- Warga Kampung Baru, Sidomukti, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, terancam kehilangan ruang hidup karena bakal tergusur perusahaan sawit , PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Perwakilan petani datang ke Jakarta untuk mengadukan nasib mereka. Mereka datang ke Komnas HAM.
- Konflik petani Padang Halaban dengan perusahaan sawit Sinar Mas ini sudah terjadi puluhan tahun. Pada 2012, perusahaan mengerahkan bulldozer dan eksavator ke lahan petani. Para petani ditangkapi. Seorang anak diduga tertembak polisi. Warga juga melaporkan peristiwa ini kepada Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM turun ke lokasi, konflik mereda. Perusahaan mengurungkan niat menguasai lahan. Pada 2019, menurut Misno, perusahaan kembali ingin menggusur warga namun gagal karena pandemi. Barulah pada 2025, perusahaan kembali ingin menguasai lahan.
- Reza Muharam, pendamping warga mengatakan, masalah ini bukan hanya konflik lahan semata. Apa yang ratusan warga alami merupakan pelanggaran HAM. Warga, telah menduduki lahan yang semula seluas 3.000 hektar itu pada zaman kolonial Jepang. Lalu, di era Presiden Sukarno mereka ada pengakuan dan menerima surat kartu tanda pendaftaran pendudukan tanah (KRPPT).
- SMART berencana menggusur lahan yang Misno dan ratusan warga tempat pada 28 Februari ini. Penggusuran itu berdasarkan surat perintah eksekusi Pengadilan Negeri Rantau Prapat, tertanggal 20 Februari 2025 tetapi tertunda jadi 6 Maret ini
Warga Kampung Baru, Sidomukti, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, terancam kehilangan ruang hidup karena bakal tergusur perusahaan sawit, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Perwakilan petani datang ke Jakarta untuk mengadukan nasib mereka. Mereka datang ke Komnas HAM.
Konflik lahan ini seluas 83,5 hektar berupa pemukiman dan kebun warga. Sekitar 320 keluarga bakal terdampak penggusuran lahan oleh anak usaha Sinar Mas ini.
Misno, petani Padang Halaban sehari-hari menanam palawija, sayur-mayur, sampai buah-buahan seperti mangga, pepaya, hingga durian di lahan seluas lima rante.
Dia menjual hasil kebun ke pasar atau pada tengkulak yang datang mengambil ke kampung. Misno sudah puluhan tahun tinggal di sana. Dia merupakan generasi kedua rombongan warga Jawa Tengah yang ikut program transmigrasi ke Sumatera zaman pendudukan Jepang.
Misno dan ratusan warga di Kampung Baru Sidomukti tak punya lahan lagi. Mereka benar-benar menggantungkan hidup pada lahan seluas 83,5 hektar itu.
“Kami kuasai (lahan) hanya sebatas 83,5 hektar. Itulah yang untuk bertahan hidup. Demi anak-cucu kami, ini pula mau dihancurkan,” katanya kepada Mongabay di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (27/2/25).
SMART berencana menggusur lahan yang Misno dan ratusan warga tempat pada 28 Februari ini. Penggusuran itu berdasarkan surat perintah eksekusi Pengadilan Negeri Rantau Prapat, tertanggal 20 Februari 2025.
Menurut dia, perusahaan sudah mengerahkan alat berat dan personel polisi hingga tentara ke lokasi untuk menggusur warga. “Bulldozer 16 unit udah masuk ke sana. Polisi sudah masuk ke sana.”

Ngadu ke Komnas HAM
Pada 24 Februari, Misno menerima salinan surat eksekusi lahan dari Pengadilan Negeri Rantau Prapat. Dia kelimpungan membaca surat itu, kebun dan tempat tinggal warga di Kampung Baru Sidomukti bakal perusahaan sawit ratakan.
Dia berkomunikasi dengan jejaring organisasi masyarakat sipil. Dia dan Suherman, memutuskan terbang ke Jakarta mencari keadilan ruang hidup tak terampas perusahaan sawit.
Kamis (27/2/25), mereka mendarat di ibukota. Keduanya lantas mengunjungi Komisi Komnas HAM bersama organisasi masyarakat sipil: KontraS, Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia, dan Perhimpunan International People’s Tribunal (IPT) 65.
Misno dan Suherman mengadukan nasib mereka yang berada di ujung tanduk, kepada komisioner Komnas HAM. Mereka beraudiensi dengan Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Komnas HAM Bidang Mediasi.
Misno berharap, Komnas HAM bertindak atas nama kemanusiaan untuk membatalkan penggusuran lahan warga. Atau setidak-tidaknya, katanya, Komnas HAM bisa menunda eksekusi lahan itu.
“Kedatangan kemari ini sebetulnya, kami mau minta bantuan, minta pertolongan kepada Komnas HAM. Supaya kami selamat dari ancaman-ancaman eksekusi,” ujar Misno.
Warga juga meminta komisioner Komnas HAM terjun langsung ke lokasi lahan, guna mencegah penggusuran dan terjadi bentrokan dengan aparat.
