- Para petani Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, gusar dengan ulah sekelompok orang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas). Ormas ini menyerobot tanah petani yang sudah mendapatkan distribusi lahan dari pemerintah.
- Petani pun was-was mau berladang. Bahkan, karena intimidasi mereka, ada petani tiga bulan tak berladang lantaran ketakutan. Dengan dampingan Pergerakan Petani Banten (P2B), petani laporkan ormas ke Polres Kabupaten Lebak.
- AKBP Herfio Zaki, Kapolres Lebak mengatakan, telah menerima laporan para petani. Dia berkomitmen menyelesaikan perkara ini dengan profesional.
- Rudi Rubijaya, Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menuturkan, sudah sah memberikan pengakuan hak atas tanah dengan sertifikat komunal kepada petani Desa Gunung Anten.
Para petani Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, gusar dengan ulah sekelompok orang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas). Ormas ini menyerobot tanah petani yang sudah mendapatkan distribusi lahan dari pemerintah.
Buntutnya, petani was-was mau berladang. Bahkan, karena intimidasi mereka, ada petani tiga bulan tak berladang lantaran ketakutan. Dengan dampingan Pergerakan Petani Banten (P2B), petani laporkan ormas ke Polres Kabupaten Lebak.
Pantauan Mongabay, lahan petani yang kena serobot itu berdiri bangunan untuk sekretariat dua ormas. Pembangunan masih berproses. Ada spanduk spanduk terpampang di depan bangunan bertuliskan Kantor Sekretariat Bersama BPPKB Banten dan LSM GMBI Kabupaten Lebak. Turut pula dalam spanduk itu foto dua orang bernama Belong, selaku Ketua BPPKB Banten DPC Lebak dan King Naga selaku Ketua LSM GMBI Distrik Lebak.
Abay Haetami, Ketua P2B mengatakan, kelakuan ormas itu sudah kelewat batas karena mengganggu kenyamanan para petani. Dua petani pun laporkan tindak pidana penyerobotan lahan.
“Kita sudah laporkan ke polisi, kalau mereka mau berargumen di polisi aja,” katanya kepada Mongabay, Minggu (23/2/27).
Laporan itu, katanya, sudah kepolisian tindaklanjuti. Polisi memanggil pelapor untuk minta keterangan.
Tanah yang petani garap itu sudah sejak lama mereka perjuangkan. Selama tiga dekade hingga mendapat pengakuan hak atas tanah. Ancaman pada petani mulai datang pada 1994 ketika Badan Pertanahan di masa itu menerbitkan hak guna usaha (HGU) kepada PT The Bantam Preanger dan Rubber (Bantam).
Perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan karet ini menguasai HGU seluas 1.100 hektar di empat kecamatan yakni Cileles, Bojongmanik, Cimarga dan Leuwidamar.
Perusahaan mulai semena-mena dengan menggusur petani.
Hingga HGU habis pada 2002, perusahaan itu masih secara sepihak menguasai. Kemudian, pada 2016 Gunung Anten masuk lokasi prioritas reforma agraria (LPRA).
Pada Oktober 2023, Satuan Tugas LPRA Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyepakati subjek objek 195 bidang tanah seluas 127 hektar menjadi milik petani Gunung Anten, anggota P2B.
Lahan peroleh 12 sertifikat tanah komunal atau sertifikat kepemilikan bersama. Dari luasan itu, 32 bidang tanah seluas 23 hektar milik atas nama petani laki-laki, 17 bidang seluas 11 hektar atas nama petani perempuan dan 49 bidang 34 hektar atas nama petani muda berusia 35 tahun ke bawah.
Pada 7 Januari 2024, KATR/BPN menyerahkan langsung sertifikat ini kepada masyarakat.
Setelah menang melawan perusahaan, petani Gunung Anten kini harus berhadapan dengan ormas.
Abay bilang, secara diam-diam, ormas mencoba mempengaruhi petani agar lahan mereka serahkan ke perusahaan.
“Disuruh tanda tangan, bikin pernyataan bahwa hanya untuk menggarap doang, tidak untuk memiliki tanahnya. Tanah itu dikembalikan lagi ke perusahaan,” katanya.
Dalam menjalankan aksi, ormas menjanjikan warga uang dan rumah agar mau menandatangani surat pernyataan. Sampai saat ini, belum ada petani Gunung Anten yang menandatanganinya.
“Ada upaya seperti itu tapi kami tolak,” kata Abay.

Upaya itu sudah mereka lakukan di Desa Wantisari, Kecamatan Leuwidamar. Padahal, Desa Wantisari telah menjadi target LPRA oleh KATR/BPN. Dalam surat pernyataan yang Mongabay peroleh, tertulis seolah-olah terjadi kesepakatan antara warga dan perusahaan yang warga tandatangani diketahui Kepala Desa Wantisari.
