Kajian Sebut Risiko Pembangkit Listrik Sampah

1 month ago 42
  • Pemerintah Indonesia berencana membangun 12 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di beberapa kota besar dan masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).  Walhi lakukan kajian. Dari penelitian Walhi itu, terlihat, PLTSa tak efektif mengurangi sampah di berbagai kota besar di Indonesia, lebih banyak dampak negatif daripada manfaatnya.
  • Nur Colis, Kepala Divisi Internal, Walhi Jawa Tengah, mengatakan, PLTSa ini banyak menyisakan masalah,  antara lain menyebabkan polusi udara, bau menyengat, abu pembakaran berterbangan. Juga mencemari aliran sungai di sekitar pembangkit, limbah tidak terkelola baik walau berbahaya bagi kesehatan warga.
  • Muhammad Aminullah, Koordinator Kampanye Walhi Jakarta, mengatakan, PLTSa ini tidak menjawab permasalahan sampah. Warga Jakarta menolak ITF dan FPSA karena takut berdampak buruk terhadap kesehatan dampak pembakaran sampah. Di FPSA layanan timur, misal, warga menolak hingga lokasi pindah.
  • Abdul Ghofar dari Walhi,  mengatakan, fasilitas PLTSa ini tidak adaptif lintas waktu dan program. Dia contohkan,  di Jakarta tak ada kepastian kontrak jangka panjang, dan tak ada komitmen politik. Model bisnis, cost incentive, punya potensi mangkrak tinggi, dan perlu biaya besar.

Pemerintah Indonesia berencana membangun 12 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di beberapa kota besar dan masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).  Walhi lakukan kajian. Dari penelitian Walhi itu, menyimpulkan, PLTSa tak efektif mengurangi sampah di berbagai kota besar di Indonesia, lebih banyak dampak negatif daripada manfaatnya.

Ada dua proyek percontohan PLTSa sudah beroperasi,  di Kota Surabaya dan Surakarta. Walhi penelitian dengan mengambil empat daerah sebagai studi kasus yaitu Bandung, Jakarta, Surakarta, dan Surabaya. Mereka menemukan beberapa kerugian pembangunan PLTSa terhadap masyarakat maupun pemerintah.

PLTSa yang sudah beroperasi yaitu di Surakarta dan Surabaya. PLTSa Putri Cempo di Surakarta menghasilkan listrik 1,6 mw, 1 mw jual ke PLN,  sisanya untuk pakai sendiri. PLTSa ini bisa mengolah sampah 30-40 ton per hari. Sedangkan produksi sampah di TPA Putri Cempo bisa sampai 400 ton dalam setahun.

Pembangkit ini mempekerjakan sekitar 110 orang dengan tiga kali pembagian jam kerja setiap hari.

Sayangnya, kata Nur Colis, Kepala Divisi Internal, Walhi Jawa Tengah, PLTSa ini banyak menyisakan masalah,  antara lain menyebabkan polusi udara, bau menyengat, abu pembakaran berterbangan. PLTSa berpotensi melepaskan dioksin dan furan bersifat karsinogenik dan menghasilkan limbah padat berupa fly ash and  bottom up.

Ia juga mencemari aliran sungai di sekitar pembangkit, limbah tidak terkelola baik walau berbahaya bagi kesehatan warga.

“Mereka dengan PD-nya … dengan tidak takut, mempertontonkan pembuangan limbah secara sembarangan … tidak dikelola dengan baik.”

Colis bilang, warga tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari PLTSa ini. Mereka hanya mendapatkan limbah. Dari situ,  mereka bikin slogan perlawanan, “energi dari sampah, masyarakat makan limbah” ke PLN.

Sisi lain, pemulung, tidak lagi bisa mengambil manfaat dari TPA hingga kehilangan sumber penghasilan.

Masalah TPA Putri Cempo di Surakarta ini adalah kelebihan kapasitas sampah (overload) sejak tahun 2007, 20 tahun setelah berdiri pada 1987.

