Mencari Petunjuk Pengetahuan Leluhur Nusantara di Punden Berundak Cibedug

1 month ago 37
  • Situs Punden Berundak Lebak Cibedug, Banten diperkirakan dibangun di era neolitik yaitu periode masa yang mencakup antara 2500-1500 Sebelum Masehi dan setelah itu terus diperbarui.
  • Penentuan lokasi dan stuktur bangunan situs selalu berada di antara ketinggian gunung-gunung, yang diasosiakan dengan tempat suci pemujaan leluhur.
  • Peneliti Arkeologi BRIN, Lutfi Yondri menyebut pola bangunan pemujaan punden berundak terus digunakan dan berkembang hingga masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan budaya-budaya yang datang belakangan.
  • Leluhur Masyarakat Adat Nusantara memanfaatkan pengetahuan tentang benda langit untuk bercocok tanam, mencari ikan, menavigasi, membuat kalender, hingga penentuan nasib baik.

Nanta (42) mengerutkan dahi ketika ditanya soal makna dari goresan kuno yang ada pada sebuah batu di Situs Lebak Cibedug.  Sesekali tangannya mengikuti alur goresan yang menunjukan dua segitiga saling berlawanan, seakan dengan demikian akan keluar makna rahasia di dalamnya.

“Sepertinya ini menunjukkan arah,” katanya saat ditemui belum lama ini.

“Sampai sekarang belum ada yang tahu artinya.” Bahkan, tetua di kampungnya pun tak ada yang tahu arti tulisan itu.

Dia sebut kalau peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pernah datang ke situs ini untuk meneliti maksud guratan kuno ini.

Nanta merupakan kuncen generasi kelima yang menjaga situs di Kasepuhan Cibeduk, Kabupaten Lebak, Banten. Dia adalah warga lokal yang diminta untuk menjaga batu megalith purba ini.

Nata mengungkap bahwa menurut aturan dari leluhurnya, situs ini boleh dikunjungi, kecuali hari Selasa dan Sabtu yang merupakan pamali atau pantangan. Selain itu di dalam situs yang luasnya sekitar dua hektar ini, dilarang untuk meludah atau buang air kecil sembarangan.

“Kita perlu menjaga perilaku dimana pun berada,” ucapnya.

Situs Punden Berundak Lebak Cibedug, yang di bangun dalam konstruksi teras bertingkat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Dalam kosmologi di tatar sunda, sungai, gunung, pohon, udara atau bumi yang ditempati semuanya memang dianggap ada yang menghuni. Karena sakral itu hingga terus dijaga dan dilestarikan.

Perihal toponimi, Cibedug sendiri berasal dari Ci dan Bedug. Sebagaimana tempat yang berawalan Ci, wilayah tersebut pasti dialiri sungai. Sedangkan bedug sama artinya dengan beduk masjid. Demikian dia menyebut.

Nanta lalu menunjukan sebuah batu lonjong dan besar yang sepintas mirip beduk. Panjangnya kira-kira 3 meter dengan diameter kurang dari 1 meter.

Dibelakangnya, ada gundukan batu yang tersusun rapih membentuk punden berudak. Setidaknya, ada tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah area halaman yang berisi batu menhir, altar, dan dolmen.

Tingkat kedua terdiri empat lantai, dan tingkat ketiga terdiri dari 7 lantai dengan ukuran lebih sempit. Pada puncaknya hanya terdapat batu yang menyilang. Kata Nanta, batu itu menunjukan arah Selatan dan Utara.

Nanta juga bercerita, sebelum mendirikan kampung, sesepuh kampung Cibedug lebih dulu mencari tempat hunian yang ada gundukan tanah. Dari sekian wewengkon adat, gundukan itu lalu ditemukan di area yang sekarang menjadi cikal bakal kampung Cibedug.

“Sejarahnya berkaitan dengan nenek moyang kami di sini,” ujarnya.

Hingga saat ini pun, situs Cibedug masih digunakan masyarakat untuk beberapa acara keadatan. Salah satunya seren taun atau panen raya.