Berikut empat poin dalam surat pernyataan :
- Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa saya dan keluarga telah menggarap tanah/lahan perkebunan The Bantam and Preanger di Desa Wantisari, Kecamatan Leuwidamar selama …. Tahun, seluas …..
- Saya menyatakan tidak merasa memiliki tanah/lahan The Bantam and Preanger itu, karena kami hanya tumpangsari mencari rezeki untuk keluarga saya dan diketahui oleh Kepala Desa,Desa Wantisari, Kecamatan Leuwidamar.
- Saya dan keluarga menyatakan siap menyerahkan kembali tanah/lahan yang kami garap sebagai tumpang sari kepada The Bantam and Preanger untuk dikelola kembali. Kami berharap lahan/tanah itu dikelola oleh The Bantam and Preanger dengan melibatkan kami sebagai penggarap untuk mencari rezeki sebagai mata pencarian kami sehari-hari.
- Saya dan keluarga siap menjaga, melindungi, mengamankan, seluruh ishan The Bantam and Preanger di Desa Wantisari, Kecamatan Leuwidamar dari gangguan pihak manapun.
Abay pun meminta kepada para petani anggota P2B untuk menahan diri agar tak terpancing pada hal-hal yang akan menimbulkan tindakan anarkis. Kasus ini, katanya, sedang dalam penanganan pihak berwajib.
Lagipula, sertifikat saat ini atas nama kepemilikan bersama hingga tak bisa jual beli seenaknya, harus melewati persetujuan bersama.
“Mereka (ormas) kan bayaran, pasti datang terus. Jadi, untuk menghindari itu saya minta masyarakat tenang. Sementara ini kita lewat proses hukum saja.”

Petani takut bertani
Sudah tiga bulan, Asrip, petani Desa Gunung Anten tak pergi ke ladang lantaran ormas pakai lahannya. Ormas hanya menggunakan sebagian lahan untuk bikin sekretariat, namun dia takut kembali ke ladang akan mendapat intimidasi.
“Takut aja gitu. Enggak dikejar-kejar, tapi mereka kan intimidasi langsung ke pengurus. Jadi kitanya takut juga ke ladang,” katanya.
Di lahan seluas 8.760 meter persegi itu dia sudah tanami beberapa komoditas tani.
“Banyak yang ditanam. Palawija, jahe, kunyit, rambutan, lengkuas. Sekarang tidak keurus, sudah ditebang sama mereka,” katanya.
Sebagai orang Baduy, pria 56 tahun ini sudah bertani sejak kecil. Setelah tak berladang, kini Arsip bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Bagi warga Gunung Anten, alam adalah kesejahteraan yang memberikan segalanya. Terutama hutan yang menjadi sumber kehidupan. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani.
“Sekarang lahan sudah tidak keurus karena ada ormas,” katanya.
Arsip berharap, ada keadilan hukum dari laporan yang telah dia layangkan ke polisi.
Sukaesih juga serupa. Lahan seluas 4.045 meter persegi ormas gunakan. Perempuan 53 tahun itu hanya mengelus dada ketika tanaman rusak oleh ormas yang menancapkan bendera. Hal ini pun membuat dia takut pergi ke ladang.
“Ditebang-tebang tanaman saya, saya jadi takut,” kata Sukaesih.
Meski begitu, Sukaesih tetap bertani di lahan suaminya hingga bisa tetap memenuhi kebutuhan hidup dari hasil tani.
“Lahan suami ini sama, LPRA juga. Jadi sah ada sertifikatnya.”
Omo, petani juga anggota P2B mengatakan, awalnya ormas meminta lahan untuk jadi sekretariat. Petani menolak karena itu lahan garapan.
Dia memberikan pemahaman kepada ormas kalau lahan itu sah milik petani dan bersertifikat. Ormas ini kekeuh ingin mendirikan sekretariat di lokasi itu. Tanpa ada persetujuan, tetap mendirikan sekretariat di lahan Asrip lantas Sukaesih.
“Besok saya mau mulai pasang pondasi, coba aja besok kalau ada yang mengganggu waktu pasang pondasi, pokoknya siap-siap ribut,” ucap Omo menirukan kalimat yang ormas lontarkan.
Tak ingin memperkeruh suasana dan mencegah konflik fisik, Omo memilih menghindar. Sembari menunggu tindak lanjut dari laporan mereka.
Ujang Krisna, Ketua BPPKB Banten DPC Lebak mengatakan, proses pemberian sertifikat komunal untuk petani itu tidak sesuai aturan, meskipun itu langsung oleh Kementerian ATR/BPN.
