- Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat urgen untuk memastikan keberlangsungan pengetahuan lokal mereka. Terlebih, beberapa kajian dan pendekatan menunjukkan kekayaan masyarakat adat ini berguna untuk ekosistem.
- Kasmita Widodo, Kepala BRWA, menyebut, registrasi wilayah adat tidak hanya mendokumentasikan data spasial, tapi juga sosial. Meliputi sejarah asal-usul komunitas adat, keanekaragaman hayati, serta pola tata ruang dan tata guna lahan yang diterapkan.
- Suraya Afiff, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), mengkritik logika pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Salah satunya, proyek food estate yang justru menimbulkan konflik terhadap masyarakat adat.
- Yasman, pengajar Biologi Kelautan Universitas Indonesia, menyebut dunia sudah mengakui entitas masyarakat adat. Karena itu, langkah serupa harus dilakukan di dalam negeri.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat urgen untuk memastikan keberlangsungan pengetahuan lokal mereka. Terlebih, beberapa kajian dan pendekatan menunjukkan kekayaan masyarakat adat ini berguna untuk ekosistem.
Biokultural, salah satu pendekatan. Konsep interdisipliner ini bahkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pakai dalam proses registrasi wilayah adat.
Konsep ini menggabungkan ekologi, biologi, geografi, ekonomi, sosial hingga politik untuk mengkaji cara masyarakat adat memanfaatkan dan menjaga alam berdasarkan kearifan lokal. Melalui ritual, pengelolaan sumber daya, serta pemanfaatan flora dan fauna untuk pangan, obat, hingga budaya.
“Dalam registrasi wilayah adat, kami tidak hanya mendokumentasikan data spasial, tetapi juga sosial,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA, dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.
Aspek sosial itu meliputi sejarah asal-usul komunitas adat, keanekaragaman hayati, serta pola tata ruang dan tata guna lahan. Metode ini BRWA aplikasikan ke semua proses pemetaan wilayah ulayat, baik di darat maupun pesisir laut.
Dodo, panggilan akrabnya, menyebut, setiap wilayah adat memiliki istilah berbeda terkait pemukiman, kebun, dan hutan. Wilayah itu kaya keanekaragaman hayati, yang berkaitan erat dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat adat.
“Misal, dalam pengelolaan sungai atau praktik bercocok tanam, masyarakat adat memiliki cara pengaturan yang berhubungan dengan keragaman hayati. Mereka memanfaatkan sumber alam tersebut secukupnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan, bahan bangunan, hingga rempah-rempah,” katanya.
Kondisi ini, juga memengaruhi cara masyarakat adat menata ruang hidup, dan sistem pengelolaan kekayaan alam serta hak atas tanah. Mereka menetapkan hak bersama, individu, atau keluarga, serta aturan pemanfaatan sumber daya agar lingkungan terjaga.
Dia contohkan, keberhasilan Masyarakat Adat Dayak Iban Menua di Sungai Utik, Kalimantan Barat, menjaga hutan adat.
“Di era 1980-an, banyak hutan di Kalimantan rusak akibat masuknya perusahaan hak pengusahaan hutan. Namun, karena tidak mau hutan adatnya hancur, masyarakat di Sungai Utik melawan. Perusahaan yang ingin beroperasi kemudian mengurungkan niatnya,” katanya.
Hasilnya, tutupan lahan di wilayah adat Sungai Utik terjaga tanpa perubahan signifikan. Ini lah gambaran kearifan lokal yang mampu menjaga kelestarian lingkungan.
Maka, lanjutnya, menghubungkan semua informasi dari segala aspek dengan baik dalam verifikasi data di setiap komunitas dan wilayah jadi krusial.
“Pertanyaan utama dalam merekomendasikan pengakuan suatu komunitas adalah bagaimana hubungan mereka dengan wilayahnya? Untuk itu, kami memperkuat data sebagai dasar dalam proses pemajuan, rekognisi, advokasi, dan perlindungan hak masyarakat adat. Data ini juga menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan pemangku kebijakan dalam proses rekognisi.”
Sayangnya, perlindungan dan pengakuan masyarakat masih minim dan lambat. Data BRWA, 1.499 wilayah adat telah diregistrasi sejak 1990-2024, luasnya mencapai 30,1 juta hektar, tersebar di 32 provinsi dan 166 kabupaten/kota di Indonesia.
Namun, hanya sebagian kecil yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Sekitar 4,85 juta hektar dari 284 wilayah adat yang mendapat pengakuan, itu pun melalui produk hukum daerah.
Sisi lain, realisasi pengakuan hutan adat juga masih begitu jauh dari harapan. Mengacu catatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Indonesia memiliki potensi hutan adat 23,2 juta hektar, tetapi baru 265.250 hektar penetapan hutan adat.

