- Pembangunan jembatan satwa arboreal yang menghubungkan antar habitat yang terpisah oleh pembangunan jalan menjadi penting bagi regenerasi populasi satwa, termasuk jenis satwa endemik dan terancam punah seperti orangutan.
- Yayasan Tangguh Hutan Khatulistiwa (TaHuKah), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Medan, Sumatera Utara, telah membangun koridor artifisial berupa jembatan kanopi untuk menghubungkan wilayah hutan yang terpisah di Kabupaten Pakpak Bharat.
- Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi isolasi satwa liar dengan menyediakan jalur yang memungkinkan mereka bergerak bebas antara habitat hutan yang terfragmentasi.
- Selain membangun jembatan koridor satwa, yayasan ini juga bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti pemerintah dan masyarakat agar program ini bisa berkelanjutan.
Pembangunan infrastruktur fisik yang pesat, seperti jalan lintas, sering kali memicu fragmentasi (pemisahan) hutan. Blok hutan menjadi ‘pulau-pulau terpisah’ yang membuat keterbatasan pergerakan satwa, secara khusus jenis-jenis primata endemik, seperti orangutan, owa, lutung, hingga monyet ekor panjang.
Dampak isolasi populasi satwa ini ke depannya bakal meningkatkan risiko perkawinan sedarah, yang dapat melemahkan kualitas genetik dan pada akhirnya akan memperburuk ancaman kepunahan.
Hal ini yang coba dicari jalan keluarnya oleh sekelompok peneliti dan aktivis pelestari satwa yang tergabung di dalam Yayasan Tangguh Hutan Khatulistiwa (TaHuKah), sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Medan, Sumatera Utara.
Mereka muncul dengan ide untuk membangun jembatan penghubung satwa-satwa arboreal yang menjadi penghuni blok-blok hutan yang tersisa.
Selain itu, organisasi ini juga terlibat dalam peningkatan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, program kemitraan, dan peningkatan ekonomi di wilayah-wilayah di sekitar hutan dengan tetap memperhatikan kesadaran ekologi dan keanekaragaman hayati.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang hal ini, pada program Bincang Alam yang ditayangkan pada 3 Januari 2025 lalu bertajuk: ”Jembatan Kanopi: Bisakah Jadi Salah Satu Solusi Konektivitas Habitat Satwa Liar?” Mongabay Indonesia mewawancarai Lina Silaban, Landscape Manager di Lanskap Ekologi Pakpak dan Sugesti M. Arief, Biodiversity Specialist, sebagai perwakilan dari tim TaHuKah.
Berikut adalah rangkuman diskusi, yang tata bahasanya telah disesuaikan guna penulisan artikel ini.
Video Program Bincang Alam bersama TaHuKah
***
Mongabay: Apa yang latar pembangunan koridor satwa ini?
Sugesti M. Arief: TaHuKah konsentrasinya di orangutan, oleh karena itu intervensi kita lakukan di habitat orangutan. Saat ini kami bekerja di dua lanskap ekologi utama di Sumatera Utara yaitu West Toba (Kabupaten Pakpak Bharat) dan Batang Toru.
Kami melihat bahwa di dua lanskap ini tantangan terbesarnya adalah tantangan ekologi. Jadi ada perubahan dinamika populasi karena faktor tekanan antropogenik, yaitu kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas manusia kepada satwa liar.
Kondisi tekanan fragmentasi di dua kawasan ini pun hampir sama, bedanya yang di blok timur, adalah habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang populasinya berada dalam kondisi yang sangat rentan dan terbatas. Sedang di lanskap Pakpak Bharat adalah orangutan sumatera (Pongo abelii).
Kebetulan Pakpak Bharat itu menjadi kantong-kantong habitat orangutan, yang sebagian masih ada yang belum teridentifikasi dalam distribusi orangutan sumatera. Jadi intervensi yang kita lakukan adalah untuk mendorong bahwa kantong-kantong yang diluar distribusi ini juga mendapat perhatian serius.
Mongabay: Apa yang menjadi alasan hingga ada pembangunan jembatan satwa ini? Apa yang dilakukan kepada para pihak terkait?