Dia bilang, para petani yang mendapatkan hak atas tanah bukanlah warga Desa Gunung Anten. Belong, panggilan Ujang lantas merasa wajar menyerobot lahan.
“Saya juga berhak di situ. Apalagi saya lahir di situ. Tumpah darah saya di situ,” katanya kepada Mongabay, Senin, (24/2/25)
Dia mengklaim lahan yang itu miliknya untuk bertani hingga berani memasang badan mendirikan sekretariat BPPKB dan LSM GMBI.
“Saya membuat kantor sekretariat di situ untuk kepentingan organisasi, yang mana kami tidak pernah mengintimidasi penggarap-penggarap di situ,” katanya.
Belong lantas membantah ketika dikaitkan dengan perusahaan dan mengintimidasi petani. Dia mengklaim, ormas tidak ada upaya meminta petani menyerahkan lahan untuk perusahaan.
Ketika Mongabay bertanya soal bukti surat pernyataan kesepakatan antara warga dan perusahaan, Belong bilang, itu merupakan program pemerintah. Dia bilang, ormas BPPKB dan LSM GMBI hanya menjalankan tugas untuk rumah gratis.
“Kalau terkait itu kita kan program. LSM GMBI itu mempunyai program mandiri yang akan diajukan. Itu pun kalau masyarakat penggarap sepakat setelah membuat pernyataan akan LSM GMBI mengajukan ke kementerian,” katanya.
Aan Rosmana, Kepala Kantor Pertanahan Lebak membantah klaim Belong. Aan menegaskan, tidak ada program rumah gratis di Lebak ataupun pengajuan program itu oleh ormas.
“Terkait klaim dari ormas itu, saya baru dengar, terkait dengan rumah gratis itu. Tapi yang jelas dalam fakta lapangannya, lokasi-lokasi itu, sementara ini memang untuk mendukung ketahanan pangan Pak Prabowo.”
AKBP Herfio Zaki, Kapolres Lebak mengatakan, telah menerima laporan para petani. Dia berkomitmen menyelesaikan perkara ini dengan profesional.
“Proses penyelidikan sedang berlangsung. Kami akan melakukan penyelidikan secara profesional,” katanya kepada Mongabay 23 Februari 2025.

Kementerian ATR/BPN janjikan perlindungan
Rudi Rubijaya, Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menuturkan, sudah sah memberikan pengakuan hak atas tanah dengan sertifikat komunal kepada petani Desa Gunung Anten.
Apabila ada oknum yang menyerobot, Rudi meminta petani lapor karena itu telah melanggar hukum.
Rudi bilang, sebagai langkah melindungi hak secara transparan para petani, mereka sudah membuat sertifikat elektronik. Untuk mengecek kepemilikan sertifikat, bisa lihat di aplikasi ‘Sentuh Tanahku’.
“Sehingga semua orang bisa mengetahui ini tanah siapa,” katanya 17 Februari lalu saat menghadiri International Land Forum di Kampung Damara, Desa Gunung Anten.
Petani, kata Rudi juga harus menjaga tanah dengan terus menggarap pertanian. Pemerintah dapat mencirikan lahan aktif dan terbengkalai.
“Harus digarap secara aktif. Kewajibannya adalah harus digarap sendiri secara aktif,” katanya.
Aan Rosmana mengatakan, tindakan ormas itu tidak memiliki dasar hukum. Para ormas tidak memiliki pengetahuan luas soal kepemilikan tanah, hingga menyerobot lahan petani.
“Bahwa di lokasi ini sudah ada kepastian hukum yang jelas, hingga kita bicara pun terkait dengan data-data di lapangan itu sesuai fakta, sesuai aturan.”
Aan pun berencana memanggil ormas ini untuk memberikan pemahaman bahwa lahan yang mereka duduki milik petani yang sah berdasarkan putusan KATR/BPN.
Pemberian hak atas tanah adalah tanggung jawab pemerintah dalam menjamin reforma agraria untuk kesejahteraan petani. Selain Gunung Anten, Desa Wantisari juga menjadi daerah daftar LPRA, proses pun masih berjalan.
“Di 2025 ini kami sedang menunggu anggaran terkait legalisasi aset dari objek yang sama dari eks HGU PT Bantam di Desa Wantisari, memang itu perintah dari pak menteri,” katanya.
Aan mengatakan, program pemberian hak tanah kepada petani ini untuk mendukung ketahanan pangan bukan industri. Dia lantas mengimbau kepada petani tak tertipu klaim manapun yang membawa-bawa nama Presiden Prabowo untuk merampas lahan pertanian.

*********