Menanti Tanah Sihaporas Kembali agar Hutan dan Air Terjaga

1 month ago 41
  • Masyarakat Adat Sihaporas merasaan hidup tak seperti dulu setelah sebagian wilayah adat mereka tumpang tindih dengan perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL). 
  • Masyarakat sejak dulu hidup dengan bertanam cabai, sayur mayur, jagung, jahe, kopi dan padi. Setelah perusahaan datang, tanah  termasuk hutan tempat mereka bercocok tanam dan bergantung hidup tergerus.
  • Mangitua Ambarita, Ketua Adat Sihaporas, mengatakan, hutan yang dulu rimbun dengan air yang mengalir bersih kini sirna. Hutan terbabat jadi tanaman serupa, eukaliptus.  Perubahan ini membuat Ambarita takut. Karena ada banyak komponen alam untuk ritual turut hilang.
  • Jhontoni Tarihoran,  Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan,  Sihaporas memiliki peta enclave 29 tahun sebelum Indonesia merdeka. Cikal bakal peta pengeluaran tanah adat dari hutan negara (enclave) mullai awal 1913 saat Belanda meminjam paksa tanah Sihaporas untuk tanam pinus atau tusam.

Mangitua Ambarita, Ketua Adat Sihaporas, meratapi lingkungan hidup tempat tinggalnya berubah drastis. Hutan yang dulu rimbun dengan air yang mengalir bersih kini sirna. Hutan terbabat jadi tanaman serupa, eukaliptus.

Perubahan ini membuat Ambarita takut. Karena ada banyak komponen alam untuk ritual turut hilang.

“Hutan sudah tidak ada lagi. Air bersih dari sungai yang tidak boleh dilangkahi untuk ritual adat mangonjab  juga sudah hilang diambil TPL (PT Toba Pulp Lestari),” kata Ompung Ambarita kepada Mongabay, belum lama ini.

Pria 68 tahun ini menceritakan sejarah nenek moyangnya bermarga Ambarita yang merantau ke Sihaporas dari Samosir sekitar tahun 1.800-an. Desa ini terbangun setelah ompungnya bertapa selama tujuh malam di puncak Pusut Buhit. Raja Siantar yang dipercaya berkomunikasi langsung dengan Tuhan, diberi petunjuk wilayah ini sebagai tempat layak untuk hidup.

Perkampungan Sihaporas pun baru ada setelah nenek moyangnya memastikan kawasan ini belum dikuasai siapapun. Termasuk warga Sipolha, berada di desa sebelah, yang hidup di pinggir Danau Toba.

Ompung Ambarita empat bersaudara. Tiga saudara lain bermarga Malau, Manik dan Gurning. Mangitua merupakan generasi kedelapan dari 11 generasi yang hidup.

Sebagai Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompung Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Ambarita ingin tanah hidupnya kembali seperti dahulu.

Dia menyebut,  masyarakat sejak dulu hidup dengan bertanam cabai, sayur mayur, jagung, jahe, kopi dan padi. Setelah perusahaan datang, tanah  termasuk hutan tempat mereka bercocok tanam dan bergantung hidup tergerus.

Masyarakat Sihaporas setidaknya punya tujuh ritual adat. Ritual pun terganggu dengan perubahan alam.

“Bayangkan ada tujuh ritual yang seharusnya dilakukan, tapi air sungai sudah hilang, hutan juga. Kami pengen tanah kembali seperti dahulu. Jika negara kembalikan, kami akan tanami lagi hutannya.”

Dari laman AMAN, ritual-ritual itu, seperti manganjab, untuk memohon kesuburan tanah dan keberhasilan bertani, serta jauh dari hama dan penyakit. Ritual ini rutin setiap tahun tiap Mei.

Lalu, ritual partukkoan. Ritual adat ini untuk menghormati leluhur penjaga kampung. Mereka lakukan dengan bergotong royong menyiapkan bahan-bahan persembahan seperti sirih, pangir, daufa, ayam kampung, sagu, ikan, timun, dan pisang toba.

Ada juga ritual patarias debata mulajadi nabolon. Ini ritual untuk memuji, memuliakan, dan menyampaikan persembahan kepada Sang Pencipta digelar setiap empat tahun sekali.

Kemudian, ritual raga-raga na bolak parsilaonan. Ini untuk berdoa dan menyampaikan persembahan kepada leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, juga setiap empat tahun sekali.

