- Penelitian menunjukkan bahwa secara global, kelompok Masyarakat Adat adalah pengelola hutan dan keanekaragaman hayati serta simpanan karbon yang paling efektif.
- Namun, di Indonesia, berlaku sebaliknya. Masyarakat Adat semakin dikesampingkan dari upaya konservasi alam.
- Aktivis mengatakan pemerintah Indonesia harus segera mengesahkan RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat untuk memastikan bahwa mereka dapat berkontribusi pada konservasi keanekaragaman hayati tanpa takut dikriminalisasi atau diusir.
- Undang-Undang Konservasi baru yaitu UU Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan revisi UU serupa tahun 1990, dikritik karena tidak melindungi hak-hak Masyarakat Adat atas tanahnya; juga amat membatasi kegiatan Masyarakat Adat dengan ruang hidupnya.
Dalam sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD/COP16) yang diselenggarakan di Cali, Kolombia lalu, negara-negara bersepakat memberi pengakuan kepada peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal sebagai mitra penting mencapai tujuan konservasi global.
Sejumlah penelitian ilmiah sebelummya telah menemukan bahwa Masyarakat Adat adalah pengelola hutan terpenting di wilayah-wilayah yang memiliki simpanan karbon dan keanekaragaman hayati yang sangat besar di dalamnya.
Sebuah penelitian tahun 2023 oleh World Resources Institute (WRI) menyimpulkan bahwa hutan Amazon yang dikelola oleh Masyarakat Adat merupakan “penyerap karbon” yang kuat karena mereka menyerap 340 juta ton karbon dioksida dari atmosfer setiap tahun. Sebaliknya, di luar tanah adat, kawasan Amazon melepaskan lebih banyak CO2 daripada yang mereka serap.
Sebuah studi penelitian tahun 2020 pun menemukan bahwa Masyarakat Adat di Amazon hanya efektif dalam melindungi hutan mereka jika hak milik atas wilayah mereka diakui dan dilindungi sepenuhnya.
Macetnya Pembahasan UU Masyarakat Adat
Jika komunitas global mulai melihat pentingnya Masyarakat Adat sebagai aktor penting, lalu bagaimana dalam konteks Indonesia?
Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat beragam dan rumah bagi sebagian besar spesies endemik. Rekaman basis data menunjukkan bahwa ada sekitar 22,5 juta hektar wilayah adat di Indonesia yang memiliki potensi konservasi yang tinggi.
Namun, alih-alih memiliki hak untuk mengelola hutan mereka yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi, Masyarakat Adat di Indonesia berisiko terusir dari kawasan hutannya.
Cindy Julianty, manajer program Working Group on Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII), menyebut Omnibus Law berdampak pada keberadaan Masyarakat Adat dan tanahnya.
“Hal ini menimbulkan kebingungan tentang pengakuan [hak-hak Masyarakat Adat],” katanya. “Itu mengapa memiliki UU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat sangat penting.”
Cindy dan para aktivis menyerukan agar Pemerintah Indonesia dan DPR harus segera meloloskan RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang telah lama ditunggu-tunggu. Regulasi ini penting untuk memastikan Masyarakat Adat dapat berkontribusi pada konservasi keanekaragaman hayati tanpa takut diusir atau dikriminalisasi.
Sebaliknya pengesahan UU Konservasi baru-baru ini telah dikritik karena tidak mengakui hak pengelolaan wilayah Masyarakat Adat di kawasan-kawasan berkeanekaragaman hayati tinggi, maupun praktik konservasi tradisional mereka.
“UU konservasi baru jelas menghilangkan peran Masyarakat Adat yang telah berkontribusi dalam upaya konservasi,” kata Mufti Barri, Direktur Forest Watch Indonesia.
Undang-Undang Konservasi Baru
Dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP15) sebelumnya di Montreal, Kanada, pada Desember 2022, negara-negara menyatakan komitmen untuk melindungi Masyarakat Adat dan kontribusinya terhadap konservasi keanekaragaman hayati.
