Nestapa Nelayan Terdampak Kawasan Industri ‘Hijau’ Kaltara

1 week ago 34
  • Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) atau Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) di Kalimantan Utara sudah mulai kontruksi sejak 2021. Masyarakat pesisir dan nelayan pun mulai merasakan dampak kehadiran proyek strategis nasional ini.
  • Penelitian bersama Jaringan advokasi Tambang (Jatam) Kaltim dan Nugal Institute dengan judul “Kebohongan Hijau” menyebutkan, KIHI muncul sebagai wahana industri dan manufaktur yang menghasilkan produk dan teknologi untuk menopang ambisi pemerintah mendorong ekonomi hijau dan target transisi energi gunakan pembangkit listrik tenaga air. Padahal, proyek ini rakus lahan dan energi,  serta sumber energi industri ini juga bersumber dari batubara. 
  • Saat ini,  hasil tangkapan ikan, termasuk nelayan bagan mulai menyusut.  Nelayan was-was, baru masa kontruksi saja sudah menimbulkan dampak, apalagi kalau nanti beroperasi. Mereka khawatir ruang hidup dan sumber penghidupan hilang.
  • Karena hasil tangkapan ikan di bagan terus menurun, nelayan makin terbebani karena biaya operasional tinggi. Sebagian nelayan pun mulai beralih kerjaan, seperti jadi petani atau berjualan. Mereka ada yang tanam sawit. Meski begitu, berkebun pun sulit karena lahan-lahan sudah masuk kawasan industri.

Sejumlah konstruksi bangunan mulai berdiri di mega proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) atau Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) yang mengokupasi pesisir di Kecamatan Mangkupalas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Ada pembangunan pabrik-pabrik sampai menara pembangkit listrik batubara. Mereka mulai  bangun sejak 2021.   PLTU ini mereka gadang-gadang akan melistriki ‘kawasan industri hijau’ seluas sekitar 30.000 hektar ini.

Geliat pembangunan kawasan yang berstatus proyek strategi nasional (PSN) ini membawa keresahan bagi masyarakat lokal seperti nelayan di dua desa, Mangkupadi dan Tanah Kuning. Dua desa dengan 6.500 jiwa ini mulai merasakan daya rusaknya.

Sejumlah nelayan yang Mongabay temui pertengahan 2024 mengatakan,  saban tahun melewati musim teri dan udang papai dengan penghasilan merosot drastis sejak KIHI hadir.

“Terlihat di lapangan ada penurunan pendapatan para nelayan,” kata Supardi,  warga Desa Tanah Kuning kepada Mongabay.

Pada tahap pembangunan konstruksi saja, kata Supardi, sudah berdampak besar ke nelayan. “Bagaimana nanti ketika Industri yang mengklaim hijau ini sudah produksi?”

Dia  memprediksi, kalau nanti sudah operasi produksi akan menghilangkan mata pencaharian nelayan.

“Wilayah nelayan bagan dan udang papai akan hilang. Biasanya nelayan banyak beraktivitas [di daerah] yang sekarang pelabuhan KIPI, “ katanya.

Sekarang saja, nelayan udang papai sudah tak boleh mencari udang di sekitar pelabuhan.

Kawasan yang menjadi proyek KIHI di Kaltara. Foto: Ahmad Zaini

Masyarakat juga tak tahu bagaimana menghadapi limbah saat perusahaan sudah operasi. “Berapa limbah dari PLTU dan smelter nikel yang akan dibuang,” katanya.

Supardi mengatakan, karang Malingkit di Kampung Baru tempat padang lamun satu titik memancing ikan terbaik, kini terancam.

Awal Maret 2024, kapal Landing Craft Transport  (LCT) bermuatan BBM solar berangkat dari Tarakan dengan tujuan pelabuhan Kalimantan Aluminium Industry (KAI) di Desa Mangkupadi tenggelam  di lepas pantai  hingga menyebabkan tumpahan solar.

Menurut pantauan warga, padang lamun di Malingkit sudah tidak terlihat.

Supardi, juga peneliti Perkumpulan LIngkar Hutan Lestari (PLHL) Bulungan. Dia bilang,  padang lamun hanya bisa tumbuh di air tak tercemar. “Jika air laut ada kerusakan maka padang lamun akan hilang.”