Pembangunan PLTSa Putri Cempo mendapatkan kreditur dari China Construction Bank Indonesia (CCBI) sebesar $23 juta pada 2019. Proyek ini sempat terhenti pada 2020 karena pandemi COVID-19.

“Di mana US$16 juta untuk konstruksi. Tahun 2019 peletakan batu pertama.”

Untuk jenis sampah, di Surakarta per 2023 juga idominasi sampah organik 38,18%, plastik 22,73%.

Dengan bangun PLTSa, katanya, tidak menyelesaikan masalah sampah secara mendasar. Bahkan dalam proses operasi PLTSa yang mulai sejak Februari 2024, sampah juga kirim dari daerah lain sebagai bahan baku pembangkit listrik ini.

Alat berat mengangkut sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat. Setiap harinya ada 1.200 truk mengangkut sekitar 7.000-7.500 ton sampah dari Jakarta.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Tak jawab masalah

Muhammad Aminullah, Koordinator Kampanye Walhi Jakarta, mengatakan, PLTSa ini tidak menjawab permasalahan sampah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama 2022 sampah organik jauh lebih banyak daripada sampah plastik.  Sampah plastik 14,02%, sisa makanan 53,75%.

“Sampah-sampah dominan ini bukan merupakan sampah yang menjadi sasaran PLTSa,”  katanya.

Di Jakarta,  setidaknya berencana membangun empat fasilitas pengelolaan sampah antara (FPSA) dan satu intermediate treatment facility (ITF), FPSA layanan timur, FPSA layanan barat, FPSA layanan selatan, FPSA mikro tebet, dan ITF Sunter.

ITF Sunter akan menghabiskan modal awal Rp4 triliun.

FPSA mikro Tebet untuk pembakaran sampah skala kecil, sedangkan FPSA lain skala besar, sekitar 2.000 ton sampah per hari.

Warga menolak ITF dan FPSA karena takut berdampak buruk terhadap kesehatan dampak pembakaran sampah. Di FPSA layanan timur, misal, warga menolak hingga lokasi pindah.

“Narasi masyarakat sama, mereka tak mau ada fasilitas pembakaran,” kata Aminullah dalam peluncuran kajian Walhi,  belum lama ini.

Menurut Amin, itu salah satu konsekuensi dari pengelolaan sampah yang tidak berfokus pada pengurangan sampah di bagian hulu, sampah plastik terus diproduksi. Baginya, PLTSa tidak mengakomodir masalah sampah di bagian hulu itu.

Bila itu tidak diatasi dengan baik, katanya, sampah akan terus menggunung, dan butuh tempat untuk menampungnya, yang akhirnya tidak tertampung. Hingga, harus membuat tempat pembuangan baru, sebagaimana wacana pemerintah Jakarta akan membuat pulau sampah di Kepulauan Seribu.

“Kita akan sampai kapan gitu mencari lahan-lahan baru untuk pengelolaan sampah-sampah di Jakarta.”

Tabung pembakaran sampah PLTSa Benowo. Foto: Dok. Anik MMukholatin Hasanah/RRI

Setop  PLTSa

Walhi menyerukan setop proyek PLTSa ini. Dari kajian Walhi di dua pembangkit yang sudah beroperasi tidak memberikan manfaat signifikan dalam menanggulangi permasalahan sampah.

Juga ada konsekuensi risiko kesehatan publik, lapangan pekerjaan pemulung hilang, dan material sampah yang bisa daur ulang berkurang hingga perlu pertimbangkan lagi bangun PLTSa ini.

Abdul Ghofar dari Walhi,  mengatakan, fasilitas PLTSa ini tidak adaptif lintas waktu dan program. Dia contohkan,  di Jakarta tak ada kepastian kontrak jangka panjang, dan tak ada komitmen politik. Model bisnis, cost incentive, punya potensi mangkrak tinggi, dan perlu biaya besar.