Masalah konflik lahan, katanya, antara warga dengan perusahaan sawit sebenarnya sudah mereka laporkan ke Komnas HAM belasan tahun lalu. Kala itu, perusahaan berusaha menggusur warga dari lahan yang mereka duduki.
Menurut Misno, penggusuran lahan itu pun batal berkat perhatian Komnas HAM yang turun langsung ke lokasi.
Reza Muharam, pendamping warga mengatakan, masalah ini bukan hanya konflik lahan semata. Apa yang Misno dan ratusan warga alami merupakan pelanggaran HAM.
Warga telah menduduki lahan yang semula seluas 3.000 hektar itu pada zaman kolonial Jepang. Lalu, di era Presiden Sukarno mereka ada pengakuan dan menerima surat kartu tanda pendaftaran pendudukan tanah (KRPPT).
Pada 1965, saat Gerakan 30 September (G30S) pecah, warga terusir tentara. Mereka kena tuduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). “Pembunuhan dan pemerkosaan terjadi. Saya tidak tahu berapa ratus orang yang hilang,” ujar Reza.
Sebagian warga, katanya, juga bekerja di perkebunan sawit tanpa upah, hanya dapat makan. “Jadi, pekerja paksa, ya kayak budaklah, cuma dikasih makan. Mereka gak digaji dan ada pengawalannya.”
Atas persoalan masa lalu itulah, katanya, Komnas HAM harus bertindak sebagai penengah antara warga dengan perusahaan sawit. Dia mendesak, Komnas HAM dapat mengeluarkan rekomendasi atas persoalan ini hingga warga terhindar dari eksekusi lahan.
Prabianto mengatakan, akan mengirim surat permohonan penundaan eksekusi lahan kepada Pengadilan Negeri Rantau Prapat.
Upaya itu, katanya, untuk mencegah korban jatuh yang berisiko menjadi pelanggaran HAM.
“Saya lagi siapkan surat penundaan eksekusi untuk dikirim,” ujar Prabianto kepada Mongabay, Kamis malam (27/2/25).
Komnas HAM juga tengah mengupayakan mengutus langsung komisioner ke lokasi eksekusi lahan.
Secara terpisah, Saurli Siagian, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, mengatakan, bila eksekusi lahan tetap jalan, akan terjadi bentrokan.
“Ini bisa berdarah-darah. Mereka (warga) ini tidak tahu lagi harus kemana, tidak ada lagi tempatnya di mana. Warga ini orang-orang Jawa yang sudah di sana dan tidak tahu lagi pulang kemana,” katanya saat audiensi dengan warga dan perwakilan organisasi masyarakat sipil, Kamis (27/2/25).
Risiko kekerasan itulah yang harus semua pihak hindari. Dia anjurkan, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi penundaan eksekusi lahan.
Stephan Sinisuka, Kepala Komunikasi Korporat Sinar Mas Agribusiness and Food, memastikan, penundaan eksekusi lahan.
Surat pemberitahuan penundaan eksekusi lahan itu juga Pengadilan Negeri Rantau Prapat keluarkan, Nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025, tertanggal 28 Februari. Eksekusi jadwal ulang 6 Maret 2025.
“Pelaksanaan putusan pengadilan mundur dulu saat ini, sesuai hasil pertemuan bersama seluruh stakeholder,” ujar Stephan kepada Mongabay, Jumat (28/2/25).
Dia mengatakan, perusahaan sebagai pemegang hak guna usaha (HGU) di lahan seluas 83,5 hektar itu selalu mengupayakan penyelesaian konflik dengan dialog agar tidak menimbulkan korban.
Namun, Stephan tidak merinci langkah apa yang akan perusahaan ambil untuk menyelesaikan konflik.
“Kami terus berupaya mencari jalan damai sebagai itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan situasi ini. Perusahaan akan melakukan upaya terbaik untuk meminimalisir segala bentuk gangguan dan kendala yang timbul dari upaya tindak lanjut atas putusan pengadilan.”

Bara konflik
Konflik petani Padang Halaban dengan perusahaan sawit Sinar Mas ini sudah terjadi puluhan tahun. Pada 2012, perusahaan mengerahkan bulldozer dan eksavator ke lahan petani.
Para petani ditangkapi. Seorang anak diduga tertembak polisi. Warga juga melaporkan peristiwa ini kepada Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM turun ke lokasi, konflik mereda. Perusahaan mengurungkan niat menguasai lahan.
Pada 2019, menurut Misno, perusahaan kembali ingin menggusur warga namun gagal karena pandemi. Barulah pada 2025, perusahaan kembali ingin menguasai lahan.
SMART menganggap lahan 83,5 hektar itu konsesi perkebunan sawit mereka berdasarkan HGU. Eksekusi lahan juga berdasarkan putusan pengadilan pada tingkat satu, banding, dan kasasi.
