- Organisasi lingkungan di Jambi mempertanyakan penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan hanya berani menjerat petani. Sedang perusahaan dengan konsesi terbakar, penegakan hukumnya belum ada kejelasan.
- Analisis citra satelit KKI Warsi menunjukkan, luas kebakaran di Jambi pada 2024 mencapai 10.229 hektar. Lebih dari separuh berada dalam izin konsesi perusahaan sawit, perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan restorasi. Luas kebakaran pada izin PBPH 2.868 hektar, dan perkebunan sawit 918 hektar. Setidaknya, ada 28 konsesi perusahaan terbakar. Bahkan, 16 kebakaran berulang—pernah terbakar pada 2015 atau 2019.
- Feri Irwan, Direktur Perkumpulan Hijau mendesak, penegak hukum transparan dalam penanganan kasus karhutla di Jambi. Penegakan hukum jangan hanya menjerat para petani kecil, juga korporasi.
- Linda Rosalinsa, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, aparat seharusnya memproses perusahaan dengan konsesi terbakar. Terlebih luas kebakaran di izin konsesi lebih luas, dan praktis menyebabkan dampak lebih buruk terhadap lingkungan.
Organisasi lingkungan di Jambi mempertanyakan penanganan kebakaran hutan dan lahan hanya berani menjerat warga. Sedang perusahaan dengan konsesi terbakar, penegakan hukum tak ada kejelasan.
Seperti, Dewita Br Silalahi, petani di Kabupaten Tebo, Jambi, kena penjara akibat membersihkan lahan dengan cara membakar. Dia perempuan pertama yang ditahan akibat kasus pembakaran lahan sejak 10 tahun terakhir.
Pada 17 Desember 2024, Pengadilan Negeri Tebo memutuskan, perempuan 35 tahun itu terbukti bersalah “dengan sengaja membakar hutan.” Dia kena hukum satu tahun empat bulan dan denda Rp20 juta. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, menuntut 2,5 tahun penjara denda Rp20 juta.
Dewita kena tangkap satgas karhutla saat patroli di Dusun Muara Bulan, Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi 31 Juli 2024. Waktu itu, Varial Adhi Putra, Penjabat Bupti Tebo, minta Dewita ditahan, meski tidak tertangkap tangan sedang membakar lahan.Ibu dua anak itu mengaku, seminggu sebelumnya, pada 24 dan 25 Juli 2024 membakar tumpukan ranting dan dedaunan kering bekas terbasan. Dia mau tanam padi, cabai dan bibit terong yang dia siapkan.
Lahan itu dia bersihkan sendirian sejak Mei. Perempuan asal Padang Lawas itu bilang, setiap bekas terbasan seluas empat mater persegi dia tumpuk jadi satu, baru membakarnya. Total ada enam tumpukan.
Walhi Jambi yang mendampingi Dewita mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Negeri Jambi, tetapi ditolak. Pada 16 Januari 2025, PT Jambi memutuskan menguatkan putusan Pengadilan Tebo terhadap kasus Dewita.
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, menilai, putusan Pengadilan Negeri Jambi tidak mencerminkan asas keadilan. “Harusnya (PN Jambi) berpihak kepada orang kecil dan membaca utuh peristiwa yang terjadi, walau PN Tebo menyatakan Dewita bersalah.”
Dia menyebut, penangkapan Dewita adalah preseden buruk, karena satgas karhutla mengabaikan kasus kebakaran lahan lebih besar. Saat patroli satgas karhutla menemukan api besar tak jauh dari pondok Dewita. Pemiliknya diduga sengaja membakar untuk membuka perkebunan, sekitar satu hektar.
Gundra, anggota Polres Tebo yang menjadi saksi persidangan kasus Dewita membenarkan pada 24 Oktober lalu. Saat rombongan satgas karhutla patroli bersama Forkopimda Tebo dan personel PT Alam Bukit Tigapuluh, dia melihat api membumbung tinggi hampir dua meter, membakar bekas tebangan di seberang jalan sekitar 30 meter dari pondok Dewita. Pemilik lahan tidak ada di lokasi.
