat kimia sianida.

Alat tangkap ikan menggunakan serok dan jaring di Les. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Baca: Melihat Perempuan Tejakula Menjodohkan Ikan Hias

Transformasi Alat Tangkap Ikan dan Kesejahteraan Warga

Di pagi hari itu, belasan nelayan menangkap ikan dengan berbagai cara. Ada yang menggunakan alat pancing kail, alat tembak dan lainnya. Tetapi tidak ada lagi yang menggunakan semprotan potas.

Beberapa nelayan ikan hias menyebut sekarang tidak perlu lagi menggunakan perahu, cukup berenang dari pantai dengan membawa jaring, serok, dan alat snorkel.  Ini karena terumbu karang di sekitar pesisir, telah pulih perlahan-lahan.

“Dulu cari ikan harus dari pukul 8 hingga pukul   [WITA], sekarang tengah hari juga sudah selesai,” jelas Partina.

Bagi Triada itu bukti jika nelayan dan warga Les telah berhasil menjaga kelestarian   pesisir. Dengan waktu yang tersisa, mereka pun masih bisa bekerja sebagai pemandu wisata bahari, bahkan guide diving buat turis.

Dengan kondisi laut yang semakin baik, turis juga mulai datang berkunjung. Sebagian ingin langsung merasakan pengalaman bagaimana cara menangkap ikan hias seperti orang lokal setempat. Bahkan ada mahasiswa mancanegara yang pernah membuat penelitian ekosistem bawah laut yang ada di Les.

“Saya buat program cara menangkap ikan hias untuk wisatawan. Mereka ingin belajar jenis ikan, ambil foto-foto underwater, setelah itu ikannya dilepas lagi,” sambung Triada.

Dengan adanya kunjungan wisatawan di Les, aktivitas ini mendorong ekonomi yang berputar di warga. Beberapa warga mulai menyediakan akomodasi dan konsumsi bagi turis yang datang. Termasuk jasa pengantaran turis.

Don Rare salah satunya, dia bekerja sebagai pemandu wisata yang kerap membawa turis blusukan di desa. Selain memperkenalkan kehidupan orang lokal, ia juga mengenalkan produk olahan pertanian seperti gula aren, pembuatan arak, serta berbagai hasil kerajinan tangan.

Sementara untuk menikmati alam, wisatawan kerap diajaknya melakukan treking ke bukit, melihat hutan desa, menjelajah ke sumber-sumber mata air, hingga melakukan aktivitas snorkeling.

Nelayan memancing ikan di pesisir Les dengan latar belakang perbukitan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Baca: Kisah Kearifan Lokal Desa Les Melestarikan Terumbu Karang Buleleng

Kawasan Konservasi Perairan

Merujuk pada data Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Buleleng, panjang pantai yang ada di kabupaten ini adalah 157,05 km dengan luas perairan 1.166,75 km2. Perairan ini memiliki potensi terumbu karang, pariwisata bahari, dan ikan hias maupun konsumsi.

Yunaldi, seorang staf lapangan Yayasan LINI  yang bergerak dalam konservasi perairan bilang jika berdasarkan   di wilayah ini, kondisi terumbu karangnya semakin membaik.

“Aliran arus di pesisir Bali Utara ini [turut] membantu. Lumpur [sedimen] yang mengalir ke laut, bisa kembali cepat bersih,” jelasnya. Kini tantangannya adalah ancaman pemutihan karang yang terjadi di musim tertentu.

“Pemutihan karang, adalah salah satu dampak global kenaikan suhu permukaan air laut. Meski demikian, kematian karang akibat cuaca tidak terjadi secara masif di Bali,” jelasnya.

Secara regulasi, kawasan pesisir ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Buleleng  yang meliputi pesisir di Lovina, Pemuteran, sampai ke Tejakula. Beberapa zona pun telah ditetapkan, seperti zona pemanfaatan, pariwisata berkelanjutan, hingga zona inti. Tiap desa bisa mengatur zona ini sesuai kebutuhan masing-masing.

Made Agustawan seksi konservasi Pokwasmas Taman Segara menjelaskan salah satu cara melindungi terumbu karang adalah dengan penetapan area larangan mencari ikan hias dan menembak ikan di sebagian wilayah pesisir.

Agustawan menyebut konsep pengelolaan terumbu karang berkelanjutan ditujukan untuk wisata selam. Secara rutin, dia dan kelompok Pokwasmas melakukan pemantauan dan transplantasi karang, yang dianggarkan dari dana desa.

Ia pun menyebut satu diving site favorit yang disenangi oleh para turis adalah yang ada di Desa Penuktukan. Di lokasi ini para penyelam dapat melihat tebing dan gua-gua di bawah laut dengan hamparan terumbu karangnya.

Agustawan, Pokwasmas Taman Segara, Desa Penuktukan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Adat yang Terus Dipelihara

Meski mulai menggunakan cara-cara yang lebih modern berbasis sains, aset terbesar dari warga Desa Adat Les-Penuktukan adalah budayanya. Ini tampak dalam berbagai bentuk ritual yang dilakukan di laut dan di gunung.

Misalnya Baris Dadap di Desa Adat Les-Penuktukan merupakan tarian yang bertujuan untuk menetralkan atau menstabilkan Butha Kala (kekuatan niskala).

Keunikan dari Tari Baris ini para penari membawa senjata yang berbentuk perahu jukung yang merupakan simbol suka cita setelah memenangkan peperangan dan diikuti dengan lantunan nyanyian yang  khas.

Ada juga tradisi semacam upacara “sedekah laut” setiap satu tahun sekali sebagai wujud terima kasih masyarakat kepada laut yang telah memberi penghidupan. Upacara ini dilakukan oleh seluruh keluarga nelayan dengan bersembahyang di Pura Dalem dengan menyajikan babi guling dan berbagai sesajen lainnya yang kemudian dihanyutkan ke laut.

Berikutnya Ngusaba Kedasa. Upacara yang dilakukan di daerah hulu yakni Batur. Pada upacara ini juga biasanya dibarengi dengan persembahan atau Pengaci-aci berupa kerbau. Ritual rutin lain adalah Melasti diadakan setahun sekali. Biasanya, Melasti digelar sebelum Nyepi ketika warga berbondong-bondong bersembahyang dan membawa sarana suci ke sumber air.

Adat dan budaya lokal yang berdasarkan kosmologi Nyegara Gunung pun mulai dipraktikkan oleh warga nelayan Desa Les. Mereka paham bahwa setiap elemen alam mempunyai hubungan.

Saat ada banjir yang berasal dari pegunungan, yang juga sering membawa sampah, sedimentasinya akan menutupi hamparan terumbu karang yang bisa merusak pesisir dan kualitas air.   penggunaan zat kimia untuk menangkap ikan yang menurunkan populasi ikan. Dengan menjaga alam dan menggunakan peralatan ramah lingkungan, semua unsur alam bisa dipulihkan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.

Foto : Beginilah Aktivitas Nelayan Indonesia

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|