Kerusakan Lingkungan Picu Banjir dan Longsor di Sumatera?

1 week ago 29
  • Bencana banjir dan longsor dalam Januari ini terjadi di beberapa daerah di Sumatera, seperti di Batam, Kepulauan Riau, Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.  Kerusakan lingkungan, seperti tutupan hutan terus tergerus jadi salah satu penyebab bencana.
  • Tanah longsor di Batam, menyebabkan empat orang meninggal dunia. Penanganan lebih sulit karena Batam belum punya BPBD. Amsakar Ahmad, Wali Kota Batam terpilih 2025-2029 memastikan pembentukan BPBD tahun ini dan sudah pengesahan perda.
  • Eko Teguh Paripurno,  Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Veteran Yogyakarta, mengatakan, risiko bencana daerah kepulauan lebih besar. Mitigasi harus sesuai dengan karakter geologi masing-masing pulau.
  • Melva Harahap,  Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi Nasional mengatakan, banjir dan longsor di beberapa daerah di Sumatera buah dari kerusakan lingkungan. Krisis ekologis itu, seperti perubahan bentang maupun tutupan hutan berkurang karena beralih fungsi.

Bencana banjir dan longsor dalam Januari ini terjadi di beberapa daerah di Sumatera, seperti di Batam, Kepulauan Riau, Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.  Kerusakan lingkungan, seperti tutupan hutan terus tergerus jadi salah satu penyebab bencana.

Eriawan,  Ketua RT004/RW007 Tiban Koperasi, Batam,  menangis ketika menceritakan longsor yang menimpa lima rumah warganya.

“Maut ini tidak ada yang tahu,” katanya.

Insiden di Kelurahan Tiban Baru, Kecamatan Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau itu meninggalkan trauma mendalam. Apalagi, empat nyawa melayang, termasuk pasangan suami istri Dony Aprianto dan Linda Luciana. Keduanya tertimbun longsoran dari bukit setinggi 20 meter di belakang rumah. Lima rumah rusak dan melukai lima orang. “Tidak ada yang menyangka karena warga sedang tidur,” katanya.

Selama 15 tahun tinggal di sana, belum pernah ada kejadian seperti ini. Tetapi, tiba-tiba saja, gundukan bukit itu ambrol saat warga tengah tidur lelap. Peristiwa itu pun membuka kesadaran Eriawan bahwa bukit yang dulu hutan itu jadi kebun pisang dan beton.

Padahal, akar-akar dari pohon di hutan itu yang selama ini menjaga bukit dari longsor.  “Jadi, karena pohon tak ada, maka tidak ada lagi perekat tanahnya, akhirnya longsor,” kata Eri, sapaannya.

Mongabay pun mencoba menelusuri puncak bukit longsor. Terlihat perumahan, berada tak jauh dari titik longsor. Jalanan beraspal di area perumahan, tampak retak-retak yang menandakan wilayah itu kehilangan daya ikat.

Hasbi, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepri menduga,  penghijauan minim jadi penyebab longsor. “Ini jadi pelajaran,  mitigasinya harus diperkuat ke depan, misal, pasang batu miring atau penghijauan.”

Banjir yang terjadi di salah satu ruas jalan di Kota Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

Minim mitigasi

Kontur Batam, berupa perbukitan. Banyak rumah dibangun di tepian bukit tanpa mitigasi memadai.  Lahan terbatas di Kota Batam juga jadi penyebab, banyak perumahan berada di daerah rawan longsor.

Hasbi berharap,  BPBD Kota Batam segera terbentuk agar penanganan bencana seperti ini lebih cepat.

“Kalau ada BPBD Batam seharusnya kajian risiko bencana dan penanggulangan bisa dilakukan,” katanya seraya bilang akan pendataan daerah rawan bencana di Kota Batam, dan daerah lain.

Amsakar Ahmad, Wali Kota Batam terpilih 2025-2029 memastikan pembentukan BPBD tahun ini dan sudah pengesahan perda.

Dia pun meminta warga di tepi bukit di perumahan Tiban Koperasi pindah sementara waktu.

Ansar Ahmad,  Gubernur Kepri berjanji, membicarakan mitigasi bencana dengan para pihak guna meningkatkan kewaspadaan.

“BPBD akan menghitung dan pemetaan lokasi-lokasi rawan bencana,” katanya.

Data BPBD Kepri, selain Batam, banjir juga terjadi di Kabupaten Bintan dengan 1.083 keluarga  terdampak. Begitu juga Tanjungpinang dengan 800 keluarga jadi korban. Beberapa jembatan juga putus.

“Banjir rob juga terjadi di beberapa pulau seperti Pulau Karas, Pulau Terong dan lain-lain. Masih pendataan,” kata Hasbi.

Endarwin,  Direktur Operasi Modifikasi Cuaca BKMG Kepri, mengatakan, cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi hingga sangat tinggi masih akan terjadi hingga Maret-April 2025.

