- Bumi menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati. Sejak 1996, IUCN melaporkan hingga kini ada 900 spesies lebih yang dinyatakan punah.
- Di Indonesia, tahun sebelumnya (2023) ikan pari jawa (Urolophus javanicus) dinyatakan punah. Penangkapan yang masif diyakini menjadi penyebab punahnya spesies ini.
- Berdasarkan laporan Living Planet Report [LPR] 2024 yang dikeluarkan WWF, telah terjadi penurunan populasi satwa liar sebesar 73 persen, dari 1970 hingga 2020.
- Secara global, kita mendekati titik kritis yang tak dapat diperbaiki, mengancam kelangsungan sistem pendukung kehidupan planet ini.
Bumi menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati. Sejak 1996, IUCN melaporkan hingga kini ada 900 spesies lebih yang dinyatakan punah.
Daftar itu memasukkan catatan spesies yang dinilai boleh jadi telah punah jauh sebelum kembali diumumkan. Misalnya, burung hantu tertawa (laughing owl) yang merupakan burung endemik Selandia Baru. Foto terakhir Ninox albifacies alias burung hantu bersuara unik ini diambil pada 1920-an. Sejak 1988 telah dinyatakan punah, dan penilaian terakhir dilaporkan 2016 lalu.
Di Indonesia, tahun sebelumnya (2023) ikan pari jawa (Urolophus javanicus) dinyatakan punah. Penangkapan yang masif diyakini menjadi penyebab punahnya spesies ini. Ikan pari jawa terakhir terlihat pada 1862, di sebuah pasar ikan di Jakarta.
Baca: Pari Jawa, Biota Laut Pertama yang Dinyatakan Punah
Titik Kritis
Laporan lainnya menyebutkan, populasi satwa liar secara global turun hingga 73 persen sejak 1970 hingga 2020. Ini adalah angka rata-rata hampir 35 ribu populasi, dari 5.495 spesies vertebrata yang dipantau. Jika kita tak lagi menemui ikan di sungai, itu adalah bagian dari rusaknya ekosistem air tawar yang populasinya mengalami penurunan paling besar, hingga 85 persen, disusul populasi darat sebesar 69 persen, dan laut 56 persen.
Angka-angka itu ada dalam Living Planet Report (LPR) 2024, yang dikeluarkan WWF, berdasarkan data dari Zoological Society of London (ZSL). LPR mendasarkan pada Living Planet Index (LPI), pengukuran biodiversitas global, memakai metode yang dikembangkan dua lembaga itu.
“Kita berada di momen harus mendengarkan sains dan mengambil tindakan untuk menghindari kehancuran,” tulis Maria Susana Muhamad Gonzalez, dalam sambutan LPR 2024. Dia adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Kolumbia, yang pernah menjadi Ketua COP16.
“Secara global, kita mendekati titik kritis yang tak dapat diperbaiki, mengancam kelangsungan sistem pendukung kehidupan planet ini.”
Laporan yang dikeluarkan Oktober itu menyoroti masa depan kehidupan di bumi lima tahun ke depan. Saat ini manusia telah memiliki solusi untuk mengubah sistem konservasi, pangan, energi, dan keuangan untuk mengatasi krisis iklim dan alam.
Persoalannya, bagaimana menerapkan itu semua guna memulihkan kesehatan ekosistem secara global. Para pakar sepakat diperlukan kolaborasi multipihak, inovasi pembiayaan, peningkatan kesadaran publik, dan mekanisme monitoring yang ketat agar solusi dapat diimplementasikan secara efektif.
Baca juga: Laporan Living Planet 2024: Populasi Satwa Liar Berkurang Dalam 50 Tahun Terakhir
Kabar Baik
Meski LPI menggambarkan secara global penurunan populasi satwa liar hingga 73 persen sejak 1970, namun tidak seluruh spesies turun. Seperti dalam penjelasan teknis tambahan laporan itu, LPI dipakai untuk mengukur perubahan kondisi keanekaragaman hayati dunia dengan memeriksa pola peningkatan dan penurunan keanekaragaman serta kelimpahan hewan.