“Ini artinya paradigma global [tentang konservasi] sudah mulai bergeser, tapi sayangnya di Indonesia belum ada perubahan paradigma,” kata Mufti menyinggung UU Konservasi baru di Indonesia.
Masalah dengan UU Nomor 32 Tahun 2024, -yang merupakan revisi dari UU Konservasi Nomor 5 Tahun 1990, adalah tidak disebutkannya pengakuan bagi Masyarakat Adat.
Hanya ada satu pasal perihal Masyarakat Adat, itu pun tentang partisipasi publik Masyarakat Adat untuk upaya konservasi. Namun, aspek-aspek penting seperti pengakuan atas hak atas tanah di dalam zona kawasan konservasi dan otonomi Masyarakat Adat untuk mengelola kawasan konservasinya sama sekali tidak disinggung.
“Pemerintah masih memperlakukan partisipasi Masyarakat Adat secara terbatas dalam konservasi, bukan dalam konsep pemegang hak pengelola konservasi di Indonesia,” terang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam siaran publiknya.
Ironisnya, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CDB) sejak tahun 1994. Namun, pemerintah tidak memasukkan klausul Masyarakat Adat dalam undang-undang nasionalnya.
“CBD menempatkan Masyarakat Adat bukan hanya sebagai subjek, tetapi juga sebagai pemegang hak dalam pengelolaan dan perlindungan hutan,” sebut Teo Reffelsen, Manajer Departemen Hukum di WALHI.
“Ini berarti pemerintah harusnya mengakui hak-hak Masyarakat Adat dan perannya dalam konservasi.”
Dalam Sidang Paripurna DPR pada November 2024, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan, perlunya perubahan paradigma konservasi hutan di Indonesia.
“Menjaga hutan itu penting, tapi karena keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, tidak mungkin lagi mencegah orang masuk ke hutan,” katanya.
“Faktanya, kemiskinan ada di pinggiran hutan. Sumber mata pencaharian ada di dalam hutan, tapi masyarakat diusir dari hutan atau dicegah masuk ke hutan. Kita tidak bisa melakukan hal seperti ini lagi.”
Masyarakat Adat dan Potensi Penggusuran
Masalah utama lainnya dengan UU Konservasi baru adalah diperkenalkannya kategori baru tentang kawasan konservasi, yaitu: “kawasan pelestarian,” yang menempatkan Masyarakat Adat pada risiko digusur dari wilayah mereka.
Kawasan pelestarian merupakan perluasan kawasan konservasi, yang berada di luar zona konservasi yang ditetapkan, seperti hutan lindung. Kawasan pelestarian pada dasarnya seperti zona penyangga bagi zona konservasi yang ditetapkan.
Masalah dengan diperkenalkannya kawasan pelestarian adalah bahwa jenis kegiatan yang diizinkan di dalamnya hanyalah pekerjaan konservasi.
Ini berarti semua kegiatan di luar konservasi dilarang keras, yang dapat mencakup kegiatan Masyarakat Adat seperti mengumpulkan kayu dan hasil hutan bukan kayu, memanen tanaman atau hewan untuk pengobatan tradisional atau upacara adat.
Pemerintah dengan demikian dapat memaksa Masyarakat Adat keluar dari tanah mereka yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan mengkriminalisasi mereka dengan kedok konservasi.
“Ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan berkontribusi di kawasan konservasi benar-benar hilang,” kata Mufti.
Bahkan sebelum UU Konservasi baru, Masyarakat Adat telah banyak dikriminalisasi karena tinggal di kawasan konservasi, tumpang tindih lahan, hingga melakukan kegiatan subsisten seperti bertani, berburu, dan mengumpulkan hasil alam.
Menurut data HuMa, dari 86 konflik kehutanan yang tercatat di Indonesia, 27 terjadi di taman nasional, dengan 13 kasus melibatkan kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
Sebaliknya, perlakuan ini jauh berbeda untuk perusahaan. UU Konservasi baru memberi pemegang konsesi sejumlah opsi tentang apa yang harus dilakukan jika wilayah mereka tumpang tindih dengan kawasan konservasi.