“Ini fenomena La-Nina lemah, madden-julian oscillation (MJO) dan cold surge turut memengaruhi tingginya curah hujan serta gelombang di perairan Kepri. Kondisi ini dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor jika tidak mitigasi dengan baik,” katanya dalam siaran pers Pemerintah Kepri.

Widodo Setiyo Pranowo, Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, intensitas hujan dipengaruhi fenomena interaksi laut-atmosfer dan Samudera Hindia.

“Banjir rob juga terjadi karena angin siklon atau angin kencangnya di laut menyeret permukaan laut jadi gelombang saat kondisi permukaan laut menuju pasang atau persis saat pasang tertinggi pada bulan purnama, maka air laut akan membanjiri masuk ke daratan pantai atau pesisir,”  kata pengajar Prodi S2 Oseanografi, Sekolah Tinggi Teknologi TNI Angkatan Laut (STTAL) itu.

 Yogi Eka Sahputra/Mongabay IndonesiaBeberapa petugas mencari korban longsor yang disebabkan curah hujan tinggi di Kota Batam, Senin 13 Januari 2025. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

Bencana ekologis

Selain di Kepri, laporan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB mencatat beberapa bencana itu terjadi di daerah lain di Sumatera.  Antara lain, Kabupaten Aceh Timur, banjir merendam 78 rumah warga karena ada luapan sungai di Kecamatan Pante Bidari pada 13 Januari 2025 pukul 07.00.

Pasca kejadian, BPBD bersama tim gabungan mengevakuasi warga terdampak ke tempat lebih aman.

Di Sumatera Utara, banjir merendam beberapa wilayah antara lain, Kota Binjai dan Medan. Banjir juga merendam Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau. Banjir dipicu hujan deras yang mengakibatkan Sungai Subayang meluap pada 13 Januari lalu. Sebanyak 456 jiwa terdampak dan masih terus pendataan warga terdampak.

Melva Harahap,  Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi Nasional mengatakan, banjir dan longsor di beberapa daerah di Sumatera buah dari kerusakan lingkungan. “Kalau Walhi menyebut, bencana ekologis itu adalah akumulasi krisis lingkungan,” kata Memeng, sapaan akrabnya.

Krisis ekologis itu, seperti perubahan bentang maupun tutupan hutan berkurang karena beralih fungsi. “Jadi,  kalau ditanya bencana itu akibat kerusakan lingkungan seperti deforestasi dan perubahan iklim, iya betul.”

Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Sustain (Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia), mengatakan, bencana hidrometeorologi seperti longsor dan banjir memang karena curah hujan tinggi, tetapi itu dampak langsung dari krisis iklim.

“Nah, cuaca ekstrem ini akan makin sering terjadi sebagai dampak krisis iklim.”

Menurut Tata, ketika cuaca ekstrem ini bertemu persoalan lingkungan lain seperti kekurangan tutupan hutan menyebabkan banjir dan longsor.

Menurut dia, ada tiga hal harus dilakukan, pertama, mitigasi krisis iklim, terutama percepat transisi energi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Kedua, menghentikan deforestasi sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim dan menjaga area tangkapan air serta sumber air.

Ketiga, adaptasi karena cuaca ekstrem seperti kekeringan dan kenaikan permukaan air laut akan terus terjadi dalam beberapa tahun mendatang walaupun sudah mempercepat mitigasi.

“Dalam konteks lebih menyeluruh peningkatan kesejahteraan ekonomi harus berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan karena tidak ada kesejahteraan tanpa kelestarian lingkungan.”

Eko Teguh Paripurno,  Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Veteran Yogyakarta, mengatakan, risiko bencana daerah kepulauan lebih besar. Mitigasi pun harus sesuai dengan karakter geologi masing-masing pulau.

“Untuk itu, melakukan kajian, kerentanan risiko skala pulau jadi penting, para pihak, pemerintah, perguruan tinggi, lembaga usaha, dan media bisa mendorong proses kapasitas pengkajian risiko, tentu kajian ancaman kerentanan kapasitasnya perlu mulai dari situ.”

Selain kajian, katanya, mitigasi warga sangat penting apalagi daerah itu tak ada BPBD. Pengelola risiko bencana berbasis masyarakat dan komunitas, katanya,  jadi kunci. Masyarakat harus paham risiko ketika tinggal di daerah rawan.

“Karena itu,  membaca karakter longsor jadi penting, biasa berhubungan dengan kemiringan lereng, tingkat pelapukan, beban pemukiman, getaran jalan, itu mesti perlu diperhatikan,” katanya.

Terkait banjir, kata Eko, sangat bergantung kepada perubahan permukaan kawasan. Dalam banyak kasus, hujan selalu jadi kambing hitam.  Sedangkan perubahan bentang lahan, tak pernah jadi ulasan.

“Padahal, tata kelola permukaan jadi mudah menyerap atau tidak itu, satu masalah sendiri yang perlu dikelola dengan baik.”

*******

 Yogi Eka Sahputra/Mongabay IndonesiaBanjir di ruas jalan kawasan Bengkong Indah Kota Batam, Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

Banjir Bandang Morowali Utara, Lemahnya Pengawasan Tambang Nikel?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|