Dewita yang ditanya, mengaku tidak tahu siapa pemilik lahan yang terbakar itu.
Sampai sekarang, kasus kebakaran lahan itu tidak pernah ada tindaklanut oleh satgas karhutla. “Di depan mata mereka ada kejadian lebih besar, kenapa itu tidak diselidiki?” kata Abdullah.
Menurut dia, dari kasus Dewita ini perlu mengoreksi nurani penegak hukum. “Seharusnya, kalau mau tangkap dan proses pelaku karhutla, jangan tebang pilih dan pandang bulu.”
Walhi Jambi akan terus memperjuangkan keadilan Dewita, meski proses panjang.
Jumat sore, 7 Februari 2025, Walhi Jambi pun mengajukan permohonan kasasi. “Keadilan harus ditegakkan, walau langit runtuh.”
Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan Indonesia mengatakan, akses perempuan—terutama di daerah pelosok—terhadap informasi sangat terbatas. Banyak dari mereka tidak tahu ada aturan larangan membuka lahan dengan cara membakar.
“Umumnya setiap ada informasi itu hanya disampaikan pada laki-laki. Perempuan dinomor duakan, hingga mereka rentan dikriminalisasi.”
Terlepas dari itu, membersihkan lahan dengan cara membakar atau merun adalah kearifan masyarakat Melayu. Merun umum dilakukan masyarakat Jambi sebelum menggarap lahan.
Dalam UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22 angka 24 telah mengubah Pasal 69 ayat (1) huruf hUU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam aturan larangan membuka lahan dengan cara membakar ada pengecualian bagi masyarakat dengan memerhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing.
Kearifan lokal yang dimaksud yaitu melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektar per keluarga untuk tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Berarti, membuka lahan dengan cara membakar boleh dengan syarat tertentu.
Sayangnya, aparat hukum di Jambi hanya mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 2/2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Setiap orang dan atau badan hukum tak boleh membuka hutan dan lahan dengan cara membakar.
Larangan membuka lahan dengan membakar, membuat banyak petani perempuan ketakutan. “Mereka takut ditangkap.”
Dampaknya, banyak lahan terlantar, karena tidak tergarap dan berdampak serius terhadap kehidupan petani. “Kalau dulu, mereka tak perlu beli beras karena bisa tanam sendiri. Sekarang, karena takut, mereka jadi buruh untuk bisa beli beras.”
Zubaidah mendorong, pemerintah daerah Jambi untuk evaluasi, dan mencari solusi larangan membuka lahan dengan cara membakar ini. “Kalau membuka lahan dengan cara dibakar dilarang, terus solusinya apa? Pemerintah juga harus cari solusi, tidak hanya melarang.”
Menurut dia, pemerintah Jambi perlu menetapkan tradisi merun sebagai kearifan lokal agar kasus penangkapan petani tidak terus terjadi.
Namun, katanya, harus ada kesepakatan dalam aturan ketat, termasuk berapa luas lahan boleh buka dan bagaimana prosesnya.
“Semua harus disepakati, tidak bisa sembarangan.”

Kasus petani lain
Selain Dewita, ada Aman Pasaribu juga kena hukum satu tahun empat bulan penjara karena membakar tumpukan ranting dan rumput kering di Sungai Banyu, Desa Teluk Rendah Ilir, Kecamatan Tebo Ilir, Tebo pada 24 Juli lalu. Saat itu, Aman berniat membersihkan lahan.
Sebelumnya, Hendri Edward vonis 10 bulan penjara, denda Rp 1 juta oleh Pengadilan Negeri Tebo karena kebakaran lahan di KM 14, Desa Kandang, Kecamatan Tebo Tengah, Tebo 8 Agustus 2024.
Kasus sama juga terjadi di Sarolangun. Mustadi, kena hukuman satu tahun enam bulan penjara, denda Rp550 juta oleh Pengadilan Negeri Sarolangun, karena kebakaran di sekitar Sungai Nidis, Desa Sepintun, Kecamatan Pauh, Sarolangun 21 Agustus 2024. Dia dianggap sengaja membakar hutan.
