Menyoal Aturan Luas Minimal Kebun Sawit

2 weeks ago 22
  • Pada penghujung tahun lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/2024 tentang Pengembangan Kawasan Pertanian. Dalam permentan itu, satu poin soal penetapan standar minimal luas lahan perkebunan nasional, termasuk sawit minimal 6.000 hektar.
  • Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, ekspansi kebun sawit makin menambah persoalan lingkungan dan masyarakat, sedang masalah lama masih menumpuk. Kebijakan ini juga bisa jadi karpet merah bagi korporasi memperluas ekspansi perkebunan sawit baru di Indonesia.
  • Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch bingung dengan aturan baru itu. Dia bilang, tak ada perintah jelas menyebutkan bahwa regulasi ini akan mengkonsolidasikan lahan sawit yang sudah atau tidak. Dia menduga, regulasi ini justru jadi cara atau model baru untuk ekspansi sawit.
  • Marselinus Andri, dari Departemen Advokasi SPKS, berpendapat, ekspansi perkebunan sawit merupakan langkah keliru. Apalagi, saat ini sudah ada 20 badan usaha yang memasok bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri.

Pada penghujung tahun lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/2024 tentang Pengembangan Kawasan Pertanian. Dalam permentan itu, satu poin soal penetapan standar minimal luas lahan perkebunan nasional, termasuk sawit minimal 6.000 hektar.

Adapun komoditas utama juga ada standar minimal luas, yakni, teh (600 hektar), tebu  (2.000 hektar), aren  (2.000 hektar), dan komoditas lain 3.000 hektar. Regulasi ini mengklaim,  bertujuan mendorong pengembangan sektor perkebunan lebih efektif di Indonesia.

“Penetapan ini amanat dari peraturan perundang-undangan, masing-masing Direktorat Jenderal Teknis harus mengusulkan rancangan Keputusan Menteri Pertanian terkait lokasi kawasan nasional dan pengembangan kawasan pertanian,” kata Heru Tri Widarko, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perkebunan, dari  InfoSAWIT.

Dia bilang, pemerintah berkomitmen mendukung penuh pengembangan sektor perkebunan Indonesia. “Bersama, kita bisa memperkuat potensi perkebunan nasional.”

Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, ekspansi kebun sawit makin menambah persoalan lingkungan dan masyarakat, sedang masalah lama masih menumpuk. Kebijakan ini juga bisa jadi karpet merah bagi korporasi memperluas ekspansi perkebunan sawit baru di Indonesia.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch bingung dengan aturan baru itu. Dia bilang, tak ada perintah jelas menyebutkan bahwa regulasi ini akan mengkonsolidasikan lahan sawit yang sudah atau tidak. Dia menduga, regulasi ini justru jadi cara atau model baru untuk ekspansi sawit.

Dugaan dia bukan tanpa dasar. Dalam Pasal 20 Permentan itu menyebut, kepala dinas kabupaten/kota diminta menyusun usulan rencana pengembangan kawasan pertanian nasional untuk jangka waktu lima tahun dengan memperhatikan arah kebijakan strategi pembangunan pertanian provinsi dan kabupaten/kota.

Jadi, regulasi ini mendorong setiap kabupaten, kota di Indonesia memiliki kebun sawit seluas 6.000 hektar yang masuk dalam perencanaan pengembangan kawasan pertanian nasional. Kalau begitu, kata Rambo, akan terjadi deforestasi besar-besar di Indonesia karena regulasi itu.

“Kami menduga Permentan ini satu cara pemerintah untuk ekspansi sawit di Indonesia,” katanya kepada Mongabay, belum lama ini.

Warga mulai ada tanam sawit mencapai 30 hektar tersebar di beberapa desa di Pulau Enggano. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Apalagi, syarat minimal luas lahan 6.000 hingga membuka peluang bagi kabupaten/kota membangun pabrik sawit dengan kapasitas pengolahan 30 ton tandan buah segar (TBS) per jam.