Perusahaan pun memiliki jalur untuk berpartisipasi atau mendapatkan manfaat dari inisiatif ekonomi yang terkait dengan konservasi, seperti ekowisata atau perdagangan karbon. Bahkan, jika perusahaan gagal memenuhi persyaratan konservasi, mereka hanya menghadapi sanksi administratif seperti peringatan tertulis, penghentian sementara operasi, dan pencabutan izin usaha.
“Perusahaan tidak menghadapi risiko digusur meskipun telah merusak kawasan konservasi,” kata Teo.
Hal ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pakar bahwa undang-undang konservasi baru lebih berfokus pada insentif ekonomi, seperti perdagangan karbon dan ekowisata.
Celah Hukum Kriminalisasi Masyarakat Adat
Meningkatnya risiko kriminalisasi dan pengusiran paksa Masyarakat Adat adalah kegagalan UU Konservasi baru untuk mengatur pemanfaatan keanekaragaman hayati yang adil dan berkelanjutan.
Cindy mencontohkan masyarakat Mentawai, salah satu suku tertua di Indonesia, yang masih menjalani gaya hidup nomaden yaitu berburu dan mengumpulkan hasil bumi.
“Masyarakat Mentawai masih makan monyet untuk tujuan tertentu seperti ritual. Praktik itu tidak diatur [dalam UU Konservasi baru],” katanya.
Artinya, UU ini tidak membedakan antara Masyarakat Adat yang melakukan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adat dengan aktivitas yang dilakukan oleh para pemburu liar.
UU baru ini juga dianggap tidak menyediakan mekanisme pengaduan bagi Masyarakat Adat untuk menyelesaikan konflik yang ada. “Kemana Masyarakat Adat harus melapor ketika terjadi konflik?” kata Cindy.
Karena banyaknya masalah dalam UU Konservasi baru, AMAN dan LSM lainnya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada September 2024.
Dasar gugatannya adalah pemerintah dan pembuat UU telah gagal memasukkan Masyarakat Adat dalam perumusan UU secara benar. UU ini juga dinilai penuh dengan pasal-pasal yang merugikan hak-hak Masyarakat Adat.
Namun, meskipun UU Konservasi baru tidak dibatalkan, Masyarakat Adat seperti Ngata Toro yang tinggal di sekitar TN Lore Lindu di Sulawesi Tengah, tetap berjanji terus mengelola wilayah mereka secara berkelanjutan berdasarkan nilai-nilai lokal.
“Itu kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat, meski pemerintah tidak pernah benar-benar menghargai kami,” kata Rukmini Paata Toheke, warga Ngata Toro.
Ngata Toro telah mengajukan permohonan agar hak atas tanah mereka diakui oleh pemerintah pada tahun 2018. Meski tahun 2021 pemerintah mengeluarkan pengakuan hukum bagi mereka, tanah yang dikeluarkan berbeda dari yang diajukan, kata Rukmini.
Bahkan tanpa pengakuan resmi dan adanya risiko kriminalisasi serta penggusuran, Rukmini mengatakan masyarakatnya akan terus melindungi hutan.
“Kami akan terus melestarikan praktik leluhur kami. Kami tidak takut dengan UU Konservasi yang baru,” katanya.
Pemerintah seharusnya tidak melihat Masyarakat Adat sebagai ancaman terhadap kawasan konservasi. Sebaliknya, mereka adalah aktor utama dalam konservasi, kata Tommy Indyan, Direktur Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di AMAN.
“Masyarakat Adat bukanlah ancaman. Yang menjadi ancaman sebenarnya pemerintah, yang tidak paham pentingnya Masyarakat Adat dalam kegiatan konservasi,” paparnya.
Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Mongabay Global di sini pada tanggal 20 Desember 2024. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita