Menakar Dampak Proyek Bendungan Bulango Ulu [2]

1 month ago 39
  •  Bendungan Bulango Ulu, jadi mega proyek yang pemerintah gadang-gadang sebagai solusi untuk pertanian di Gorontalo ini bukan hanya berisiko mengancam kehidupan masyarakat terdampak, juga memicu ketidakseimbangan lingkungan. Pembangunan waduk akan mengubah 483 hektar lahan resapan yang berdampak pada keseimbangan ekosistem.
  • Renal Husa dari Simpul Walhi Gorontalo mengatakan, pembukaan lahan ini tidak hanya merusak lingkungan, juga mengancam fungsi ekologis kawasan, seperti resapan air dan habitat satwa liar.  Kondisi ini, akan menempatkan masyarakat dalam posisi rentan. Tanpa pengetahuan memadai, uang kompensasi bisa habis dengan cepat tanpa memberikan solusi jangka panjang.
  • Pembukaan lahan ini tidak hanya merusak lingkungan, juga mengancam fungsi ekologis kawasan, seperti resapan air dan habitat satwa liar.  Kondisi ini, akan menempatkan masyarakat dalam posisi rentan.
  • Dengan pendekatan lebih inklusif dan bertanggung jawab, masyarakat dapat berdaya dalam menghadapi perubahan tanpa meninggalkan mereka dalam ketidakpastian.

Bendungan Bulango Ulu, jadi mega proyek yang pemerintah gadang-gadang sebagai solusi untuk pertanian di Gorontalo ini bukan hanya berisiko mengancam kehidupan masyarakat terdampak, juga memicu ketidakseimbangan lingkungan. Pembangunan waduk akan mengubah 483 hektar lahan resapan yang berdampak pada keseimbangan ekosistem.

Renal Husa dari Simpul Walhi Gorontalo menyebutkan, hilangnya lahan sebagai resapan air alami dapat memengaruhi dinamika hidrologi lokal, termasuk pola aliran air tanah dan potensi sedimentasi di area genangan. Hal macam ini, tidak jadi pertimbangan pemerintah.

Pembangunan bendungan ini,  sebagai bentuk “cuci tangan” pemerintah atas kerusakan hutan di hulu. Dia membayangkan ketika kerusakan hutan di hulu tak dicegah dan diperbaiki, maka sedimentasi di bendungan dapat terkonsentrasi dalam 10-20 tahun ke depan.

Renal contohkan, kondisi Danau Limboto dengan kedalaman makin berkurang setiap tahun karena sedimentasi. Dia memprediksi, bendungan yang digadang-gadang sebagai solusi pertanian di Gorontalo ini justru bisa jadi masalah baru di masa depan.

“Meski terbatas, keanekaragaman hayati lokal tetap terancam oleh perubahan ekosistem yang ditimbulkan,” katanya November lalu.

Dari sisi sosial, masyarakat yang sebelumnya bergantung pada lahan di lokasi pembangunan untuk ekonomi, seperti pertanian, kemungkinan terkena dampak langsung.

Menurut dia, masyarakat yang terkena dampak perlu mendapatkan dukungan komprehensif, termasuk kompensasi yang adil.

Tak hanya itu, masyarakat terdampak juga perlu dapat pelatihan keterampilan baru dan pendampingan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan serta peluang ekonomi di tempat tinggal baru. Hal ini penting untuk memastikan mereka dapat menjalani transisi dengan lancar dan mengurangi ketidakpastian.

Sistem penerapan beli putus, katanya, menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib masyarakat. Menurutnya, masyarakat yang terkena dampak seperti dibiarkan mencari solusi sendiri atas kebijakan yang dibuat pemerintah tanpa dukungan yang memadai.

Padahal, katanya, perpindahan ribuan masyarakat berisiko menimbulkan konflik ruang di lokasi baru. Pemberian uang kompensasi kepada masyarakat terdampak pembangunan Bendungan Bulango Ulu,  tanpa ada relokasi terencana dan dukungan lanjutan dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan.

Masyarakat lepas begitu saja mencari solusi atas kehilangan tanah dan tempat tinggal mereka. Kondisi ini,  katanya, berisiko menciptakan ketidakpastian dan ketimpangan di masa depan.

