- Perkebunan karet merupakan komoditi utama di Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau atau bagi Masyarakat Adat Malako Kociak. Sekitar 600 keluarga menggantungkan hidup dari usaha turun-temurun ini. Anjloknya harga karet membuat mereka mulai beralih ke sawit.
- Harga karet murah juga berdampak pada pekerjaan laki-laki. Mereka mau tidak mau harus menebang hutan. Kayu diolah menjadi balok dan papan sebelum ditarik ke sungai. Pekerjaan ini memakan waktu dan meninggalkan keluarga hingga setengah bulan di hutan.
- Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar, Himyul Wahyudi, pilihan masyarakat Malako Kociak beralih ke sawit dan kembali menebang hutan adalah bentuk kemarahan mereka pada pemerintah, atas menyempitnya ruang hidup. Mereka dulu nyaman berladang. Namun, adanya larangan berkebun dalam kawasan hutan dan membakar, membuat mereka takut dan berhenti melakukan pekerjaan itu.
- Sebagai informasi, Masyarakat Adat Kenegerian Malako Kociak sudah ada sejak zaman Kerajaan Gunung Sahilan, sekitar tahun 1.700-an Masehi yang masih eksis hingga sekarang. Wilayah adat mereka ditetapkan sebagai desa definitif pada 1999, sedangkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling baru ditunjuk pada 23 Mei 2014, seluas 141.226, 25 hektar.
Mimi Efrita (41), beristirahat di sebuah warung di ujung jembatan gantung, Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Dia masih mengenakan pakaian berkebun.
Ibu tiga anak itu, baru memulai kembali aktivitas menyadap karet, Sabtu (26/10/2024), setelah tiga tahun berhenti. Pasalnya, dalam periode tersebut, harga karet terlalu murah sehingga tidak menopang biaya hidup.
Dua bulan terakhir, harga getah karet Rp10.000 per kilogram. Sebelumnya, terjun bebas pada angka Rp3.000 per kilogram.
“Itu yang membuat orang malas menakik/menderes karet. Saya mengerjakan sendiri. Tak sanggup upah orang. Kebun karet saya bukan jenis unggul,” ujarnya.
Mimi mengelola kebun karet warisan orang tua yang sudah berumur 30 tahun. Hasil menderes dijual ke penampung lokal, lima hari sekali. Sehari, dia mendapatkan getah sekitar 5-10 kilogram dengan durasi kerja satu hingga dua jam.
Perkebunan karet merupakan komoditi utama di Tanjung Beringin atau bagi Masyarakat Adat Malako Kociak. Sekitar 600 keluarga menggantungkan hidup dari usaha turun-temurun ini. Anjloknya harga karet membuat mereka mulai beralih ke sawit.
Suami Mimi, buruh bangunan. Pekerjaan musiman yang baru bergeliat ketika pemerintah mengucurkan proyek pembangunan infrastruktur di desa. Mimi dan suami coba peruntungan dengan mengganti sekitar 1,5 hektar kebun karet mereka dengan sawit. Saat ini, tersisa kurang satu hektar pohon karet yang masih produktif. Sementara sawit, baru berbuah pasir.
Saat ini, baru tiga masyarakat adat yang merasakan hasil panen sawit.
“Mungkin setelah banyak pemilik sawit panen baru ada pembeli di sini,” ujarnya.
Setelah karet berganti sawit, Masyarakat Adat Malako Kociak menjadi konsumtif. Mereka kini membeli kebutuhan rumah tangga, seperti bumbu dapur, yang datang menggunakan piyau. Tiap Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu akan ada pasar apung selama satu sampai dua jam di tepi sungai.
Harga karet murah juga berdampak pada pekerjaan laki-laki. Suami Mimi, mau tidak mau harus menebang hutan. Kayu diolah menjadi balok dan papan sebelum ditarik ke sungai. Pekerjaan ini memakan waktu dan meninggalkan keluarga setengah bulan di hutan.