Lina Silaban: Program membangun jembatan artifisial satwa ini adalah untuk menyambungkan dua habitat yang terpisah karena adanya pembangunan jalan lintas yang menghubungkan antara Desa Lagan dengan Desa Sigabindar di Kabupaten Pakpak Bharat.
Desa Sigabindar ini juga adalah desa yang kita bisa bilang desa ‘terisolasi’, tujuan pembangunan jalan ini adalah desa ini memiliki akses yang lebih baik.
Nah, jalan ini ternyata membelah Hutan Lindung Sikulaping, yang karena ada jalan maka hutan di kiri dan kanannya itu terpisah dan tidak ada lagi konektivitas dari kanopi pohon yang menghubungkan dua habitat ini.
Sementara, hutan lindungi ini merupakan habitat untuk satwa-satwa yang dilindungi, termasuk juga orangutan dan juga primata-primata lainnya.
Sugesti M. Arief: Jalan Lagan-Sibagindar ini panjangnya lebih kurang 20-an kilometer dan memotong kawasan hutan. Sebagian kawasan kawasan hutan produksi dan ada kawasan hutan lindung dan sebagian itu Area Penggunaan Lain (APL) di Desa Sibagindar.
Tantangan ekologinya adanya dinamika perubahan perubahan tutupan lahan, penurunan lanskap, adanya fragmentasi-fragmentasi habitat yang memutus pergerakan satwa. Kondisi ini dalam jangka panjang amat rentan kepada populasi satwa liar. Isolasi habitat ini juga akan mengakibatkan perkawinan sedarah atau inbreeding.
Lebih jauh, kawasan hutan ini, ini juga menjadi habitat satwa liar terutama satwa yang dilindungi, seperti harimau sumatera, rangkong gading yang semuanya dalam kondisi critically endangered.
Lina Silaban: Dalam proses membangun koridor artifisial ini, kami membangun komunikasi kepada pemerintah sebagai pihak yang berwenang, baik itu di tingkat kabupaten, tingkat provinsi, maupun nasional.
Dalam pembangunan itu juga kita tentu berdiri atas regulasi. Salah satunya Perpres Nomor 1 Tahun 2023 yang mengutamakan pengaruh utama keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan.
Saat memberi penjelasan kepada pemerintah, kami jelaskan mengapa jembatan artifisial itu penting dan harus dibangun. Mereka cukup antusias untuk mendukung rencana ini.
Mongabay: Apa tahap perencanaan yang dilakukan dalam membangun jembatan satwa ini?
Sugesti M. Arief: Ada sekitar tujuh tahapan yang kami lakukan, dari mulai identifikasi lokasi, survei keanekaragaman hayati, analisa data, perancangan canopy bridge atau koridor artifisial, desain koridornya, dan rancangan monitoring pasca pembangunan. Hal terpenting adalah sosialisasi tentang koridor kepada masyarakat lokal juga kepada pemangku wilayah.
Dalam survey Keanekaragaman hayati ini juga ada survei dan analisa vegetasi yang berhubungan dengan fenologi [ketersedian pakan satwa]. Fenologi ini untuk melihat perubahan musim, seperti musim buah, musim bunga, dan musim daun muda.
Ini dilakukan karena pola pergerakan satwa itu biasanya mengikuti pola musim yang terjadi. Itu salah satu kenapa kita harus lakukan survei dan analisis vegetasi.
Untuk survei fauna difokuskan pada survei spesies target, yaitu orangutan. Kami cluster bagian-bagian jarak terdekat dan terjauh dari ring jalan, kira-kira 100 meter kiri-kanan dengan melakukan survei sarang orangutan.
Sedangkan untuk primata lain juga sama. Itu yang menjadi dasar untuk penentuan areal potensi untuk potensial koridor.
Mongabay: Berapa banyak jembatan artifisial yang direncakan dibangun TaHuKah?
Sugesti M. Arief: Di Pakpak Bharat kami sudah membangun lima koridor artifisial satwa arboreal. Sedangkan di Batang Toru kami baru mulai membangun dua koridor artifisial.
Jadi dengan rencana tujuh koridor yang dibangun, ada dua desain yang kami bangun yaitu double line dengan satu single line di atas dan satu single line di bawah yang jarak vertikalnya itu sekitar 80 cm.