Kompleksitas tata kelola sampah yang tinggi juga jadi catatan penting Walhi. Teknologi impor, tak ada teknis, dan tak ada laboratorium memadai untuk menguji parameter zat buangan, seperti kandungan senyawa deoxin dan furan dalam udara akibat pembakaran.

Ghofar mengatakan,  setidaknya ada enam konsekuensi pembangunan proyek PLTSa ini. Pertama, APBD pengelolaan sampah bisa membengkak tiga kali lipat, dari biasa 0,5-1%.

Kedua, potensi korupsi dalam proyek ini. KPK tengah mengkaji potensi korupsi proyek PLTSa, terutama di daerah yang sudah berjalan seperti Surabaya dan Surakarta maupun kota-kota lain yang proses market sounding maupun tender.

Ketiga, perlu komitmen politik kuat karena kontrak jangka panjang, 20-30 tahun.

“PLTSa adalah proyek infrastruktur dengan target masa operasi 20-30 tahun. Untuk mencapai titik impas, sumber pendapatan utama bukanlah energi, melainkan tipping fee dari pemerintah,” tulis penelitian itu.

Keempat, infleksibelitas terhadap tata kelola dan perencanaan pengelolaan sampah. “Karena sudah PLTSa, skema-skema yang zero city, ekonomi sirkuler, pengelolaan sampah organik jadi enggak masuk prioritas. Anggaran itu akan terserap untuk PLTSA selama 20-30 tahun.”

Kelima, ada ketidaksesuaian antara PLTSa dengan rencana pengelolaan sampah lain. Perspektif PLTSa adalah power plan, bukan pengelolaan sampah hingga orientasi pengurangan sampah jadi ‘tidak masuk akal’, karena terus memerlukan sampah sebagai bahan bakar.

Keenam, terjadi diskoneksi antara komposisi sampah-sampah dominan di Indonesia dengan PLTSa. Sampah dominan di Indonesia,  adalah organik dan kertas karton. Kedua sampai ini bukan feedstock tepat untuk PLTSa.

“Jadi enggak tepat antara bacaan situasi masalah sampah dengan solusi yang ditawarkan,” kata Ghofar.

Dia bilang,  perlu revisi UU  Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah,  jadi lebih baik, berorientasi pada pengurangan produksi sampah.

“Di konteks terkini kita butuh sesuatu yang lebih advance, orientasi kepada pengurangan, dukungan terhadap solusi-solusi seperti pengurangan sampah, pelarangan plastik sekali pakai, ekosistem guna ulang dan lain-lain.”

Walhi mendorong pendekatan-pendekatan lebih fleksibel dalam mengatasi masalah sampah, pendekatan ramah lingkungan dan tidak membutuhkan dana besar. Masukan Walhi, membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong upaya pengurangan sampah, semisal pelarangan sampah plastik sekali pakai dan pelarangan sampah organik masuk TPA.

“Data Diet Plastik Indonesia mencatat lebih 100 kabupaten kota dan provinsi punya kebijakan pelarangan plastik sekali pakai. Itu 18% dari komposisi sampah nasional. Harusnya bisa dimaksimalkan.”

Selain itu, bisa pendekatan budaya,  seperti program zero cities dorongan anggota AZWI di berbagai kota mulai Jawa Barat, Jawa Timur, sampai Bali. Juga, gerakan budaya guna ulang, seperti di Jakarta yang menerapkan alternative delivery system.

Kemudian, perlu membangun infrastruktur yang mampu mendorong pendekatan fleksibel, ramah biaya, dan selaras dengan alam.

“Misal, mendorong pangan berkelanjutan, mengurangi food waste and food loss yang nilai kerugian triliunan rupiah.”

Aktivitas pembuangan sampah di TPA Bantargebang yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta di Bekasi, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

******

Pemprov Bali Batalkan Proyek Pengolah Sampah jadi Energi Listrik, Kenapa?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|