Adanya kegiatan tersebut, diakui Datuk Ajismanto, yang merupakan pucuk adat Kenegerian Malako Kociak, sebagai ancaman. Sebab, perubahan tutupan hutan akan mempengaruhi keberlanjutan konservasi sungai melalui lubuk larangan. Sebuah area khusus penangkapan ikan yang berlaku satu kali setahun.
Tidak hanya bagi Malako Kociak, juga enam kenegerian yang kini menjadi sembilan desa di sepanjang aliran Sungai Subayang. Tiap desa, memiliki paling sedikit dua lubuk larangan yang ditandai bentangan tali dua arah di atas sungai.
Selain itu, Sungai Subayang juga terancam pendangkalan. Dampak lanjutannya akan mengganggu lalu lalang piyau (sebutan untuk perahu tradisional di kampar), termasuk kebutuhan air bersih. Mengingat, masyarakat adat masih bergantung air sungai untuk mandi dan kebutuhan harian. Bahkan, mandi di sungai masih jadi budaya hingga saat ini.
Meski begitu, Datuk Ajismanto tak menampik pilihan ekonomi masyarakat adat itu karena mereka peduli pendidikan anak-anak. Para orangtua harus memikirkan tiga periuk. Periuk di rumah, periuk di Desa Gema —kebutuhan anak yang melanjutkan pendidikan menengah— dan periuk di Pekanbaru —buat anak yang melanjutkan pendidikan tinggi.
“Tak cukup dengan karet. Mau tak mau ada juga yang menebang kayu. Itulah alternatif dan pilihan terpaksa. Cuma, kayu yang ditumbang tidak sembarang, hanya yang mengapung,” ujarnya.
Ruang Hidup Menyempit
Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar, Himyul Wahyudi, pilihan masyarakat Malako Kociak beralih ke sawit dan kembali menebang hutan adalah bentuk kemarahan mereka pada pemerintah, atas menyempitnya ruang hidup.
Mereka dulu nyaman berladang. Namun, adanya larangan berkebun dalam kawasan hutan dan membakar, membuat mereka takut dan berhenti melakukan pekerjaan itu.
Sebagai informasi, Masyarakat Adat Kenegerian Malako Kociak sudah ada sejak zaman Kerajaan Gunung Sahilan, sekitar tahun 1.700-an Masehi yang masih eksis hingga sekarang. Wilayah adat mereka ditetapkan sebagai desa definitif pada 1999, sedangkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling baru ditunjuk pada 23 Mei 2014, seluas 141.226, 25 hektar.
“Mereka bersawit tidak bisa kita larang. Ini urusan perut. Makin hari, mereka dihadapkan dengan biaya hidup yang mahal. Dulu, anak mereka tidak sekolah. Sekarang, mengenyam pendidikan. Banyak periuk yang dipikir dan harus ditanggung,” jelas Wahyudi.
“Dulu, lumbung padi mereka melimpah, tak pernah habis. Kesibukan berladang, enam bulan sekali, membuat mereka tidak ada waktu menjadi pembalak liar,” tambahnya.
Menurut Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), masyarakat Malako Kociak dan banyak komunitas adat lain, memang mengalami dilema serius ketika akses terhadap praktik-praktik penghidupan tradisional, seperti berladang, terhambat dan harga komoditas seperti karet terus menurun. Mereka jadi terdesak, karena pilihan sangat terbatas.
Kebijakan negara melarang bakar lahan, tidak disertai solusi alternatif untuk ekonomi berkelanjutan. Padahal tidak semua menjadi area peladangan. Sebagian besar masyarakat adat di Kampar masih memiliki praktik imbo atau hutan-hutan larangan. Mereka juga masih menghormati keberadaan satwa-satwa penting, salah satunya harimau yang mereka sebut “datuk”.
“Kebijakan sepihak cerminan ketidakmampuan dan ketidakmauan negara memahami ragam penghidupan berbasis kultural masyarakat. Pada akhirnya, stigma negatif perambah hutan misalnya, selalu dilekatkan pada masyarakat tanpa ada aspek korektif terkait kebijakan yang dilahirkan,” terang Asti, Jumat (8/11/2024).
