Kematian dalam Perspektif Hewan: Memahami Reaksi dan Pemahaman Mereka

1 month ago 47
  • Pada 2018, peneliti di Uganda menyaksikan perilaku ibu simpanse yang membawa bayi albino yang baru lahir. Setelah bayi tersebut mati, kelompok simpanse menunjukkan reaksi rasa ingin tahu terhadap mayatnya, bukan kesedihan.
  • Reaksi ini mengindikasikan bahwa simpanse memahami konsep kematian, yakni bahwa individu yang mati tidak lagi dapat melakukan aktivitas hidup seperti sebelumnya.
  • Pemahaman ini sering kali terhalang oleh bias intellectual dan emotional anthropocentrism, yang menganggap bahwa pemahaman kematian pada hewan hanya dapat dilihat melalui sudut pandang dari reaksi manusia, seperti kesedihan.
  • Namun, reaksi terhadap kematian pada hewan bisa sangat beragam, seperti rasa ingin tahu atau ketidakpedulian, yang tetap menunjukkan pemahaman bahwa individu tersebut telah mati. Ini menunjukkan bahwa konsep kematian lebih luas dan tidak terbatas pada manusia.

Sejak lama, manusia telah merenungkan kematian, bergulat dengan kenyataan tentang kefanaan, dan menciptakan berbagai ritual pemakaman sebagai cara untuk menghormati orang yang telah pergi. Dalam banyak budaya, kematian juga dihadapi dengan upacara dan tradisi tertentu yang menggambarkan bagaimana kita memandang kehilangan dan berduka. Namun, apakah hewan memiliki pemahaman yang sama tentang kematian? Bagaimana hewan  merespons kehilangan dan memahami perpisahan?

Pertanyaan ini semakin mendapat perhatian dari para ilmuwan dalam dua dekade terakhir, yang mulai meneliti lebih dalam bagaimana hewan memahami konsep kematian. Salah satu yang mengangkat topik ini adalah Susana Monsó, seorang Profesor Filsafat di Departemen Logika, Sejarah, dan Filsafat Ilmu di Universitas Pendidikan Jarak Jauh Nasional (UNED) di Madrid. Dalam artikel yang diterbitkan oleh TIME, Monsó menjelaskan pentingnya memahami bagaimana hewan, yang kognisinya berbeda dari manusia, mungkin memiliki cara mereka sendiri dalam memaknai kematian. 

Bukti Kuat Bahwa Simpanse Dapat Memahami Kematian

Pada tahun 2018, para peneliti di Uganda melihat sesuatu yang jarang terjadi: seekor ibu simpanse membawa bayi yang baru dilahirkannya, yang terlahir dengan albinisme, suatu kondisi langka yang membuat bulunya berwarna putih. Ibu simpanse biasanya akan menjauh dari kelompoknya saat hendak melahirkan untuk melindungi bayinya dari kekerasan yang sering terjadi antar kelompok. para peneliti melihat ibu simpanse tersebut kembali ke kelompok sesaat setelah melahirkan bayinya. Mereka pun segera mencatat reaksi anggota kelompok simpanse lain saat pertama kali melihat bayi yang sangat berbeda ini.

Mayat bayi albino yang tengah diperiksa oleh simpanse dewasa lainnya | Foto NewScientist

Alih-alih menunjukkan rasa ingin tahu atau kasih sayang seperti yang biasanya terjadi pada bayi baru lahir, para simpanse ini malah terlihat sangat ketakutan. Mereka mengeluarkan suara peringatan yang keras dengan berteriak dan bulu mereka mulai berdiri, seperti yang biasa dilakukan ketika menghadapi ancaman dari predator, seperti ular atau manusia. Tak lama setelah itu, seekor simpanse alpha jantan bersama beberapa anggota kelompoknya yang lain seketika langsung membunuh bayi albino tersebut. Setelah kematiannya, perilaku kelompok berubah total. Dipenuhi rasa ingin tahu, mereka mulai memeriksa mayat bayi tersebut, mencium, menarik bulunya, dan membandingkannya dengan tubuh mereka sendiri, mereka terpesona oleh makhluk yang baunya seperti simpanse, namun penampilannya sangat berbeda.


Baca Juga: Saat Binatang Patah Hati dan Berduka

Reaksi Simpanse terhadap Kematian

Kisah tragis di atas merupakan bukti terbaik yang kita miliki bahwa simpanse dapat memahami konsep kematian. Kunci pemahaman ini terletak pada perubahan sikap mereka setelah kematian bayi simpanse tersebut. Apa yang awalnya mereka anggap sebagai ancaman, berubah menjadi objek menarik yang layak untuk diselidiki secara menyeluruh, bahkan cukup aman untuk diperiksa secara fisik dan penciuman. Seolah-olah para simpanse telah memahami bahwa hewan yang tidak biasa itu tidak lagi dapat membahayakan mereka.

Inilah sebenarnya makna memahami kematian menurut Monsó: menyadari bahwa individu yang telah meninggal tidak lagi dapat melakukan apa yang mereka bisa lakukan ketika mereka masih hidup.