Awalnya, Mustadi berniat membersihkan lahan satu hektar untuk tanam karet. Karena angin kencang, api membesar dan tak terkendali hingga membakar konsesi PT Agronusa Alam Sejahtera seluas tiga hektar.
Kemudian ada Robi Hermanto vonis dua tahun penjara, denda Rp200 juta oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, atas kasus kebakaran lahan di kawasan hutan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Dusun Senami, Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, Batang Hari, 16 Juli 2024.
Amrhi, petani di Tanjung Jabung Timur juga kena hukum enam bulan penjara karena kebakaran lahan seluas 14 hektar di Parit 8, Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu. Api diduga berasal dari putung rokok yang dia buang saat menanam bibit sawit.
Begitu juga Sarjuni, gara-gara puntung rokok dia kena hukum enam bulan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur. Api dari putung rokok itu menyebakan lahan di Kecamatan Mendahara Ulu, terbakar pada 25 Juli 2024, sekitar tiga hektar.
Sedangkan Wiyono kena ganjar 10 bulan penjara setelah terbukti sah membuka lahan dengan membakar di Dusun Idaman, Desa Bakti Idaman, Kecamatan Mendahara. Awalnya, dia membakar tumpukan ranting kering, api membesar hingga merembet ke lahan orang lain.
Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur juga mewajibkan Wiyono membayar denda Rp100 juta. Pada 7 Februari 2024, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding.

Tak transparan, proses korporasi
Feri Irwan, Direktur Perkumpulan Hijau mendesak, penegak hukum transparan dalam penanganan kasus karhutla di Jambi. Sampai saat ini, katanya, belum ada perusahaan terjerat hukum, meski konsesi mereka jelas-jelas terbakar.
Dia contohkan, kebakaran di konsesi PT Artha Mulia Mandiri (AMM) di Desa Pematang Buluh, Kecamatan Betara, Tanjung Jabung Barat pertengahan Agustus 2024. Menurut Feri, perusahaan lalai hingga api menyala selama tiga hari dan membakar puluhan hektar tanaman sawit di lahan gambut.
“Aturannya jelas, setiap pemegang izin wajib menjaga areal izin dan bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan dan lahan di dalam areal izinnya,” kata Feri.
Sampai sekarang belum ada kejelasan terkait kasus, meski Subdit IV Tipiter Ditreskrimsus Polda Jambi bersama Tipiter Satreskrim Polres Tanjung Jabung Barat turun ke lokasi menyelidiki penyebab kebakaran.
“Sampai sekarang kita tidak tahu update kebakaran lahan gambut di AMM Tanjab Barat itu,” kata pria yang juga Koordinator Pantau Gambut Jambi ini.
Analisis citra satelit KKI Warsi menunjukkan, luas kebakaran di Jambi pada 2024 mencapai 10.229 hektar. Lebih dari separuh berada dalam izin konsesi perusahaan sawit, perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan restorasi. Luas kebakaran pada izin PBPH 2.868 hektar, dan perkebunan sawit 918 hektar.
Setidaknya, ada 28 konsesi perusahaan terbakar. Bahkan, 16 kebakaran berulang—pernah terbakar pada 2015 atau 2019.
Saat laporan akhir tahun 2024, Polda Jambi mengumumkan menetapkan 15 orang tersangka atas kasus pembakaran hutan dan lahan seluas 949,9 hektar di Jambi. Semua perorangan, tidak ada perusahaan.
Feri meminta, penegakan hukum tak hanya menjerat para petani kecil, juga korporasi. “Kepolisian harus berani menindak perusahaan yang terbukti lalai, jangan hanya petani kecil.”
Sebelumnya, Kapolda Jambi, Irjen Pol. Rusdi Hartono mengaku, akan menindak tegas pelaku pembakaran hutan dan lahan, termasuk pemberlakuan status quo terhadap lahan yang terbakar hingga ada keputusan hukum tetap.
“Tetapi jika kita telaah lebih dalam, maklumat tersebut hanya memberlakukan status quo pada wilayah yang dibakar, bukan pada wilayah yang terbakar. Ini mengabaikan unsur kelalaian dalam mitigasi karhutla,” kata Abdullah.