Dia menilai,  KIHI pakai proyek energi kotor, namun membungkus diri seolah kawasan industri hijau, dan bersih.

Padahal, kata Supadi, kalau melihat lebih jauh mereka sedang membangun PLTU captive memakai energi batubara.

Perusahaan juga bilang, akan gunakan lebih banyak tenaga kerja lokal. “Sangat sedikit sekali orang Mangkupadi, Tanah Kuning dan Kampung Baru yang bekerja di perusahaan ini,” katanya kepada Mongabay 10 Februari 2025.

Nelayan bagan mulai terdampak kehadiran proyek KIHI. Foto: Andallah Naem/Mongabay Indonesia

 

Banting setir jadi petani

Puluhan warga berkerumun di bawah pohon ketapang di Kampung Baru,  Desa Mangkupadi menanti kapal nelayan bagan datang. Saban pagi, kapal nelayan bagan datang tetapi dalam dua tahun belakangan ini ikan turun drastis. “Lebih banyak orangnya daripada ikannya,” ujar warga Kampung Baru,  pada 2024.

Di pesisir Kalimantan Utara terdapat dua musim. Di masa angin utara, Januari-Maret dengan musim ombak, warga nelayan mencari udang papai dan pada Mei-Desember banyak nelayan hasilkan ikan. Teri sebagai penghasilan utama nelayan selain ikan putih (kuwe).

Arfah,  nelayan dan pemilik bagan juga pengepul ikan di Kampung Baru benarkan, penghasilan nelayan menurun drastis.

Selama ini, katanya, penghasilan nelayan kembang kempis tetapi tak separah saat ini.  Sejak KIHI datang, pendapatan mereka turun signifikan

“Biasanya bagan sebelum ada lampu ini penghasilan anggota ini kadang dalam satu malam Rp3-Rp5 juta penghasilan teri. Ikan teri satu kali penuh itu sekitar Rp3 jutaan semalam. Sekarang kadang ada juga begitu tapi tidak seperti dulu.  Sekarang jarang,” ujar Arfah.

Lampu yang dia maksud ini, lampu-lampu dari kawasan industri.

Mengapa hasil ini terus merosot? Dia menduga kegiatan isap pasir di pelabuhan PT KIPI di dekat areal bagan milik warga banyak mempengaruhi hasil tangkapan nelayan.

Kondisi masyarakat pesisir dan nelayan makin sulit untuk membiayai pemeliharaan bagan mereka.  Bahkan,  beberapa orang meninggalkan bagan, banting setir menjadi petani dan berjualan.

Menurut Amran, seorang nelayan, membiayai dan membangun satu bagan tidak kurang Rp100 juta. Apalagi, harga-harga  peralatan bagan makin mahal.

Kadang nelayan terpaksa meminta bantuan bos juragan bagan, itupun kadang tak berani karena penghasilan kian tak menentu. “Nanti runtuh bagan kita tidak masuk penghasilan, sampai mati kita berutang,”

Amran memilih tak lagi meneruskan jadi nelayan lantaran penghasilan terus merosot. Untuk nombok biaya BBM saja sudah pontang panting. Setiap malam, warga menghabiskan lima liter bensin untuk menyalakan mesin genset di bagan. Dengan harga Rp15.000 per liter, minimal nelayan bagan harus mendapatkan hasil ikan untuk menutupi biaya bahan bakar mesin. “Kalau dapat ikannya 1-2 kg apa tidak menangis berteriak.”

Amran mencoba peruntungan dengan  menanam sawit. Tantangan lain menghampiri, lahan pertanian juga terancam tergusur mega proyek. Lahan dia sudah terpasang plang larangan beraktivitas karena masuk dalam proyek strategis nasional.

Proyek KIHI di Kaltara. Foto: Ahmad Zaini

Klaim industri hijau

KIHI Kalimantan Utara masuk skema proyek strategis nasional (PSN) berlabel hijau yang melenggang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 109/2020 tentang perubahan ketiga Perpres Nomor 3/2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional.

Presiden Jokowi menyebut proyek ini di berbagai forum, sebagai Industri hijau dengan hilirisasi terbesar di dunia.  Perkiraan investasi KIHI sekitar Rp1.848 triliun.