“Faktanya, sekitar setengah dari populasi menunjukkan tren yang stabil atau meningkat, sementara setengah lainnya menunjukkan tren penurunan secara keseluruhan,” tulis Stefanie Deinet, dari Institute of Zoology, Zoological Society of London, mewakili rekan penulis tersebut.
Penjelasan Our World in Data dengan melihat data yang disajikan LPI menunjukkan, 43 persen populasi satwa liar sebenarnya meningkat, 7 persen stabil, dan 50 persen turun. Misalnya, 45 persen populasi mamalia yang diteliti sesungguhnya mengalami peningkatan, sebanyak 9 persen stabil, sementara 46 persen turun.
Kabar baik antara lain juga datang dari burung raja udang Guam (Todiramphus cinnamominus), atau sihek dalam bahasa lokal. Setelah 40 tahun dinyatakan punah di alam (Extinct in the Wild/EW), sebanyak 6 ekor dilepasliarkan kembali ke hutan di atol Palmyra, sebelah timur Guam, September lalu.
Awalnya, sihek adalah endemik dan tinggal di hutan Guam. Pulau di Pasifik barat yang berada dalam teritori Amerika. Namun, ular pohon cokelat (Boiga irregularis) yang masuk ke habitatnya menyebabkan turunnya populasi sihek, termasuk jenis burung lokal lainnya.
Upaya penyelamatan dilakukan pada 1980-an, dengan menangkap 29 burung yang kemudian menjadi titik awal pengembangbiakan spesies ini. Pada 1988, sihek dinyatakan punah di alam. Namun saat ini, jumlahnya menjadi 127 ekor, tersebar di beberapa lembaga koservasi di Amerika. Seluruh burung yang dilepasliarkan dipasang radio pelacak sehingga perkembangannya bisa dipantau.
Kembalinya sihek ke alam merupakan kemenangan konservasionis. Butuh upaya bertahun yang melibatkan banyak pihak hingga sihek bisa terbang bebas kembali. Bagi Guam, sihek juga simbol keindahan pulau di Pasifik ini. Bulunya yang biru kehijauan menggambarkan keindahan laut dan lagit, sementara merah jingga di kepala leher dan perut perlambang matahari terbenam.
Sihek hanya satu dari sejumlah keberhasilan pelepasan kembali yang sebelumnya dinyatakan punah di alam liar. Ada beberapa spesies lain yang kini juga ikut menjaga kesehatan ekosistem planet bumi.
Beberapa spesies itu misalnya, serigala merah (Canis rufus), kura-kura raksasa Española (Chelonoidis hoodensis), kuda przewalski (Equus ferus przewalskii), burung kondor california (Gymnogyps californianus), burung Ko’ko’ (Hypotaenidia owstoni), kijang Arab (Oryx leucoryx), musang berkaki hitam (Mustela nigripes), ikan sirip belah tequila (Zoogoneticus tequila), ikan air tawar Yarkon (Acanthobrama telavivensis), bunga Mediterania (Diplotaxis siettiana), dan pohon Hawaii (Hibiscadelphus giffardianus), yang dihidupkan kembali dari satu-satunya pohon yang tersisa.
Sejumlah kabar baik itu telah memberi harapan bahwa upaya konservasi, seperti perlindungan habitat, program penangkaran, dan kampanye kesadaran masyarakat mulai membuahkan hasil. Dengan meningkatnya populasi spesies tertentu, ekosistem yang sebelumnya terganggu memiliki peluang untuk pulih kembali.
Namun upaya itu masih jauh dari cukup. Momen kritis kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan juga menghadang di depan. Saat alam tak lagi bisa menopang kehidupan, manusia bersama spesies lain bakal terancam kehidupannya.
10 Fakta Penting Badak, Satwa Pemalu yang Terancam Punah di Bumi