Selanjutnya, ritual martutu aek, merupakan ritus budaya paling mendasar dalam tradisi Batak. Lalu, ada sang-sang robu, ritual adat untuk menutup masa istirahat setelah ritual manganjab. Serta ritual  manjuluk, ini doa sesaat sebelum mulai menanam di gubuk atau ladang secara rutin.

Jhontoni Tarihoran,  Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan,  Sihaporas memiliki peta enclave 29 tahun sebelum Indonesia merdeka.

Dia merujuk data Kantor Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah II Pematangsiantar yang mencatat peta itu sudah ada sejak zaman Belanda pada 1916.

Tarihoran menceritakan kisah sama dengan Ambarita. Menurut dia, berdasarkan sejarah, tanah adat Sihaporas mulai ditempati Si Pukka Huta atau pendiri kampung, yaitu Ompu Mamontang Laut Ambarita, sejak awal 1.800-an.

Cikal bakal peta pengeluaran tanah adat dari hutan negara (enclave) mullai awal 1913 saat Belanda meminjam paksa tanah Sihaporas untuk tanam pinus atau tusam. “Sebagai pengakuan atas tanah adat Sihaporas, pada 1916 atau 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, penjajah yang meminta tanah menerbitkan peta enclave Sihaporas,” ucap Jhontoni.

Terdapat tiga nama kampung dalam hamparan lahan di peta itu, yaitu Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporas dan Sihaporas Bolon.

Masyarakat Sihaporas demo ketika warga kena jerat hukum beberapa waktu lalu. Foto: dokumen AMAN Tano Batak

Pada 1990, Pemerintah Orde Baru memberi dan memasukkan tanah adat Sihaporas ke dalam izin konsesi hutan PT Inti Indorayon Utama, sekarang TPL. Tindakan pemerintah ini yang membuat konflik dengan TPL berkepanjangan.

Era reformasi 1998, masyarakat menuntut pengakuan dan pengembalian tanah adat Sihaporas kepada Pemerintah Simalungun. Antara Mei-Agustus 2000, DPRD membentuk tim peneliti dan datang ke Sihaporas.

“DPRD Simalungun ada mengeluarkan rekomendasi hasil kunjungan dan temuan saat itu,” katanya.

Rekomendasi terkait tanda-tanda pekampungan tua berumur ratusan tahun di Sihaporas, Mulai dari bekas kampung yang dikelilingi parit atau got, bukti kuburan-kuburan nenek moyang, makam berumur ratusan tahun, bekas onan (pasar, tempat perdagangan) di masa lalu. Juga  bombongan bolon (kolam besar) komunal termasuk pohon besar dan rumpun bambu yang diperkirakan berumur ratusan tahun.

Ada juga tujuh putra-putri Sihaporas yang mendapat tanda jasa piagam penghargaan Pejuang Legiun Veteran Republik Indonesia. Ini jadi penguat warga Sihaporas bukan pendatang baru.

“Mereka dapat piagam dari Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertahanan LB Moerdani, antara lain Jahya Ambarita, Firman Ambarita, Ranto Ambarita, Gabuk Ambarita dan Victoria Br Bakkara,” katanya.

Bukti sejarah Sihaporas juga bisa terlihat di laman BRWA. Dalam laman itu tercantum keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas berada di Kecamatan Pematang Sidamanik, Simalungun dengan wilayah kesatuan Huta Sihaporas.

Pencantuman ini sebagai tindak lanjut dari pertemuan tetua Lamtoras dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  Siti Nurbaya Bakar usai Hari Bumi di Medan, 22 April 2018.

Warga mendaftarkan tanah adat ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) di Jakarta yang menerbitkan peta huta Sihaporas seluas 2.050 hektar.

BRWA mencatat,  batas wilayah komunitas adat ini terbagi empat, yakni, barat di Repa dengan batas di Jalan Lintas Tanjung Dolok Tiga Runggu (Pasar Jepang), Selatan di Nagori Dolok dengan batas di Aek Malas, Bombongan Begu (kolam), Silandeung dan Gorat Sitonga.

Wilayah Timur di Gunung Pariama dengan batas di Gereja HKBP, Gunung Pariama, Sihaporas Salasak, Nagasaribu dengan batas di Kobun Gadong dan Sileang Leang. Untuk  Utara,  di Bah Bangun dengan batas di Mata Aek Sidua Tulpang dan Aek Sanggar.