Maraknya penebangan liar karena pengaruh ekonomi juga dibenarkan Nasrun, pemuda Malako Kociak. Aktivitas itu kembali dilakukan sejak harga karet menurun drastis. Hasil pendataan, setidaknya ada 25 orang yang menjadi penebang kayu di hutan. Belakangan, satu orang berhenti setelah harga karet sedikit melonjak.
Saat ini, terdapat 20 titik kebun sawit masyarakat. Meski begitu, Nasrun, mengatakan hutan dan lahan di Malako Kociak masih tergolong aman dari perambahan dan penguasaan skala besar. Terutama dari masyarakat luar.
Di sini, tidak diperkenankan kepemilikan lahan mutlak secara pribadi dengan legalitas surat keterangan tanah maupun hak dalam bentuk apapun. Lahan pertanian atau peladangan yang dikuasai masyarakat, merupakan warisan dari pemberian hak kelola oleh ninik mamak masing-masing suku. Sebagai informasi, di Malako Kociak terdapat Suku Domo Bukit, Domo Bawah, Putopang, Caniago, dan Melayu.
Bila ada peralihan penguasaan lahan antarmasyarakat lokal atau anak kemenakan, pengelola sebelumnya cukup meminta ganti biaya selama bercocok tanam. Tidak perlu buat surat keterangan ganti rugi ke pemerintah desa atau kecamatan.
“Pernah ada pengumuman dari pemerintah desa. Bagi masyarakat yang telanjur memiliki surat keterangan tanah (SKT) diminta untuk mengembalikan. Ini juga bentuk konservasi hutan,” terang Nasrun.
Pengakuan dan Harapan
Malako Kociak pernah dijuluki Kenegerian Miring. Cerita Datuk Ajismanto, julukan itu diberi Raja Gunung Sahilan, ketika sang raja tersinggung terhadap sambutan masyarakat, saat kunjungan ke wilayah tersebut. Penyebutan nama ini melekat cukup lama.
Baru pada 2018, namanya kembali ke awal, ketika Raja Gunung Sahilan diwariskan ke Tengku Muhammad Nizar, setelah terjadi kekosongan sejak 1978.
“Miring dianggap tidak waras. Sehingga kami sampaikan pada pewaris kerajaan, karena Sang Raja mengucapkan maka Sang Raja pula yang mencabut,” ucap Datuk Ajismanto.
Kenegerian Malako Kociak disebut Desa Tanjung Beringin, setelah ditetapkan Bupati Kampar pada 1999. Waktu itu, masyarakat mengusulkan tiga nama: Tanjung Beringin, Bukit Sakti, dan Teluk Pendaingan.
Pemilihan Tanjung Beringin tidak lepas nuansa politik, masa itu. Namun begitu, nama ini juga merujuk nuansa kampung. Tanjung merupakan tempat usaha atau perdagangan masyarakat adat. Sementara pohon beringin yang banyak tumbuh merupakan tempat berteduh.
“Saya ikut mengusulkan pembentukan desa. Saat itu, saya kepala dusun. Saya juga ditunjuk sebagai penjabat sementara Kepala Desa Tanjung Beringin pertama,” ujar Datuk Ajismanto (56), yang lebih dulu dinobatkan sebagai Datuk Pucuk pada 1984.
Berdasarkan pemetaan AMAN Kampar, luas wilayah adat Malako Kociak sekitar 6.890 hektar. Ruang hidup mereka dibagi beberapa peruntukan. Mulai permukiman, perkebunan, budidaya, perlindungan, hutan adat dan imbo gano. Termasuk lubuk larangan yang diakui sebagai kawasan perlindungan masyarakat adat dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kampar.
Saat ini, mereka tengah menunggu surat keputusan Bupati Kampar tentang pengakuan masyarakat hukum adat dan hak tanah ulayat.
“Draf SK sudah ada, hanya menunggu tanda tangan. Mungkin, setelah terpilih Bupati dan Wakil Bupati Kampar,” jelas Wahyudi.