Tanda yang ada di punden berundak Lebak Cibedug, belum ada yang mengetahui makna dari goresan ini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Punden Berundak dan Awal Peradaban Nusantara

Diketahui, Masyarakat Adat di Nusantara mempunyai pengetahuan astronomi. Mereka memanfaatkan pengetahuan tentang benda-benda langit itu untuk berbagai keperluan.

Situs Punden Berundak Lebak Cibedug mungkin jadi salah satu buktinya. Situs megalitik tersebut diperkirakan di bangun ketika manusia mulai hidup menetap, bercocok tanam, dan beternak pada masa neolitik antara tahun 2500-1500 Sebelum Masehi.

“Situs dibangun di zaman sebelum ada pengaruh budaya luar masuk ke Indonesia,” kata Arkeolog dari BRIN Lutfi Yondri saat dihubungi oleh Mongabay Indonesia.

Lutfi mengatakan, punden berundak dibangun melalui pengetahuan yang terus diperbaharui. Hal itu tampak dari stuktur bangunan hingga penentuan lokasi yang selalu berada di antara ketinggian gunung-gunung.

Alasannya, leluhur dipercaya bersemayam di tempat yang tinggi yang diasosiasikan sebagai tempat yang suci.

“Oleh karena itu, punden berundak selalu berorientasi dengan tempat-tempat yang lebih tinggi dari sekitarnya,” terang Lutfi.

Seiring dengan berkembangnya sistem religi, mereka pun menggunakan benda-benda langit seperti Bulan dan Matahari. Dari sana ilmu astronomi berkembang sebagai penentu musim tanam sampai memperhitungkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan.

“Selain punden, ada juga batu dakon. Kalau di Sunda dikenal kolenjer, alat itu digunakan untuk paranta mangsa,” jelasnya.

Batu pasak, sebuah batu megalith, yang ada di Situs Punden Berundak Lebak Cibedug. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Kata Lutfi, pola bangunan pemujaan punden berundak terus digunakan dan berkembang hingga masuknya pengaruh Hindu-Buddha.

Mereka memodifikasi area itu dengan membangun irigasi atau didirikan dekat dengan sumber mata air. Kadang ditempatkan di delta, atau tempat pertemuan dua sungai yang menjadi lokasi keramat.

Pada zaman itu, mulai dikenal istilah Tirta Amerta. Tirta berarti air, sedang Amerta adalah gabungan dari a (tidak) dan merta atau mort yang berarti kematian. Jadi, Tirta Amerta dapat diartikan sebagai air antikematian atau air kehidupan.

Pada masyarakat Sunda lama, masyarakat hidup dari huma yang bersumber pada air hujan dan hutan. Itulah sebabnya, kata Lutfi, peradaban mereka selalu berpatokan pada tanda alam. Lama-lama lalu berkembang menjadi budaya yang menyatukan sungai, hutan, ladang, dan hunian.

“Di Cibedug saya menemukan tuku atau batu pasak yang selalu ditemui di setiap kampung. Batu itu menjadi tanda khusus sebagai wilayah permukiman,” ucapnya. “Setahu saya jumlahnya ada 11 dan itu tidak berkurang atau bertambah sampai saat ini.”

Lutfi menduga hal itu berkaitan pola adaptasi yang diwariskan. Dalam setiap perkampungan kuno, hampir dipastikan selalu terkandung unsur-unsur alam, seperti tanda-tanda yang terhubung dengan hutan, mata air dan artefak batu.

Batu bedug, bentuknya yang mirip beduk membuat batu ini mendapatkan asal julukan namanya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Kearifan Lokal dan Pengetahuan Astronomi

Kemajuan pengetahuan nenek moyang juga diakui oleh Dosen Astronomi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB, Taufiq Hidayat.

Sudah sejak lama sebutnya, Masyarakat Adat memanfaatkan pengetahuan tentang benda langit untuk bercocok tanam, mencari ikan, menavigasi, membuat kalender, hingga penentuan nasib baik.

“Sunda adalah satu dari suku-suku di Nusantara yang pandai membaca astronomi berbasis kearifan lokal,” kata Taufiq.

Dari sana lahirlah pranta mangsa atau peramalan musim didasarkan pada gejala alam yang berhubungan dengan letak tata bintang di langit.

