- Nelayan dan penduduk pesisir Kenjeran Surabaya protes dan gagalkan sosialisasi amdal Surabaya Waterfront Land (SWL) di Palm Park Hotel Surabaya, 11 Februari lalu.
- Proyek reklamasi di Surabaya ini meminggirkan nelayan dan berdampak pada penduduk di 12 lebih perkampungan nelayan. Mereka mendiami kawasan pesisir Surabaya secara turun-temurun.
- Warga menilai langkah pemerintah yang menjadikan proyek SWL ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) hanya menguntungkan korporasi dan merugikan masyarakat kecil. Terlebih, keputusan itu diambil tanpa pelibatan publik secara substantif.
- Ketua Komisi D bidang Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Jawa Timur menuntut pemerintah mencabut reklamasi Kenjeran SWL dari PSN.
Warga adakan pertemuan dadakan di rumah pengurus RW, Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Surabaya, Senin (10/2/25) malam. Pertemuan itu menyusul rencana sosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) reklamasi di Kenjeran Surabaya, oleh perusahaan keesokan harinya.
Selain warga, hadir dalam pertemuan malam itu, pengurus satu organisasi masyarakat (ormas) perempuan setempat. Dalam pertemuan itu, sang pengurus ormas menyampaikan undangan sosialisasi dari PT Granting Jaya, selaku pengembang proyek.
Mereka menolak rencana sosialisasi amdal proyek reklamasi bertajuk Surabaya Waterfront Land (SWL) itu. Mereka juga sepakat mendatangi Palm Park Hotel, tempat sosialisasi itu keesokan harinya (Selasa, 11/2/25) dan minta pembatalan.
Pada 11 Februari lalu sekitar pukul 07. 00 pagi, Sumali, seorang nelayan berangkat ke Kantor Kelurahan Kedung Cowek. Di sana, sudah ada ratusan orang– sebagian besar nelayan terdampak proyek– berkumpul. “Spontan, tanpa ada pengumuman kepada warga dan nelayan. Ketua LPMK, Ketua RW dari Kelurahan Kedung Cowek, Kenjeran, Larangan, Keputih, datang,” kata Sumali.
Dari kantor kelurahan, sekitar 200-an warga ini bergerak ke Palm Park Hotel, tempat sosialisasi. Disana, mereka membentangkan sejumlah spanduk. ”Save pantai kami.” “Kami butuh laut tidak butuh reklamasi.” “Lawan reklamasi” Begitu antara lain bunyi spanduk penolakan nelayan.
Usaha warga menyampaikan penolakan terhalang pintu hotel yang tertutup dan ada penjagaan petugas dari satuan keamanan Granting Jaya. Hanya undangan boleh masuk. Para nelayan memaksa masuk, hingga sempat terjadi kericuhan.
Menurut Sumali, kericuhan karena ulah petugas keamanan dan preman Granting Jaya yang memprovokasi. Bahkan, Ali Yusa, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Keputih terluka, kena pukul preman. “Preman ini mancing keributan, memukul dua orang,” katanya.
Massa terus merangsek dan masuk ke dalam ruang pertemuan. Sedangkan aparat keamanan dari Kepolisian dan TNI tak menghentikan kericuhan itu. “Saya yang berusaha menolong juga kena pukulan,” katanya. Sampai akhirnya, kedatangan massa ini menyebabkan sosialisasi amdal SWL batal.
Menurut Sumali, ini merupakan kali ke sekian Granting Jaya menggelar sosialisasi amdal dan batal karena desakan warga. Dia pun menyerukan kepada para nelayan dan warga menolak rencana pembuatan pulau buatan ini.
Sayangnya, saat warga berjuang mati-matian menolak proyek ini, Sumali justru memergoki sejumlah pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUB) nelayan menghadiri sosialisasi amdal. Mereka hadir, secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan anggota KUB lainnya.
Total ada 17-an KUB nelayan dari Kedung Cowek, Sukolilo, dan Larangan menghadiri kegiatan itu. “Mereka beralasan berjuang dari dalam. Nyatanya, mereka turut tanda tangan dan transaksional. Dapat imbalan, ada uangnya,” katanya.
Dia menuding, Granting Jaya sengaja mengkondisikan mengundang sejumlah orang yang akan menyetujui amdal ini. Tujuannya, untuk memuluskan proses perizinan proyek seluas 1.085 hektar di perairan Kenjeran Surabaya itu.

Nelayan terhimpit
Ada banyak alasan mengapa para nelayan di pesisir Kenjeran menolak proyek SWL ini. Menurut Sumali, aktivitas nelayan tadah arus sangat bergantung pada kondisi alam untuk mendapatkan ikan dan udang. Karena itu, perubahan arus akibat reklamasi akan ancam sumber penghidupan mereka.
Para nelayan biasanya beraktivitas malam hari. Pemasangan jaring sekitar satu kilometer dari bibir pantai. Sehingga dipastikan lokasi reklamasi merupakan wilayah tangkapan para nelayan. “Reklamasi bakal membunuh nelayan. Rata-rata penghasilan sekitar Rp200.000-an per hari,” kata Sumali.
Dia menilai, reklamasi hanya mementingkan kepentingan korporasi dan mengabaikan hajat hidup orang banyak, terutama nelayan di pesisir Surabaya. Reklamasi dengan membuat empat pulau buatan itu juga bukan program pemerintah, tetapi proyek korporasi yang masuk PSN. “Menurut saya itu enggak logis, proyek swasta ditetapkan sebagai PSN.”