BRWA juga mencantumkan sejarah singkat masyarakat adat mulai dari Ompu Mamontang Laut Ambarita, dengan nama kecil Martua Boni Raja Ambarita, berasal dari Lumban Pea Ambarita di Toba Samosir.

Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Foto: AMAN Tano Batak

Tumpang tindih

Hengky Manalu, dari AMAN Tano Batak menyebut,  konflik Sihaporas dengan TPL terjadi karena tumpang tindih klaim tanah. Satu sisi, pemerintah anggap kawasan itu hutan negara dan mereka berikan izin ke TPL.

“Itu tidak pernah melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya, hingga terjadi penolakan, karena berbagai dampak telah dirasakan masyarakat, mulai dari sumber air rusak, termasuk hutan untuk kebutuhan ritual adat dan dihadapkan dengan kriminalisasi,” katanya.

Sorbatua Siallagan, Ketua Adat Sihaporas, terjerat hukum dan sempat mendekam dalam jeruji, dengan putusan hakim vonis bebas.

Tindakan ini, katanya, merupakan diskriminasi pemerintah kepada masyarakat adat. Padahal, mereka sudah menjalankan prosedur yang disediakan negara untuk mendapat pengakuan dan perlindungan mulai dari pemerintah daerah, provinsi, sampai kementerian.

Hingga kini pun belum ada realisasi. “Akumulasi dari panjangnya proses ini berdampak intensitas konflik tinggi di lapangan.”

Thomson Siagian,  Komisaris TPL, saat dihubungi mengatakan,  perusahaan menghormati proses hukum dan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun terkait kasus Sorbatua Siallagan.

Pemukiman Masyarakat Adat Sihaporas, yang hidup dalam was-was. Foto: dokumen AMAN

Perusahaan membantah tuduhan kriminalisasi dalam kasus ini.

Isu ini dia sebut tidak ada terkait dengan masyarakat adat.  Perusahaan, katanya,  menghargai eksistensi mereka. “TPL berkomitmen menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan selalu mencari solusi damai dalam setiap masalah yang ada,” katanya.

Dia bilang, melaporkan Sorbatua Siallagan merupakan langkah terakhir yang terpaksa perusahaan ambil setelah berbagai upaya dialog, peringatan, dan pencegahan tak jalan.

Siagian beralasan,  tindakan ini untuk melindungi konsesi dari pemerintah dan menghindari risiko penjatuhan sanksi hingga kemungkinan pencabutan izin.

Dia berjanji, perusahaan akan menghormati keberadaan masyarakat adat di seluruh area operasi mereka dan berkomitmen membuka saluran dialog untuk mencari solusi damai.

Namun, dia pun meminta pembuktian dari masyarakat adat yang mengklaim tempat tinggal mereka sebagai tanah adat. “Apa dasar hak untuk menyatakan bahwa itu adalah tanah mereka?”

Menurut dia, ada prosedur sesuai hukum berlaku yang harus diikuti masyarakat yang mengklaim lahan. Dia contohkan,  kasus TPL melepas hak konsesi ke masyarakat adat di Pandumaan Sipituhuta, Humbang Hasundutan.

Klaim masyarakat itu diikuti pengajuan permohonan ke pemerintah daerah, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memproses dan mengeluarkan penetapan tanah masyarakat.

“Sebagai contoh dalam kasus Sorbatua, beliau berada di Kabupaten Simalungun. Kalau itu kawasan adat, coba diajukan sesuai peraturan perundang-undangan.”

Salomo Sihotang, Corporate Communication Head TPL mengakui ada beberapa titik konsesi TPL masuk klaim masyarakat adat, dan menunggu keputusan KLHK.

“Sudah melalui proses, sampai sekarang belum final dari menteri untuk menuntaskan lahan adat yang tumpang tindih. TPL juga menunggu pemerintah memberikan keputusan, supaya jelas.”

TPL, katanya, punya izin usaha pemanfatan hutan SK. 493/1999 Jo. SK. 1487/2021. Khusus di Simalungun, konsesi seluas 2.360 hektar. Total keseluruhan konsesi TPL sekitar 160.000-an hektar dari total 260.000an hektar, sekitar 100.000-an kembali ke pemerintah.

“Itulah ketaatan kami terhadap pengakuan masyarakat adat kami, hingga pengurangan 100.000 hektar.”

 dokumen wargaMasyaralat Adat Sihaporas mempertahankan wilayah adat. Foto: dokumen warga

***********

Masyarakat Sihaporas Tak Pernah Lelah Perjuangkan Tanah Adatnya

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|