Kenapa 80 cm? Karena jarak 80 cm vertikal itu kita anggap jarak yang ideal untuk satwa bergerak dengan kaki dan tangan. Kami juga rancang untuk bobot target satwa.
Semisal orangutan, bobotnya bisa lebih dari 50 kg atau sama dengan manusia, jadi kita coba untuk menguji coba bobot ini dengan dua orang pemanjat untuk melintasi koridor, jadi memang semuanya ini kita uji coba untuk melihat kelayakan ketahanan koridor.
Dalam membangun jembatan ini, kami bekerjasama dengan Vertical Rescue Indonesia yang terbiasa berkegiatan di ketinggian dan teknik-teknik simpul.
Mongabay: Bagaimana bentuk pemantauannya sendiri?
Sugesti M. Arief: Pasca pembangunan koridor kami lakukan manajemen koridor. Jadi ada monitoring berkala yang kami lakukan untuk melihat frekuensi penggunaan koridor bagi satwa arboreal untuk melihat efektivitas koridor yang telah dibangun.
Semua koridor yang kita bangun itu kita pasangi camera trap untuk memonitor pergerakan satwa yang melintas di koridor.
Lina Silaban: Untuk pemantauan staf TaHuKah reguler sekali seminggu akan lewat di area itu. Kami juga memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat. Ini penting agar masyarakat bisa terlibat untuk menjaga keberadaan koridor.
Kami memberi pemahaman bahwa jalan itu tidak mengganggu mereka, itu akan memberikan juga secara tidak langsung tugas kepada masyarakat untuk menjaga. Karena memang kami tidak selalu berada di sana.
Mongabay: Siapa saja yang mendukung program ini dan bagaimana bentuk kolaborasinya?
Sugesti M. Arief: Kami memandang kolaborasi ini penting untuk memayungi dari sisi hukum, karena kawasan ini termasuk kawasan hutan lindung dan kawasan non-hutan, di luar kawasan hutan negara.
Kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten dan provinsi. Kami tahu bahwa pemerintah daerah itu punya regulasi dan pengawasan, karena wilayah ini kewenangannya ada di wilayah daerah.
Dengan pihak swasta, kami ada kerjasama untuk bentuk rancang teknis koridor yang kita bangun yang tetap kita evaluasi. Lalu ada NGO [dan donor] karena koridor ini harapannya dapat dioperasikan dalam durasi waktu yang tidak terbatas. Ini kan butuh biaya operasional, jadi dukungan NGO itu sangat diharapkan.
Lalu ada peran akademisinya dalam bentuk kajian, karena koridor seperti ini kan belum banyak di Indonesia. Khusus di Sumatera Utara inisiasi koridor itu juga sudah ada, khususnya di lanskap Batang Toru. Untuk Pakpak Bharat memang baru TaHuKah yang membangun koridor ini.
Mongabay: Ada harapan dan rencana lain ke depan?
Sugesti M. Arief: Di dunia konservasi dunia, membangun koridor ini bukan hal baru. Seperti di beberapa negara lain seperti Madagaskar, Brazil, Kostarika, dan India.
India itu negara yang paling intens membangun koridor satwa, karena mereka punya wilayah yang cukup luas. Jalur transportasi kereta api mereka sangat panjang dan banyak memotong kawasan hutan yang menjadi habitat satwa, terutama satwa arboreal.
Mereka sudah jauh lebih baik, kita sedang berproses ke arah sana. Koridor yang telah dibangun jadi pembelajaran buat kami untuk terus intervensi dan evaluasi, mana yang ideal dan tidak ideal.
Dalam membangun jembatan itu sendiri, kami tidak terkonsentrasi di satu titik koridor, karena riskan, bisa jadi target perburuan satwa. Makanya kami ingin sebanyak koridor yang bisa kami bangun, membuat konsentrasinya menyebar, tidak di satu titik.
Kami punya mimpi besar ke depan untuk membangun koridor terestrial bukan hanya untuk satwa arboreal yang ada di sana tapi ada satwa terestrial. Seperti jenis mamalia atau jenis satwa yang bermain di lantai.
***
Foto utama: Induk orangutan sedang menggendong anaknya di hutan Bukit Lawang, Sumatera Utara. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia