- Rob (gelombang pasang air laut ke daratan) yang sering terjadi di pesisir Demak diakibatkan oleh faktor alam dan manusia.
- Beberapa dekade lalu, mangrove dikonversi menjadi tambak, akibat tidak ada penghalang alami, intrusi air laut ke darat menjadi semakin sering.
- Lewat Forum Bintoro (Bina Noto Segoro), Maskur dan kelompoknya dalam beberapa tahun ini menggalang gerakan swadaya untuk menanam kembali mangrove di desa-desa pesisir, Forum ini merangkul 11 kelompok di sembilan desa di pesisir Demak, dan mencakup separuh dari garis pantai Demak sepanjang 58 kilometer.
- Berbagai inovasi untuk membangkitkan ekonomi warga sedang terus dikembangkan, termasuk budidaya kepiting bakau.
Lebih dari satu dasawarsa, Maskur (43) konsisten memberikan kekuatan bagi orang-orang di sekitarnya. Semua dilakukan tanpa pamrih dengan harapan hidup warga dapat lebih baik di tengah ancaman rob dan abrasi yang makin tak terkendali di pesisir utara Demak, Jawa Tengah.
Dia juga tak kenal lelah berinovasi, salah satunya melakukan budidaya kepiting bakau yang disimpan di galon. Meski baru dalam skala kecil uji coba, dia berharap kelak hasilnya bisa jadi jalan kesejahteraan warga sambil menunggu mangrove tumbuh dengan tegak.
“Agar mangrove bisa berfungsi dengan baik butuh waktu lama. Setidaknya harus tunggu empat sampai lima tahun dulu,” kata pria asal Dukuh Gojoyo, Desa Wedung itu.
Dia bilang percobaan pertamanya gagal, kepiting mati karena tidak tahan dengan plastik yang panas. Tapi dengan berjalannya waktu, dia dapat solusinya. Galon plastik bekas air mineral itu harus direndam air dan dilubangi dulu hingga berlumut, lingkungan mikro itu adaptif untuk kepiting.
Sekarang kepiting-kepiting yang dibudidayakan itu sedang menunggu fase berganti cangkang (molting).
Itu baru contoh kecil daya kreatifitasnya yang pantang menyerah. Dimulai lewat Kelompok Onggojoyo Jaya, yang berdiri sejak 2015 itu, pria kelahiran Desa Wedung, Demak ini mencoba menggerakan upaya konservasi pesisir lewat sirkular ekonomi.
Tanpa roda ekonomi, konservasi hanya akan menjadi gagasan. Sebut Maskur yang juga anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di desanya.
Bekerjasama dengan berbagai kelompok yang ada di Kabupaten Demak sekarang mereka membentuk Forum Bintoro (Bina Noto Segoro), yang tujuannya bertukar pengetahuan, kerjasama, dan informasi perihal mangrove sebagai tanaman penjaga lahan pesisir. Mereka bekerjasama dengan unsur pemerintah dan juga pegiat sosial kemasyarakatan.
Forum ini sekarang sudah merangkul 11 kelompok di sembilan desa di pesisir Demak. Lingkup kerjanya pun sudah mencakup separuh dari panjang garis pantai Demak yang panjangnya 58 kilometer.
Bermula dari Masalah Rob
Lulusan pesantren ini sebenarnya tidak pernah membayangkan jika kelak suatu saat dia akan menjadi penggerak dan aktivis mangrove. Semua berawal, ketika dusun tempat tinggalnya di Gojoyo terus mengalami rob. Akibatnya, rumah-rumah warga kerap kebanjiran, termasuk rumah mertua Maskur.
“Upaya kami bergerak sebenarnya berdasarkan keinginan yang sama soal mempertahankan tempat tinggal.”
Rob yang bertahun-tahun tak pernah surut membuat kualitas hidup warga tergerus. Dari hasil observasi, Maskur menemukan jika konversi lahan-lahan mangrove di tahun 1990-an menjadi tambak adalah awal mulainya rob tinggi sering terjadi.
Karena rob, sawah-sawah produktif terkena intrusi air laut, dan tidak bisa lagi ditanami padi. Berhektar-hektar sawah itu lalu dijadikan tambak. Meski awalnya berhasil, tapi dalam beberapa kali siklus, hasilnya terus merosot.
Area tambak pun banyak yang dibiarkan begitu saja karena kehabisan modal. Rob dari laut pun mudah menggenangi lahan-lahan itu.
Mengacu data Dinas Pertanian dan Pangan (Dinpertan Pangan) Kabupaten Demak, di wilayah ini ada 273 hektar terancam gagal panen dari total lahan sawah 1.249 hektar. Jika dirata-ratakan panen mencapai 6 ton per hektar, artinya potensi gagal padi mencapai 1.638 ton atau setara Rp 11 miliar jika gabah dihargai sekitar Rp 7.000/kg.
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Demak tahun 2023 juga menyebutkan, 5.307 hektar area di pesisir kabupaten ini telah menjadi langganan rob. Kerugian di sektor budidaya ikan pun ditaksir mencapai Rp 14 miliar per tahun.
Meningkatnya rob dan menghilangnya hutan mangrove di pesisir juga menimbulkan masalah lingkungan. Mulai dari intrusi air laut hingga menipisnya tangkapan ikan, udang,, kepiting dan hasil laut lainnya. Sumber protein bagi warga itupun berkurang.