Namun, beberapa ilmuwan yang mempelajari hubungan hewan dengan kematian mungkin akan berbeda pendapat dengan kesimpulan ini. Mereka berpendapat bahwa pemahaman tentang kematian berarti memahami kenyataan bahwa kematian itu final, tak terhindarkan, tidak dapat diprediksi, dan akan dialami oleh semua makhluk, termasuk diri sendiri. Para ilmuwan ini mungkin terjebak dalam apa yang disebut sebagai intellectual anthropocentrism, anggapan bahwa satu-satunya cara memahami kematian adalah melalui cara atau sudut  pandang manusia, dan hewan memiliki konsep kematian yang setara dengan pemahaman manusia rata-rata—atau bahkan tidak memiliki konsep sama sekali.

Seekor simpanse membersihkan gigi temannya yang terbujur kaku dengan rumput disaksikan simpanse yang lain. Foto : Edwin van Leeuwen via nature.com/creative commons by 4.0

Hal ini tidak sepenuhnya benar menurut Monsó. Intellectual anthropocentrism adalah bias yang mempengaruhi thanatologi komparatif, yaitu studi tentang bagaimana hewan berhubungan dengan kematian. Cara untuk mengatasi bias ini adalah dengan memahami bahwa konsep kematian bukanlah suatu hal yang hitam-putih, tetapi lebih merupakan spektrum—sesuatu yang bisa dipahami dalam berbagai tingkatan. Oleh karena itu, ketika mempelajari apakah hewan dapat memahami kematian, kita sebaiknya tidak menggunakan konsep kematian manusia yang kompleks, melainkan memulai dari minimal concept of death. Memahami kematian dalam arti minimal berarti menyadari bahwa individu yang telah mati tidak lagi bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh makhluk hidup sejenis mereka, dan bahwa kondisi ini bersifat tidak dapat diubah. Inilah yang tampaknya dipahami oleh perilaku para simpanse tersebut.

Ada bias lain yang memengaruhi thanatologi komparatif, yaitu apa yang disebut sebagai emotional anthropocentrism, yaitu anggapan bahwa reaksi hewan terhadap kematian hanya layak diperhatikan jika mirip dengan reaksi manusia. Bias ini membuat peneliti sering mencari manifestasi kesedihan pada hewan, seperti dalam kisah Tahlequah, seekor orca yang membawa bayinya yang mati selama 17 hari dan menempuh jarak lebih dari 1000 mil, atau Segasira, gorila yang mencoba menyusui dari payudara ibunya yang sudah mati. Meski kesedihan pada hewan adalah fenomena yang nyata dan penting untuk dicatat, jika kita hanya mencari tanda-tanda kesedihan pada hewan, kita bisa kehilangan gambaran yang lebih besar. 

Kembali pada kasus simpanse, mereka jelas tidak berkabung atas kematian bayi albino tersebut. Sebaliknya, perilaku mereka lebih dipengaruhi rasa ingin tahu, meski ini tidak mengurangi pemahaman mereka tentang apa yang telah terjadi. Kesedihan bukanlah indikator pemahaman mendalam tentang kematian, melainkan tanda adanya ikatan sosial yang kuat antara individu yang berduka dan yang telah meninggal.


Memahami Kematian dalam Berbagai Perspektif Hewan

Kembali pada kisah para simpanse sebelumnya, mereka jelas tidak sedang berkabung atas kematian bayi albino itu. Sebaliknya, perilaku mereka lebih didominasi oleh rasa ingin tahu. Tetapi ini tidak mengurangi pemahaman mereka tentang apa yang telah terjadi. Kesedihan bukanlah indikator pemahaman mendalam tentang kematian, melainkan lebih menunjukkan adanya ikatan sosial yang kuat antara yang berduka dan yang telah meninggal.

Ekspresi sedih seekor koala jantan yang ditinggal mati seekor koala betina. Foto : facebook Koala Rescue

Ada banyak cara berbeda dalam merespons kematian yang tidak selalu berupa kesedihan. Misalnya, seseorang bisa merasa senang jika kematian itu membawa keberuntungan bagi mereka, marah jika hal-hal yang belum tuntas, atau bahkan tidak peduli jika orang tersebut tidak dikenal. Meskipun reaksi-reaksi ini sering dianggap tabu, mereka tetap menunjukkan pemahaman akan kematian. Contohnya, beruang kutub yang menangkap anjing laut mungkin memahami kematian dengan cara yang sama seperti induk monyet yang berduka yang menggendong mayat dari bayinya, meskipun keduanya melihat dari perspektif yang berbeda—satu sebagai keuntungan, yang lain sebagai kehilangan.

Bias emotional anthropocentrism dan intellectual anthropocentrism telah menghalangi kita melihat bahwa ada banyak cara lain untuk bereaksi terhadap kematian daripada apa yang kita yakini selama ini. Sebenarnya, konsep kematian, yang sering dianggap sebagai pencapaian intelektual kompleks yang hanya bisa dipahami oleh spesies dengan kemampuan kognitif tinggi, sejatinya adalah sesuatu yang mudah dipahami dan berkaitan erat dengan kemampuan-kemampuan yang esensial untuk bertahan hidup, seperti yang dilakukan oleh seekor opossum melakukan “playing possum” (berpura-pura mati) saat merasa terancam. Jika kita bisa menghilangkan kedua bias ini, kita akan melihat bahwa konsep kematian, jauh dari menjadi sifat yang hanya dimiliki manusia, sebenarnya tersebar luas di kerajaan hewan dan lebih beragam daripada yang bisa kita bayangkan.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|