Sengketa lahan ini sudah proses hukum di pengadilan. Pada tingkat satu di pengadilan negeri 2014, putusan SMART berhak atas lahan itu.
Lalu, pada tingkat banding 2015, Pengadilan Tinggi Medan memperkuat putusan ini. Pada tingkat kasasi 2016, Mahkamah Agung mempertegas putusan tingkat satu dan banding.
Namun, akar konflik bukan hanya pada proses hukum. Peneliti Muhamad Syafiq, Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia, mengatakan, akar konflik agraria antara petani dan perusahaan sawit itu bermula pada 1965.
Kala itu, para petani yang menguasai lahan eks perkebunan sawit perusahaan Belgia seluas 3.000 hektar terusir paksa dan ada intimidasi tentara. Mereka dianggap ilegal menguasai lahan itu.
Padahal, kata Syafiq, warga memiliki dasar pendudukan lahan berdasarkan surat kartu tanda pendaftaran pendudukan tanah (KRPPT) era Presiden Sukarno, itu ada dalam Undang-undang Darurat 1954 soal pemakaian tanah oleh rakyat.
“Artinya, itu bukti legal pemerintah mengakui keberadaan warga,” ujar Syafiq kepada Mongabay, Kamis (27/2/25).
Semula lahan seluas 3.000 hektar itu merupakan konsesi perkebunan sawit dua perusahaan asing asal Belgia-Belanda dan Inggris: Sumatera Caoutchouc Maatschappij NV Merbau dan Sungei Buaja Rubber Co Ltd, pada zaman Hindia Belanda.
Di zaman itu, katanya, perkebunan sawit di Sumatera mengandalkan pekerja kontrak yang datang dari Pulau Jawa. Sebagian besar warga Padang Halaban yang terancam penggusuran merupakan keturunan buruh perkebunan sawit pada era kolonial.
Pada 1942, ketika Jepang masuk Sumatera, pengusaha Eropa tinggalkan bisnis mereka. Lahan perkebunan terlantar lalu tergarap para buruh, berubah jadi perkebunan pangan.
“Ini juga selaras dengan seruan Bung Karno yang menyatakan pendudukan tanah-tanah eks perkebunan asing merupakan bagian dari perjuangan revolusi untuk mencapai kemerdekaan,” ucap Syafiq.
Pada 1945, hampir 3.000 hektar perkebunan Padang Halaban berubah bentuk menjadi perkebunan pangan dan perkampungan warga. Enam desa baru di atas area eks perkebunan sawit itu.

Sejak 17 Oktober 1945, desa-desa ini tercatat secara administrasi di pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu, sekarang jadi Kabupaten Labuhanbatu Utara karena pemekaran wilayah.
Kemudian, lahan itu terdistribusi ke warga desa masing-masing mengelola seluas dua hektar.
Pada 1962, desa-desa ini bahkan menjadi salah satu pemasok bahan pangan terbaik di Sumatera Utara. Desa Sidomulyo, memperoleh penghargaan sebagai desa terbaik II di Sumatera Utara.
Arus politik berubah pada 1965. Presiden Sukarno tumbang, berganti kekuasaan orde baru Suharto. Tentara menyerbu enam desa di perkebunan Padang Halaban. Mereka menangkap dan menyiksa ratusan warga karena dianggap terafiliasi PKI.
Tahun 1968, pemerintahan orde baru membuat keputusan politik untuk mengembalikan dan menyerahkan kembali lahan eks perkebunan dalam kuasai warga kepada pengusaha yang dianggap sebagai pemilik lamanya.
Syafiq mengatakan, perusahaan SUMCAMA NV yang ketika itu berubah nama menjadi Plantagen AG, dengan bantuan pemerintah, polisi, dan tentara mengambil paksa kartu tanda pendaftaran pendudukan tanah warga.
“Setahun kemudian penggusuran mulai. (warga) diintimidasi, dituduh sebagai pengikut komunis, ditodong senjata laras panjang. Mereka dipaksa meninggalkan kampung, pemukiman, dan lahan pertanian.”
Singkat cerita, setelah beberapa kali pergantian perusahaan pemegang konsesi perkebunan Padang Halaban, kemudian berpindah ke Smart—anak perusahaan Sinar Mas Group milik Taipan Eka Cipta Wijaya.
SMART mengantongi dua HGU, No.1/Padang Halaban seluas 5.509 hektar berlaku hingga 2039. Lalu, HGU No. 2/Padang Halaban seluas 2.044 hektar berlaku hingga 2047.
Pasca reformasi, keturunan petani Padang Halaban mulai bersuara menuntut pengembalian lahan yang mereka kuasai dulu. Berbagai upaya mereka lakukan, namun pemerintah tak pernah mengabulkan.
Pada 2009, warga lantas menduduki kembali beberapa bagian lahan perkebunan Padang Halaban. Mereka membangun kembali perkampungan dan lahan-lahan pertanian di lahan 20 hektar, meluas jadi 40 hektar, hingga mencapai 83,5 hektar pada 2012.

*****