Dia mengatakan, tanpa panduan atau dukungan pemerintah, sebagian warga mungkin akan menggunakan uang kompensasi untuk membeli tanah di wilayah lain.

“Ini berpotensi memicu konflik ruang dengan masyarakat di lokasi baru.”

Pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Bendungan Bulango Ulu pun, dia nilai bisa mendorong ketimpangan penguasaan tanah di Gorontalo. Simpul Walhi Gorontalo mencatat, konsesi perusahaan, mulai dari tambang, perkebunan sawit, hingga hutan tanaman energi (HTE), ditambah lokasi PSN, mencakup sekitar 424.768 hektar atau 35% dari luas Gorontalo.

Angka itu,  belum termasuk pertanian jagung yang sejatinya juga digerakkan industri.

Angka itu hampir sebanding dengan kawasan hutan Gorontalo, 764.186,76 hektar atau 64%. Sementara itu, perhutanan sosial (PS) baru 31.293,85 hektar atau 4%. Kondisi ini menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada korporasi dengan masyarakat jomplang.

Selain itu, kata Renal, bendungan bisa membuat tekanan terhadap lahan jadi meningkat, mendorong pembukaan lahan baru di hutan termasuk kawasan lindung. Apalagi, Kecamatan Bulango Ulu ini wilayah penyanggah hutan lindung dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi.

Renal bilang, pembukaan lahan ini tidak hanya merusak lingkungan, juga mengancam fungsi ekologis kawasan, seperti resapan air dan habitat satwa liar.

Kondisi ini, katanya,  akan menempatkan masyarakat dalam posisi rentan. Tanpa pengetahuan memadai, uang kompensasi bisa habis dengan cepat tanpa memberikan solusi jangka panjang.

“Akibatnya, mereka berisiko jatuh ke dalam kemiskinan lebih dalam, kehilangan penghidupan, dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.”

Untuk mencegah dampak buruk ini, pemerintah perlu mengubah pendekatannya dalam memberikan kompensasi.

Alih-alih hanya memberikan uang, katanya, sebaiknya ada program pendampingan yang membantu masyarakat dalam merencanakan masa depan, seperti pelatihan keterampilan, bantuan untuk mendapatkan lahan yang legal dan produktif, serta akses ke layanan sosial di tempat baru.

Menurut dia, dengan pendekatan lebih inklusif dan bertanggung jawab, masyarakat dapat berdaya dalam menghadapi perubahan tanpa meninggalkan mereka dalam ketidakpastian.

Selain berdampak ke keberlangsungan hidup petani dan ketidakseimbangan lingkungan, Bendungan Bulango Ulu ini juga bisa berdampak buruk terhadap krisis iklim. Pasalnya, mega proyek ini memicu lepasan metana lebih besar dibanding bahan bakar fosil.

Menurut The United Nations Environment Programme (UNEP), metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang lebih besar dibandingkan karbon dioksida (CO2). Per satuan massa, metana memiliki efek pemanasan 86 kali lebih kuat daripada CO2 selama 20 tahun. Selama periode 100 tahun, metana 28 kali lebih kuat.

Dalam sebuah laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) 2014 menyebut, waduk atau bendungan dapat menghasilkan gas metana. Pembentukan gas metana itu dipengaruhi beberapa faktor antara lain, kondisi lahan sebelum diairi, kualitas air dan fisik waduk.

Laporan ini juga menyebutkan, terdapat dua sumber utama emisi gas metana di bendungan, yaitu,  dari air waduk dan dasar bendungan. Air waduk berisiko menghasilkan emisi gas metana karena mengandung unsur-unsur anorganik serta bahan organik yang dapat terurai dan membentuk gas metana.

Dasar bendungan juga bisa menghasilkan gas metana lebih besar dibandingkan air bendungan, karena mengandung lebih banyak bahan organik dari tanaman yang terendam saat penggenangan. Selain itu, kadar oksigen di dasar bendungan lebih rendah juga meningkatkan pembentukan gas metana.

Dengan begitu, emisi tersembunyi di balik proses ini menunjukkan pembangkit listrik tenaga air tak sebersih yang banyak orang pikirkan. Pemicu muncul emisi dalam proses ini bukan hanya air yang melewati turbin. Banyak gas rumah kaca yang terlarut melalui proses ini.

Made with Flourish

Zulham Sirajuddin, dosen pertanian di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) membenarkan, metana salah satu gas yang dapat memperburuk pemanasan global. Metana, katanya,  paling banyak dipicu dari aktivitas pertanian lahan basah yang tergenang, seperti persawahan.

Meskipun belum penelitian langsung soal gas metana di bendungan, tetapi dia cukup yakin bendungan bisa memicu gas metana karena ada proses penggenangan air. Seperti karbon dioksida yang larut dalam air bertekanan, gas metana juga dapat larut dalam air dalam kondisi tertentu.

“Proses pembangunan bendungan itu ada praktik pembalikan tanah cukup banyak. Ketika sudah selesai pembangunan, akan ada proses penggenangan air yang memungkinkan bisa memicu gas metana,” kata Zulham.

Sebenarnya, pemanfaatan pembangunan bendungan seperti diklaim pemerintah pusat itu, saat ini tengah dipertanyakan di dunia internasional. Ongkos pembangunan dan pemeliharaan dinilai sangat mahal dan dapat merusakan lingkungan, serta memberikan dampak buruk terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Misalnya, dalam sebuah penelitian dari Michigan State University yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), menyatakan ongkos atau dampak dari bendungan sering diremehkan, dan umur bendungan dinilai akan lebih pendek karena pengaruh perubahan iklim.

Penelitian itu menerangkan bagaimana pembangunan, deforestasi, dan perubahan iklim, sangat mempengaruhi biaya, produktivitas, dan umur bendungan. Jika pembangunan dan deforestasi meningkat, jumlah sedimentasi akan lebih besar masuk ke dalam sungai, dan itu akan memperpendek usia bendungan.

“Jika itu terjadi, akan membutuhkan tindakan intervensi yang lebih mahal seperti pengerukan. Hal tersebut hanya menimbulkan potensi korupsi dan hanya menguntungkan para kontraktor,” tulis dalam penelitian tersebut.

Tak hanya itu, riset itu juga menjelaskan bahwa sekitar 472 juta orang di seluruh dunia terkena dampak negatif dari pembangunan bendungan dalam seratus tahun terakhir. Di bagian hilir, masyarakat yang bergantung pada sungai terpaksa tergusur, kehilangan ketahanan pangan dan mata pencaharian, serta mengalami kerugian budaya yang tak terukur.

Di Amerika Utara dan Eropa, jumlah bendungan yang diruntuhkan lebih banyak daripada yang dibangun. Sejak 2006, lebih dari 60 bendungan setiap tahun dibongkar di Amerika Serikat. Hal ini sangat kontras dengan Indonesia, yang merencanakan pembangunan 50-60 bendungan hingga 2024, termasuk Bendungan Bulango Ulu.

Bendungan besar yang dibangun mempunyai dampak merugikan sangat besar, merugikan kelompok miskin dan gagal memberikan pasokan listrik dan irigasi seperti yang direncanakan. Kondisi itu disinyalir akan dirasakan oleh masyarakat Bulango Ulu yang terkena dampak dengan adanya pembangunan bendungan.

Proses pembangunan tanggul penahan air. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Berwatak otoriter

Bendungan Bulango Ulu ini juga memberikan gambaran lebih jelas bagaimana mega proyek besutan Jokowi ini memiliki banyak dampak negatif. Sayangnya, PSN ini justru sangat otoriter karena sifatnya menafikan partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan, dan pelaksanaan PSN.

Fenomena itu terbukti saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2017. Ketika itu, ada 75,7% masyarakat tak menyetujui pembangunan bendungan, hanya 23,3% setuju. Penduduk tak setuju jauh lebih besar. Masyarakat pun kehilangan ruang hidup.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, sejak perencanaan hingga pelaksanaan PSN di Indonesia seringkali tak menggunakan prinsip keterbukaan informasi kepada publik. Praktik ini mendorong partisipasi masyarakat bermakna terabaikan.

Makin parah, katanya, sejak ada UU Cipta Kerja. Alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan dan mensejahterakan masyarakat, PSN kerap menghilangkan dan merampas sumber penghidupan masyarakat terdampak proyek.  Fenomena itu, katanya,  juga terjadi di PSN Bendungan Bulango Ulu.