Misbahul Munir, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Timur, menilai, proyek SWL merupakan konsesi politik mulai 2022 demi kepentingan rezim Joko Widodo (Jokowi). Sejumlah pengusaha properti membiayai kepentingan politik dengan kompensasi sejumlah proyek PSN. Tidak mengherankan bila pada Maret 2024, Presiden Jokowi umumkan 14 daftar PSN, 11 oleh swasta.
Selama ini, kata Munir, nelayan tradisional banyak tersingkir proyek-proyek di kawasan pesisir, seperti perluasan pelabuhan, lokasi latihan militer dan reklamasi. Dia pun mempertanyakan untuk siapa PSN reklamasi di Surabaya ini. Kenyataannya, proyek itu hanya akan menguntungkan pengusaha dan merampas ruang hidup penduduk pesisir dan nelayan.
Berbeda dengan lautan di daerah lain, katanya, di Surabaya lautan berbentuk selat yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Madura. Kalau ada reklamasi, nelayan akan kehilangan ruang tangkap. Bahkan, sebanyak 12 lebih perkampungan nelayan akan terusir. “Padahal, mereka turun temurun menjadi nelayan tradisional, menggunakan alat tangkap sederhana,” katanya.
Tak hanya nelayan Surabaya, para nelayan dari berbagai daerah, seperti Pasuruan, Lamongan, Gresik, dan Sidoarjo juga turut terdampak. “Laut Surabaya menghidupi rakyat dari berbagai daerah,” katanya.
Munir juga menyinggung pagar laut yang berada di Sidoarjo seluas 656,8 hektar tak jauh dengan permukiman penduduk. Laut yang kena pagar memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU) atas nama tiga perusahaan. Munir khawatir, kondisi yang sama bakal terjadi di Surabaya dan akan mempersempit ruang hidup nelayan.
Belum lagi, katanya, perluasan Bandara Juanda untuk Terminal 3. “Dibutuhkan sekitar 6.000 hektar, 2.000 hektar mereklamasi laut.”
Nelayan, kata Munir, terus terdesak dan terpaksa meninggalkan lautan. Padahal, para nelayan hanya memiliki keterampilan utama mencari ikan di lautan dan tak memiliki keterampilan lainnya.
Nelayan juga makin termarjinalkan, setelah Pemerintah Jawa Timur mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Perda membuka ruang eksploitasi kawasan laut berupa penambangan pasir, yang berisiko menghancurkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Lantaran perda memberi ruang untuk aktivasi pertambangan pasir laut yang bakal mengancam biodiversitas laut.

Konsolidasi warga
Sekitar 500-an warga pesisir Kenjeran, Surabaya berdoa bersama dan istighosah di Kelurahan Kedung Cowek pada 13 Februari lalu. Mereka duduk bersimpuh mendengarkan ceramah dan pidato dari tokoh agama yang menyerukan menolak reklamasi pantai. Selain Kedung Cowek, mereka juga berasal dari Sukolilo, dan Keputih.
“Doa bersama menjadi cara yang efektif untuk konsolidasi warga menolak reklamasi,” ujar Munir.
Para pengurus KUB yang secara diam-diam mendatangi sosialisasi amdal SWL Granting Jaya juga mendapat teguran dan ganti baru hingga nelayan tetap solid menolak reklamasi pesisir Kenjeran Surabaya.
Langkah sama, kata Munir, mereka saat penambangan pasir laut di Kedung Cowek pada 2006. Tambang pasir untuk reklamasi Terminal Peti Kemas di Teluk Lamong, Surabaya. Saat itu, sebagian warga tergoda dengan iming-iming dan janji uang, akhirnya warga menggelar istighosah di laut saat air surut. Diawali dengan sholawat burdah berkeliling kampung. Seluruh warga turut mengikuti aktivitas itu.
Sampai berita ini terbit Agung Pramono, Juru Bicara Granting Jaya, tak memberi penjelasan mengenai rencana sosialisasi amdal itu. Dia hanya membalas pendek saat Mongabay berupaya mengkonfirmasi melalui aplikasi perpesanan. “Saya masih di Eropa, sepulangnya saja nanti diatur,” kata Agung.
Abdul Halim, Ketua Komisi D bidang Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Jawa Timur seperti dikutip Suarasurabaya.net menuntut pemerintah mencabut reklamasi Kenjeran SWL dari PSN. Pernyataan ini dia sampaikan saat menerima aspirasi masyarakat dan nelayan di kawasan Kenjeran yang tergabung dalam Forum Masyarakat Maritim Madani pada 20 Februari 2025.
“Kami sepakat untuk meminta pemerintah mencabut dan membatalkan proyek yang telah masuk dalam daftar PSN tersebut,” katanya.
Kalau proyek reklamasi lanjut bakal berdampak terhadap ekosistem pesisir, termasuk hutan mangrove dan wilayah tangkapan ikan nelayan. Halim telah meminta keterangan Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur yang tidak pernah melibatkan DPRD dalam pembahasan proyek itu.
Rencana proyek reklamasi Kenjeran seluas 1.082 hektar ini terbangun dalam 20 tahun. Reklamasi berbentuk empat pulau, yakni, pulau A, B, C dan D dengan total investasi mencapai Rp70 triliun. Proyek ini memantik banyak kritik dan penolakan karena minim partisipasi publik dan kekhawatiran terdampak pada nelayan dan lingkungan sekitar.
******