Sebanyak tiga perusahaan akan mengelola kawasan industri ini. Ada KIPI , PT Indonesia Strategi Industri (ISI) dan PT Kayan Propertindo  (KPP).  Kakak kandung Menteri BUMN Erick Thohir, atau yang biasa dikenal sebagai Boy Thohir, sebagai ketua Konsorsium kawasan Industri hijau ini. Boy Thohir juga pemilik PT Adaro Mineral Indonesia ini akan menguasai KIPI.

Di kawasan ini akan jadi smelter, hilirisasi mineral dan logam seperti smelter aluminium, polysilicon, steel, lithium ion, battery dan petrochemical.

Penelitian bersama Jaringan advokasi Tambang (Jatam) Kaltim dan Nugal Institute dengan judul “Kebohongan Hijau” pada September 2023 menyebutkan, penerima manfaat paling besar Boy Tohir karena 90% dari keseluruhan kawasan industri ini berada di konsesi perkebunan sawitnya.

Laporan itu menyebutkan, KIHI muncul sebagai wahana industri dan manufaktur yang menghasilkan produk dan teknologi untuk menopang ambisi pemerintah mendorong ekonomi hijau dan target transisi energi gunakan pembangkit listrik tenaga air.

Padahal, proyek ini rakus lahan dan energi,  serta sumber energi industri juga bersumber dari batubara.

“Ternyata terdapat pemalsuan dan penggelapan cerita dan duduk perkara,” tulis laporan itu.

Mongabay menghubungi Febriati Nadira, Kepala Humas PT Adaro Energy Indonesia TBK yang berubah nama jadi PT Alam Tri Resources Indonesia Tbk– sebagai salah satu pemegang terbesar di KIHI.

Kehidupan nelayan di sekitar KIHI di Kaltara. Foto: Abdallah Naem/Mongabay Indonesia

Dia menyampaikan,  perkembangan kawasan industri ini berjalan sesuai jadwal perencanaan, sudah mencapai sekitar 10%. Bahkan, katanya, pembangunan satu tenant utama sudah 63%.

Febriati bilang, mitigasi dampak polusi dan perizinan terkait penggunaan energi batubara sudah sesuai ketentuan perundang-undangan berlaku.

Seluruh tenant,  katanya, wajib mematuhi peraturan perundang-undangan berlaku terkait lingkungan hidup seperti perizinan memenuhi standar kualitas emisi udara yang pemerintah keluarkan.

“KIPI dan tenant melakukan pelaporan berkala, termasuk proyek PLTU yang sudah mengadopsi teknologi terkini untuk meminimalisir emisi,” kata Febrianti kepada Mongabay, 21 Februari 2025.

Dia contohkan, penggunaan electrostatic precipitator untuk mengendalikan partikulat. Mereka juga memakai teknologi flue gas desulfurization (FGD) dan injeksi batu kapur untuk mengendalikan SO2, teknologi low NOx dan circulating fluidized bed boiler (CFB),

Begitu juga aktivItas di pelabuhan KIPI, katanya,  sudah berjalan sesuai ketentuan berlaku.  Jalur pelayaran di pelabuhan, sudah melengkapi sarana bantu navigasi pelayaran (SNBP). “KIPI juga meminimalkan sudut arah lampu yang mengarah ke laut serta menggunakan teknologi ramah lingkungan seperti cutter suction dredger,” katanya.

KIPI, katanya,  punya itikad baik berkomunikasi dengan instansi terkait untuk mensosialisasikan kepada masyarakat sekitar untuk mengakomodir pemenuhan hak-hak dari pihak-pihak terkait.

“KIPI senantiasa mendukung penegakan hukum, dan mengimbau kepada para pihak untuk melapor kepada pihak berwajib agar segera ditindaklanjuti.”

Mongabay juga menghubungi Bupati Bulungan, Syarwani  melalui tetepon tetapi tidak merespon. Pesan WhatsApp pun tidak berbalas.

Proyek KIHI yang mulai terdampak bagi kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir di Kaltara. Foto: Ahmad Zaini

*******

Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati Terancam Kalau Megaproyek PLTA Kayan Jalan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|