AMAN Kampar berupaya memfasilitasi penyuluhan bagi beberapa petani karet masyarakat Malako Kociak. Tujuannya, agar hasil produksi mereka tembus dengan harga tinggi. Juga, mendorong penguatan pangan dengan sumber daya alam tersedia dan menciptakan program ekonomi alternatif.
“Malako Kociak kaya sumber daya alam. Pengelolaannya bisa difasilitasi pemerintah desa, melalui Dana Desa untuk pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekonomi. Sehingga, tidak terpaku pada infrastruktur dan pembangunan fisik.”
AMAN Kampar, perlahan memfasilitasi kegiatan ekonomi bagi beberapa masyarakat adat di aliran Sungai Subayang. Di Kenegerian Terusan, mereka coba budidaya madu kelulut dan tanaman jahe. Di Kenegerian Batu Sanggan, mendorong peternakan ayam kampung. Sementara di Kenegerian Ujung Bukit, mengembangkan ternak kambing.
“Mulai dari kelompok kecil. Hasilnya bisa digunakan untuk membangun masjid dan mengisi kas ninik mamak, sebagai operasional mengurus wilayah adat. Saat ini, ninik mamak tidak bergerak karena tiada anggaran,” terang Wahyudi.
Sebagai pendamping desa, Nasrun, juga meminta pemerintah daerah membuka peluang ekonomi baru atau alternatif bagi masyarakat adat yang patuh akan pantang larang di hutan dan sungai. Dia mengharapkan, adanya sosialisasi jenis tanaman yang cocok selain karet dan sawit, untuk menunjang pertanian masyarakat.
Nasrun, memperhatikan masyarakat adat sebenarnya tak sanggup lagi membalak kayu. Jarak tempuh semakin jauh. Dari rumah ke pondok kerja memakan waktu seharian mendaki bukit. Belum lagi bergeser ke lokasi kayu pilihan. Itu, kalau cuaca mendukung alias tidak hujan.
Sekali bertolak ke hutan, satu rombongan pembalak kayu berjumlah tiga sampai lima orang. Mereka menggunakan modal sendiri atau berinduk semang alias mencari tauke. Fase ini, sebenarnya sudah berhenti total ketika Susilo Bambang Yudhoyono atau dikenal sebagai SBY menjabat Presiden Indonesia.
Sejak itu, Masyarakat Adat Malako Kociak lebih senang menderes karet. Para pemuda mudah saja mendapatkan Rp1 juta per minggu dengan waktu kerja cuma lima hari. Tak heran, tiap tengah bulan, mereka liburan ke Pekanbaru.
“Kami berharap dengan pemerintahan baru, langkah pengakuan masyarakat adat semakin mudah. Harapan itu juga turun ke pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) yang akan mendapatkan pemimpin baru,” jelas Wahyudi.
Harapan serupa diutarakan Asti. Pemerintah harus menghormati dan lebih berperan aktif mendukung masyarakat adat dan komunitas lokal, yang masih menjalankan praktik konservasi berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.
Dukungan itu, bisa diwujudkan dalam bentuk kebijakan khusus melindungi keberlanjutan praktik konservasi, serta hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam. Ini juga berarti, memberi kemudahan bagi proses pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Kita tahu, bahwa hari ini untuk mendapatkan pengakuan, masyarakat adat harus menempuh jalur perjuangan panjang. Berbelit dan berbiaya mahal,” ungkapnya.
Negara perlu hadir dalam penguatan dan pengembangan ekonomi berkelanjutan, dengan tetap menghormati tata kelola dan penghidupan masyarakat adat, maupun lokal. Bantuan modal dan akses pasar bagi hasil bumi, karet atau hasil hutan lainnya, sangat diperlukan.
Asti sepakat, peningkatan kapasitas masyarakat juga bagian dari peran negara. Begitu juga pentingnya pembagian manfaat yang adil atas kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal, dalam menjaga ekosistem.
“Agar bisa terus menjalankan konservasi, tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka,” tandasnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.
Kearifan Masyarakat Adat Malako Kociak: Menjaga Sungai Subayang dengan Aturan Lubuk Larangan