Taufiq mencontohkan, mereka terbiasa memanfaatkan bintang waluku (rasi orion) sebagai pertanda awal musim bercocok tanam. Ada juga bintang gubuk penceng (rasi crux) sebagai pertanda musim panen.

“Sayangnya, pengetahuan tentang benda-benda langit sudah tidak dipraktikkan untuk kehidupan sehari-hari saat ini,” ujar dia.

Padahal astronomi dalam perkembangan kehidupan sosial budaya tidak dapat diabaikan sebagai ilmu pengetahuan yang membentuk budaya masyarakat itu sendiri.

Taufiq dan beberapa rekan akademisinya pernah berupaya mendokumentasikan pengetahuan itu dengan meneliti ke beberapa daerah. Namun itu bukan perkara mudah.

Salah satunya kesulitan adalah sumber informan yang ditemui umumnya sudah lanjut usia. Ada juga yang telah meninggal, sehingga pengetahuannya itu tidak tergali paripurna.

Nanta, sendiri pun mengaku tidak memiliki keahlian membaca bintang-bintang. Dia hanya tahu ketika para tetua adat pernah memberi tahu sesuatu berdasarkan perhitungan dan wangsit. Tapi, menyoal tanda peralihan musim ada yang masih dijadikan patokan, sebutnya.

Batu yang dipercaya sebagai penunjuk arah yang didasarkan pada pengetahuan astronomi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Nanta mencotohkan ihwal waktu berbunga pohon kanyere (Bridelia monoica) yang bisa dijadikan penanda tibanya musim kemarau. Jika saat itu tiba, warga harus mempersiapkan untuk berladang.

Ada juga tanda dari hewan, seperti suara tonggeret (Dundubia mannifera) dan turaes (Cryptotympana sp.) menentukan akan masuk musim kemarau. Anggapan itu cukup beralasan mengingat insekta seperti tonggeret dan turaes memiliki daur hidup yang khas yaitu muncul pada musim kemarau.

Namun seiring berkembangnya teknologi dan masuknya era pengetahuan astronomi modern, pengetahuan astronomi leluhur mulai terpinggirkan. Ditambah lagi, perubahan iklim telah mengacaukan perhitungan, sehingga cuaca cenderung semakin sulit ditebak.

“Sederhananya kemarau dimulai pada bulan Mei, tapi kini terus bergesar. Bahkan November yang harusnya sudah musim hujan malah masih dirasa kemarau,” jelas Taufiq.

Bahkan sekarang dijumpai fenomena anomali cuaca, kadang musim kemarau lebih lama, kadang juga lebih lama musim hujannya. Taufiq menerangkan, ini juga terkait dengan atmosfer yang terpengaruh polusi.

Kini saat bintang waluku menampakkan diri di langit, musim hujan belum juga datang. Ketika waktu bintang gubuk penceng terlihat di langit, pertanian justru mengalami kekeringan. Akibatnya, sumber pangan lebih rentan mengalami kegagalan oleh musim yang tak menentu.

Foto udara Situs Punden Berundak Lebak Cibedug, terlihat di bangun dalam konstruksi teras bertingkat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Selama puluhan tahun meneliti arkeologi, Lutfi bilang kagum pada budaya Masyarakat Adat yang setia menjaga alam secara berkesinambungan.

Pantangan atau pamali yang tersirat secara mitologis sesungguhnya memiliki makna yang logis, kata Lutfi.

“Namun ada jarak yang luar biasa antara pengetahuan Masyarakat Adat dan masyarakat [modern] sekarang. Tersingkirnya kearifan tradisional lantaran dianggap tidak ilmiah,” jelasnya.

Hal lain, saat ini eksistensi Masyarakat Adat termasuk Situs Cibedug justru sering jatuh dalam komodifikasi aset ekonomi seperti ekowisata, bukan kepada penggalian nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan para leluhur Nusantara.

***

Foto utama: sisi teras yang ada di Situs Punden Berundak Lebak Cibedug. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Ada Lukisan Prasejarah Belalang Ranting di Situs Megalitik Tutari

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|