Syarat ini, katanya, rawan mempermudah korporasi dalam ekspansi perkebunan sawit. Kondisi ini, katanya, bisa mendorong pertumbuhan industri pengolahan sawit di daerah, namun dampak mungkin tak menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Dia bilang, ketika setiap kabupaten/kota diminta membuka lahan baru 6.000 hektar untuk perkebunan sawit, akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Apalagi, dalam permentan tak merinci luasan  6.000 hektar tak bisa buka di kawasan hutan atau lahan pertanian produktif.

Ketidakjelasan ini, katanya, menambah kekhawatiran kalau kebijakan ini dapat mendorong konversi lahan yang seharusnya terlindungi atau untuk sektor pertanian lain. Pada akhirnya,  bisa merusak ekosistem, mengancam kedaulatan pangan, dan memperburuk perubahan iklim.

Menurut dia, Kementan perlu segera memperjelas aturan itu terutama terkait pengembangan kawasan pertanian nasional melalui ekstensifikasi atau intensifikasi. Dengan intensifikasi lahan yang ada, sangat memungkinkan dan lebih berkelanjutan.

“Ekstensifikasi justru berisiko merusak lingkungan dan mengabaikan pengelolaan lahan lebih efisien dan ramah lingkungan,” katanya.

Pembukaan lahan tanpa izin untuk dijadikan kebun sawit ini dilakukan sejak Juli 2022. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dukungan program biodiesel?

Permentan Nomor 3/2024 ini disinyalir mendukung penerapan program B40 atau pencampuran solar dengan biodiesel 40% yang mulai Januari 2025.

Dalam penelitian oleh Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Traction Energy Asia, dan Serikat Petani Sawit Indonesia (SPKS) yang rilis April 2024 menyebutkan, penerapan B40 maupun B50 pada 2025 dengan skenario paling agresif berpotensi memicu deforestasi melebihi 1,5 juta hektar pada 2039.

Dalam penelitian itu menyebut, permintaan minyak sawit internasional dan domestik untuk segala keperluan akan mencapai 67,1 juta metrik ton (mt) pada 2042 kalau campuran biodiesel tetap pada B35 saat ini. Kalau pemerintah menerapkan B40 hingga B50 pada 2025, permintaan minyak sawit akan meningkat jadi 75,63 juta ton pada 2042.

Rukaiyah Rafik, Kepala Sekretariat Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), peningkatan permintaan minyak sawit karena penerapan B40 pasti memicu ekspansi perkebunan sawit. Dia menduga, Permentan Nomor 3/2024 jadi cara pemerintah memuluskan program penerapan B40 pada 2025.

Kalau melihat produksi minyak sawit saat ini, baik permintaan internasional maupun domestik, serta untuk program B40, katanya, bahan baku sangat terbatas. Kekurangan bahan baku ini, katanya, bisa memicu ekspansi perkebunan sawit.

“Sebenarnya, 17 juta hektar perkebunan sawit saat ini bisa memenuhi kebutuhan internasional maupun domestik. Ketika ditambah dengan program penerapan B40, pasti akan ada ekspansi perkebunan sawit,” kata Rukaiyah kepada Mongabay.

Perencanaan ekspansi ini, katanya, akan menambah catatan buruk sektor perkebunan sawit dan akan memperburuk pengelolaan perkebunan berkelanjutan. Seharusnya, katanya, pemerintah memperbaiki perkebunan sawit yang ada, bukan ekspansi lagi.

“Sawit yang ada harusnya diperbaiki, sekaligus mempermudah petani mengakses dana replanting (penanaman kembali) sawit, dan membantu meningkatkan produktivitas petani swadaya.”

Kalau perbaikan perkebunan sawit dan upaya peningkatan produktivitas petani swadaya pemerintah lakukan, dapat menutupi kebutuhan B40 pada 2025. “Sekaligus kebutuhan internasional maupun domestik.”

Marselinus Andri, dari Departemen Advokasi SPKS, berpendapat serupa. Menurut dia, ekspansi perkebunan sawit merupakan langkah keliru. Apalagi, saat ini sudah ada 20 badan usaha yang memasok bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri.

Petani sawit mitra PT HIP di kebun mereka. KPPU memutus PT HIP, langgar kemitraan. Para petani ingin lahan mereka segera kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Alih-alih memperluas perkebunan sawit, kata Marselinus, seharusnya fokus peningkatan efisiensi dan produktivitas perkebunan yang ada. Termasuk,  melalui pemberdayaan petani swadaya dan perbaikan tata kelola perkebunan berkelanjutan.

Dalam penelitian SPKS bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, sekitar 5 juta hektar lebih kebun sawit petani swadaya sudah cukup memenuhi kebutuhan B30. Penelitian ini, katanya, bisa jadi acuan pemerintah kalau ingin menerapkan B40 pada 2025, tanpa harus ekspansi kebun sawit.

“Dengan memanfaatkan potensi petani swadaya yang ada, pemerintah dapat menghindari dampak negatif perluasan lahan. Sekaligus mendorong keberlanjutan sektor sawit di tingkat petani,” kata Marselinus.

Dia tegas menolak upaya pemerintah ekspansi perkebunan sawit demi memenuhi kebutuhan B40. Dia mendorong,  pasokan sawit untuk biodiesel dari petani swadaya belum terlibat dalam rantai pasok biodiesel.

Menurut dia, melibatkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel bukan hanya memberikan manfaat ekonomi lebih merata, juga mendukung keberlanjutan sawit dengan cara lebih ramah lingkungan dan berkeadilan.

“Sampai hari ini belum ada satupun petani swadaya terlibat dalam rantai pasok biodiesel.”

Seorang petani sawit sedang memanen tandan buah sawit di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Foto : Transparansi Internasional Indonesia

Tantangan makin berat

Saat ini, industri sawit hadapi berbagai tantangan dan persoalan seiring dinamika kebijakan dan pasar domestik maupun global. Dalam lingkup domestik, pertumbuhan komoditas sawit tak selaras pertumbuhan ekonomi daerah penghasil.

Selain itu, kesejahteraan masyarakat di sekitar kebun terus jadi kekhawatiran berbagai pihak selama ini. Dari sisi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat,  sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan hutan produksi konversi (HPK) berisiko lepas untuk perkebunan sawit.

Data Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan,  dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut di Indonesia, seluas 6,2 juta hektar berada dalam izin sawit, 3,8 juta hektar gambut bertutupan.

Berdasarkan observasi The TreeMap, ekspansi kebun sawit di Indonesia pada 2023 berkontribusi terhadap konversi 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 1/3 deforestasi 2023 karena sawit di gambut kaya karbon.

Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, ketentuan luas minimum 6.000 hektar sebelumnya ada dalam PP Nomor 26/2021 soal penyelenggaraan bidang pertanian.

Dengan ada permentan terbaru ada beberapa hal perlu jadi perhatian. Pertama, seharusnya ada pertimbangan daya dukung dan daya tampung, selain pertimbangan rencana tata ruang untuk menghindari ekspansi perkebunan sesuai permentan itu.

Kedua, terdapat ketentuan pola pengusahaan perkebunan untuk kawasan pertanian nasional dapat berupa kerjasama kemitraan antara pekebun dengan perusahaan perkebunan.  Padahal, kata Difa, penerapan plasma sampai hari ini masih bermasalah. Kerjasama petani dengan perusahaan tidak selalu adil.

“Permentan ini bisa memicu praktik-praktik perusahaan beroperasi ilegal melalui kelompok-kelompok tani.”

*******

Gambut Konsesi Terbakar di Kalteng, Bukan Restorasi Malah jadi Sawit

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|