Menanam Mangrove di Tambak
Persoalan kerusakan lingkungan di pesisir sudah merubah kehidupan sosial masyarakat. Maskur bilang banyak yang menderita akibat tekanan ekonomi. Desa-desa di pesisir Demak pun menjadi sumber kantong-kantong kemiskinan masyarakat.
Ironisnya warga yang dulu berkecukupan dari hasil tambak kini jatuh miskin. Sebagian malah ada yang beralih menjadi buruh pabrik serta buruh bangunan di kota. Maskur pun memikirkan pola mitigasi dengan memanfaatkan lahan-lahan tambak yang terlantar.
Salah satunya dengan mengembangkan rumpon dengan metode Mikro Organisme Lokal (MOL). intinya menambahkan unsur hara yang juga mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik dan perangsang pertumbuhan tanaman mangrove.
Menurutnya, metode ini mampu memulihkan kondisi tambak kembali subur secara alami. Maskur pun tak perlu susah mencari tanah untuk menanam mangrove karena warga secara sukarela bersedia menanamnya di tambak mereka.
Bersama kelompoknya, sedikit demi sedikit, warga bergerak. Banyak tambak yang mulai hijau oleh vegetasi bakau. “Ini sudah jalan tiga tahun,” katanya.
Setali tiga uang, inovasi pun muncul seperti yang dilakukan Indah Purwanti (41), di Desa Purworejo. Sejak 2 tahun lalu, dia dan kelompoknya Kartini Bahari menjadi satu-satunya kelompok perempuan yang berkolaborasi dalam Forum Bintoro.
“Dulunya kami diajarkan tentang pengolahan tanah hingga sampah. Dikasih paham kalender musim tebar bibit ikan dan membuat kompos,” kata Indah.
Sebagai istri para petambak, katanya, mereka diharapkan tidak hanya berdiam di rumah. Sebab perempuan juga rentan terkena dampak perubahan iklim, maka lewat keterlibatan mereka bisa menciptakan perubahan.
“Kini kami mengajak suami mulai menanam mangrove di tambak.”
Cara itu paling efektif agar mangrove tumbuh dengan cepat di desanya. Jika ditanam di lahan sedimen, rentan habis dalam waktu singkat oleh arus laut.
Bukan tanpa alasan mereka mau melakukan itu. Dulu tambak adalah pintu kesejahteraan bagi keluarga di pesisir Demak. Hasilnya, cukup mampu mengantarkan anak perempuannya berkuliah.
Satu tambak bandeng berukuran sekitar 1,5 hektar bisa menghasilkan 800-1.500 kilogram. Kisaran harga Rp 22-25 ribu, potensi penghasilan keluarga antara Rp 17-37 juta per 6 bulan. Dengan modal sekitar Rp 5 juta untuk benih, diluar ongkos kerja.
“Tapi sekarang sudah dua tahun ini panceklik,” kata Indah. Penyebabnya tanggul sering jebol sehingga rob tak terbendung nyaris tiap hari.
Di luar persoalan rob, lahan di desanya juga mengalami amblas (subsidensi). Tanah terus turun, rata-rata 10-15 cm per tahunnya.
Untuk itu dia harus berpikir mencari uang untuk meninggikan rumahnya sekitar satu meter, untuk kesekian kalinya. Dengan ukuran 4×20 meter, dibutuhkan dana Rp 30 juta. Biaya itu termasuk membeli tanah sebanyak 12 dam truk.
“Untuk itu kami bergerak karena kami masih punya harapan untuk memperbaiki,” tegas ibu dua anak tersebut. “Kami tidak cari untung, kami hanya mencari cara untuk tetap berdaya sebagai orang pesisir,” imbuh Indah.
Berjuang Lewat Pendidikan dan Aturan Desa
Upaya yang dilakukan Maskur bukan tanpa tantangan. Banyak juga warga yang acuh dan tidak peduli karena menganggap cara itu tidak efisien dan tidak langsung tampak nyata.
“Tantangannya kadang dengan warga sendiri,” keluh dia.
Maskur pun memutar otak. Di samping terus fokus berkeliling dari desa ke desa, pria murah senyum ini nyatanya berprofesi pula sebagai Guru Honorer di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Wedung.
Suatu ketika dia melobi pihak sekolahnya agar memperbolehkan anak didiknya diajak menanam mangrove. Sejak itu, mereka juga rutin mengecek dan merawat tumbuhan itu.
Dia bilang sedari kecil anak harus diperkenalkan dengan fungsi mangrove untuk ekosistem pesisir.
“Kami dibantu rekan-rekan sedang berupaya agar mangrove bisa masuk dalam metode ajar di sekolah-sekolah se-Demak,” katanya.
Dia pun coba untuk masuk lebih dalam. Seperti merintis keberadaan Peraturan Desa (perdes) tentang Perlindungan Kawasan Pesisir termasuk pemulihan mangrove di masing-masing desa.
Lewat perdes, harapannya pengaturan menjadi lebih jelas. Perdes, misalnya, mengatur adanya zonasi perlindungan. Adapun dukungan desa ini amat dibutuhkan sebagai pemberi garansi jika gerakan yang tumbuh dari bawah ini tidak kabur dari apa yang diperjuangkan.
“Kami memang tidak akan bisa mengakhiri masalah abrasi seluruhnya, tapi dengan mangrove kami ingin menyambung kehidupan lebih lama lagi,” sebutnya.
“Hidup kami seperti berpacu dengan waktu,” pungkasnya.
***
Foto utama: Mangrove yang lebat di pesisir Demak, Jawa Tengah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Tanah Amblas, Rob, dan Ancaman Tenggelamnya Pesisir Utara Demak di Tahun 2030