Ipda Maulana, Paur Penum Subbid Penmas Bidhumas Polda Jambi, menyatakan, komitmen Kapolda Jambi menangani kasus karhutla. Dia berikan contoh pemeriksaan perusahaan pada 2019.
“Pada 2019, Polda Jambi memeriksa 12 perusahaan terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan. Kapolda juga melakukan upaya pencegahan karhutla. Ini dapat dilihat dari apel siaga darurat yang melibatkan TNI, Polri, BPBD, dan masyarakat.”
Maulana juga menyebut, polisi melakukan berbagai langkah pencegahan karhutla, melalui kampanye di media sosial, penyuluhan dan patroli di wilayah rawan sampai dengan kerja sama dengan oraganisasi mayarakat sipil dan komunitas lokal.
“Sosialisasi mencapai beberapa lapisan masyarakat. Namun belum sepenuhnya ke seluruh lapisan masyarakat.”
Maulana mengakui, Polda Jambi terkendala anggaran yang terbatas untuk sosialisasi lebih luas. Di beberapa wilayah, lokasi terisoliasi dan sulit terjangkau.
Linda Rosalinsa, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, aparat seharusnya memproses perusahaan dengan konsesi terbakar. Terlebih luas kebakaran di izin konsesi lebih luas, dan praktis menyebabkan dampak lebih buruk terhadap lingkungan.
“Kenapa perusahaan tidak diproses? Apa tidak berani?”
Menurut dia, ketimpangan penegakan hukum membuat kepercayaan publik menurun. Linda menyinggung pernyataan Presiden Prabowo saat Rapat Pimpinan TNI Polri di The Tribrata, 30 Januari 2025.
“Pak Prabowo bilang ‘rakyat yang melengkapi saudara dari ujung kaki sampai ujung kepala, rakyat yang memberi makan kepada tentara dan polisi, dan rakyat memberi kuasa kepada tentara dan polisi…dituntut dari saudara-saudara pengabdian yang setinggi-tingginya,’ katanya. Harusnya kasus ini (karhutla) menjadi perhatian Presiden Prabowo,” kata Linda.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan, pelepasan karbon skala besar, yang akan memperburuk kenaikan suhu global. Pencegahan dan penegakan hukum kasus karhutla merupakan bagian penting dari upaya menjaga bumi dari krisis iklim.
“Kalau perusahaan yang konsesinya terbakar, bahkan sampai berulang itu dibiarkan, artinya komitmen Indonesia menjaga iklim, lemah. Negara tidak sungguh-sungguh.”
Lembaga keuangan juga berperan
Linda juga menyoroti lembaga jasa keuangan. Banyak perbankan terus menggelontorkan dana pinjaman kepada perusahaan, meskipun mereka menyebabkan kerusakan lingkungan serius dari karhutla.
Catatan TuK Indonesia 2016-Juni 2024, setidaknya ada Rp619 triliun uang pinjaman dan penjaminan dari perbankan dan investor ke perusahaan sawit. Sedangkan aliran kredit untuk perusahaan pulp and paper Rp528 triliun lebih.
“Semakin luas konsesinya, semakin besar pembiayaan yang dikasih.”
Menurut Linda, pinjaman modal yang jasa keuangan keluarkan seharusnya sesuai klasifikasi taksonomi.
Pada Februari 2025, Otoritas Jasa Keuangan merilis Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2, sebagai panduan untuk meningkatkan alokasi modal dan pembiayaan berkelanjutan.
TKBI juga untuk mendukung pencapaian target net zero emission (NZE) Indonesia pada 2060.
Namun, kata Linda, aturan baru itu justru mengalami kemunduran. Saat ini, taksonomi untuk keuangan bekelanjutan Indonesia hanya ada dua klasifikasi: hijau dan transisi.
“Sekarang tidak ada lagi klasifikasi merah, ganti transisi. Kalau merah jelas, perusahaan bermasalah dan pembiayaan untuknya harus dibatasi atau dikurangi. Kalau transisi, kita tidak tahu maksudnya bagaimana.”

*******
Karhutla Jambi Dominan di Konsesi: Belasan Petani Tersangka, Korporasi?