Manusia dan alam
Suraya Afiff, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), mengkritik logika pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Salah satunya, proyek pengembangan pangan skala besar ( food estate) justru menimbulkan konflik terhadap masyarakat adat.
Selain itu, pemerintah pun mudah memberikan izin pada korporasi tambang, dan kebun sawit. Kondisi ini, mengancam masyarakat adat dan sistem lokal mereka.
Untuk menggambarkan era ini, Suraya menggunakan istilah capitalocene. Istilah ini lebih relevan dalam mengilustrasikan sistem kapitalisme yang berperan merusak lingkungan.
“Kapitalisme sangat merusak karena hanya menghargai alam berdasarkan nilai ekonomis. Jika tidak ada keuntungan, alam dianggap tidak penting,” katanya.
Padahal, kapitalisme yang mendorong transformasi lahan menjadi monokultur sawit atau tambang secara masif. Praktik sawitisasi dan tambangisasi ini berdampak pada penurunan keragaman hayati, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat.
Penelitian John McCarthy, koleganya dari Australian National University, menunjukkan keragaman padi lokal memiliki peran penting menghadapi perubahan iklim dan meningkatkan gizi masyarakat.
Namun, alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit menghilangkan keragaman itu. Ujungnya, angka stunting dan kerentanan pangan meningkat.
“Dari pengalaman kawan saya di Sumatera Utara, desa dengan mayoritas lahan sawit memiliki angka stunting yang jauh lebih tinggi dibanding desa yang mempertahankan variasi lahan,” katanya.
Karena itu, Suraya mengajak semua pihak, terutama pemerintah, untuk melihat persoalan ini melalui kacamata biokultural dalam konteks ekologi-politik. Relasi manusia dan alam, katanya, harus jadi dasar menciptakan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
“Keberlanjutan tidak akan tercapai jika manusia terus memisahkan dirinya dari alam.”
Jadi, penting mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan pengetahuan tradisional ke dalam kebijakan pembangunan. Relasi manusia dan alam yang lebih seimbang bakal terwujud kalau melawan logika kapitalistik yang mengabaikan nilai-nilai itu.
“Transformasi menuju keberlanjutan membutuhkan komitmen untuk melibatkan masyarakat adat sebagai penjaga alam, dan kebijakan yang tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan ekonomi,” katanya.

Keunggulan masyarakat adat
Yasman, pengajar Biologi Kelautan Universitas Indonesia, menyebut, dunia sudah mengakui entitas masyarakat adat. Karena itu, langkah serupa harus ada di dalam negeri. Satu bukti, peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia setiap 9 Agustus.
Masyarakat adat, katanya, memberikan kekayaan budaya luar biasa dengan sekitar 5.000 komunitas berbeda. Padahal, mereka hanya mencakup 6% populasi dunia.
“Dari total tersebut, 70% tinggal di Asia, dan sebagian besar, berada di Indonesia. Maka bersyukurlah kita.”
Selain kaya budaya, masyarakat adat juga berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kedaulatan pangan, hingga kesehatan.
Dia contohkan, pengetahuan lokal di Papua terkait penggunaan tanaman gandarusa.
“Pengetahuan ini awalnya dikenal dalam tradisi lokal sebagai solusi atas mahar yang kurang. Jika seorang pemuda di Papua tidak mampu membayar mahar untuk menikah, dia diizinkan kawin dengan syarat rutin mengonsumsi daun gandarusa.”
Rupanya, penelitian farmasi menunjukkan daun gandarusa memiliki kemampuan unik menekan produksi sperma pada laki-laki, hingga bisa jadi serana kontrasepsi. Dalam konsentrasi berbeda, tanaman ini justru mampu meningkatkan kesuburan pria.
“Inovasi ini dikembangkan oleh almarhum Prof Bambang Prajogo Eko Wardoyo dari UGM, menghasilkan dua obat: satu untuk kontrasepsi pria dan satu lagi untuk meningkatkan fertilitas. Penemuan ini berakar dari pengetahuan lokal yang kemudian dibuktikan melalui penelitian ilmiah.”
Tak hanya itu, masyarakat adat juga unggul menghadapi tantangan global, termasuk perubahan iklim. Mereka kelompok paling tangguh, karena belajar hidup selaras dengan alam sejak lama.
“Ketika kita terkaget-kaget menghadapi bencana seperti banjir, masyarakat adat sudah memiliki pengetahuan untuk mengatasinya. Mereka belajar dari alam dan beradaptasi secara berkelanjutan.”
Karena itu, kata Yasman, kolaborasi masyarakat adat, ilmuwan, dan aktivis, penting untuk mewujudkan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat.
Pengetahuan lokal masyarakat adat, katanya, harus terdokumentasi dan lestari agar tidak hilang akibat pengaruh modernisasi dan urbanisasi.
“Ilmuwan harus hadir untuk merekam dan membukukan pengetahuan masyarakat adat. Dengan begitu, warisan mereka dapat diteruskan ke generasi mendatang sekaligus memberikan manfaat bagi dunia.”
Setelah ada pengakuan, katanya, harus ada pengakuan pengetahuan masyarakat adatdan terakomodir dengan pembagian manfaat yang adil.
“Pengetahuan mereka harus kembali kepada pemiliknya melalui skema benefit sharing, sesuai dengan aturan internasional seperti Protokol Nagoya dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.”
Indonesia, katanya, bisa belajar dari Kosta Rika. Perusahaan farmasi global, bekerja sama dengan NGO lokal mengembangkan obat berdasarkan pengetahuan lokal.
“Mereka mengumpulkan pengetahuan tradisional dari masyarakat adat di Kosta Rika dan memberikan imbal balik berupa akses ke fasilitas kesehatan, pendanaan konservasi taman nasional, dan fasilitas umum lainnya.”
Yusman bilang, model kerjasama ini sangat mungkin di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat adat bisa mendapat manfaat nyata eksplorasi pengetahuan mereka, juga membantu mereka keluar dari keterbelakangan, kelaparan, dan marginalisasi.
“Masyarakat adat punya hak-hak atas tanah, sumber daya, pengetahuan yang harus kita akui dan perlakukan dengan adil. Prinsip-prinsip ini penting untuk memastikan masyarakat adat tetap menjadi bagian penting dari solusi global.”

Riyad Dafhi Rizki /Mongabay Indonesia
*****
Cabut 18 Izin Hutan: Perbaikan atau Beralih ke Perusahaan Baru?