“Melihat kondisi pembangunan bendungan saat ini, dapat disimpulkan PSN tidak menciptakan lapangan pekerjaan atau mensejahterakan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat terkena dampak justru kehilangan sumber mata pencaharian mereka.”

Apalagi, kata Dewi, sebagian besar PSN menguntungkan investasi dan elit politik. Skema PSN mencakup semua jenis proyek bisnis, termasuk pangan, energi, dan infrastruktur. Keadaan ini, katanya, berpotensi memperburuk perampasan tanah, penggusuran, dan eskalasi konflik agraria akibat percepatan PSN.

Melalui UU Cipta Kerja dan ragam regulasi turunan, katanya, menyebabkan perampasan tanah begitu cepat dengan dalih percepatan pembangunan nasional. Pendeknya, PSN yang pemerintah bangun saat ini sarat dengan wajah kekerasan karena akan terjadi perampasan tanah dan penggusuran rakyat di wilayah proyek.

Sepanjang 2020-Juli 2024,  terdapat 134 letusan konflik agraria karena PSN.  Dengan begitu, katanya, PSN ikut memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang membuat banyak orang tercerabut hak tanahnya. “Sejatinya, PSN bukan proyek strategis nasional, tetapi penggusuran skala nasional.”

Mongabay mengirimkan surat permintaan wawancara kepada Ali Rahmat, Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II 25 November lalu. Setidaknya,  ada 13 pertanyaan, dari penyebab utama keterlambatan proyek, sampai petani yang kehilangan ruang hidup.

BWS Sulawesi II hanya menanggapi dua dari 13 pertanyaan. Melalui surat resmi, mereka mengatakan sebagai pelaksana teknis, tidak menyediakan tempat relokasi bagi masyarakat terdampak, hanya tempat relokasi bagi fasilitas umum.

Rasyid Nusi. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Pasalnya, berdasarkan musyawarah, masyarakat sebagai pihak yang berhak memilih bentuk ganti kerugian uang tunai. Hal itu diatur dalam UU Pengadaan Tanah.

Mereka juga mengaku tak ada program pendampingan setelah ganti rugi lahan kepada masyarakat terdampak proyek. “Tidak ada,” tulis BWS Sulawesi II melalui surat yang ditandatangani Risnawati T. Dangkua,  Kepala Sub Bagian Umum dan Tata Usaha.

Budiyanto Sidiki,  Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Bone Bolango, ketika dikonfirmasi terkait masalah serupa membenarkan belum ada tempat relokasi bagi warga terdampak. Dia bilang, pemerintah hanya menyediakan tempat relokasi bagi fasilitas umum.

Alasannya, kata Budiyanto, lahan masyarakat terdampak selesai dengan cara ganti rugi. Kalau lahan masyarakat sudah dibayar, mereka wajib pindah dari wilayah itu agar pembangunan bisa berjalan.

“Negara sudah membayar lahan masyarakat dengan ganti rugi cukup besar. Bahkan itu bisa disebut ganti untung. Ini pilihan masyarakat sendiri,” katanya.

Dengan ganti rugi itu, kata Budiyanto, masyarakat bisa membeli lahan yang lebih baik daripada yang masuk proyek. Dia nilai, malah ini kesempatan petani di Bulango Ulu mencari kehidupan baru selain di wilayah proyek.

Menurut Rasyid, kebijakan pemerintah yang memberikan ganti rugi tanpa disertai relokasi justru membuat mereka terjebak dalam situasi sulit. Meskipun ganti rugi tampak cukup besar, namun tak menjamin hidup mereka lebih baik.

Selama lebih dari tiga tahun, Rasyid merasakan betapa sulit petani yang tiba-tiba harus beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan perkotaan. Tanpa lahan bertani atau berkebun, Rasyid  kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga.

Dia seolah-olah terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup, selain bertani. “Kalau saya tahu kondisi akan seperti ini, saya lebih memilih tidak menjual lahan dan terus melakukan penolakan. Saya sangat menyesal.” (Selesai)

Proyek Bendungan Bulango Ulu. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

*******

*Liputan ini didanai dari Grant Liputan Isu Dampak Pembangunan Proyek Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh AJI Makassar dan Internews.

Kemiskinan Hantui Warga Terdampak Proyek Bendungan Bulango Ulu [1]

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|