Dunia Pernah Punya Burung Setinggi Jerapah Muda, Punah Belum Lama

3 weeks ago 27
  • Burung Moa, raksasa yang pernah menghuni Selandia Baru, dapat mencapai tinggi hampir 3,6 meter dan punah sekitar 600 tahun yang lalu, menjadikannya salah satu spesies yang hilang dalam waktu yang relatif dekat.
  • Terdapat dua spesies utama Moa, yaitu Dinornis novaezealandiae dan Dinornis robustus, yang berperan penting dalam ekosistem sebagai herbivora besar, tetapi mengalami kepunahan akibat perburuan berlebihan oleh manusia dan perubahan habitat.
  • Penelitian terus dilakukan untuk memahami lebih dalam tentang biologi, ekologi, dan penyebab kepunahan Moa, yang menjadi pengingat akan dampak manusia terhadap keanekaragaman hayati.

Dalam sejarah panjang kehidupan di Bumi, banyak spesies hewan yang muncul dan punah. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah burung raksasa yang dikenal sebagai Moa. Burung ini pernah menghuni Selandia Baru dan memiliki tinggi hampir setinggi jerapah muda, mencapai ketinggian sekitar 3,6 meter. Menariknya, Moa punah belum lama, sekitar 600 tahun yang lalu. Artikel ini akan membahas tentang burung Moa, termasuk klasifikasi, karakteristik fisik, habitat, diet, gaya hidup, dan misteri di balik kepunahannya.

Burung Moa termasuk dalam ordo Dinornithiformes dan keluarga Dinornithidae. Terdapat dua spesies yang diakui, yaitu Dinornis novaezealandiae (Moa raksasa Pulau Utara) dan Dinornis robustus (Moa raksasa Pulau Selatan). Penelitian lebih lanjut menunjukkan kemungkinan adanya dua spesies tambahan berdasarkan analisis DNA. Fosil Moa tertua diperkirakan berasal dari Zaman Miocene Akhir, sekitar 11,6 juta hingga 5,3 juta tahun yang lalu.

Baca juga: Habitat Purba Burung Raksasa Moa Jadi Suaka Bagi Spesies Terancam Punah di Selandia Baru

Moa diklasifikasikan sebagai ratites, kelompok burung tidak bisa terbang yang juga mencakup burung unta, emu, dan kiwi. Namun, studi genetik mengungkapkan bahwa kerabat terdekat mereka adalah tinamou dari Amerika Selatan yang bisa terbang. Koneksi ini menunjukkan bahwa nenek moyang Moa kemungkinan mampu terbang dan terbang ke Selandia Baru, di mana mereka kemudian berevolusi menjadi raksasa yang tidak bisa terbang.

Evolusi Moa di Selandia Baru adalah contoh menarik dari fenomena gigantisme pulau. Dalam ketidakadaan predator mamalia, burung-burung ini berkembang dan beragam, mengisi berbagai ceruk ekologi. Isolasi dan kurangnya tekanan predator memungkinkan mereka tumbuh hingga ukuran yang sangat besar dan kehilangan kemampuan untuk terbang.

Karakteristik Fisik

Moa raksasa benar-benar merupakan raksasa di dunia burung. Moa raksasa Pulau Selatan (Dinornis robustus), yang lebih besar dari kedua spesies, dapat mencapai tinggi 2 meter di punggung dan hingga 3,6 meter dengan lehernya yang terulur. Beratnya mencapai sekitar 230 kg. Sementara itu, Moa raksasa Pulau Utara (Dinornis novaezealandiae) sedikit lebih kecil, dengan betina mencapai tinggi hingga 2 meter. Kedua spesies menunjukkan dimorfisme seksual yang signifikan, di mana betina jauh lebih besar daripada jantan. Menariknya, Moa raksasa Pulau Selatan mungkin merupakan burung tertinggi yang pernah ada, meskipun burung gajah yang punah dari Madagaskar lebih berat.

Kaki Moa yang sudah diawetkan di Natural History Museum. Sumber: cdn.activeadventures.com

Burung ini memiliki kepala yang relatif kecil dibandingkan dengan tubuhnya yang besar, karakteristik umum pada ratites. Tengkorak mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki penglihatan yang buruk tetapi indera penciuman yang tajam berkat sistem penciuman yang sangat berkembang. Leher mereka yang panjang, dengan tiga vertebra tambahan dibandingkan dengan spesies Moa lainnya, memungkinkan mereka untuk mencapai tinggi dalam mencari makanan. Meskipun leher mereka panjang, mereka biasanya membawa kepala mereka ke depan seperti kiwi, menggunakan leher mereka untuk mengambil daun dari semak-semak yang lebih tinggi. Tubuh mereka ditutupi dengan bulu berbulu kasar, yang bisa mencapai panjang hingga 18 cm. Berbeda dengan ratites besar lainnya, Moa raksasa memiliki hallux, atau jari pertama, di kaki mereka dan tidak memiliki sayap.

Habitat dan Distribusi Geografis

Moa raksasa adalah endemik Selandia Baru. Moa raksasa Pulau Utara menghuni Pulau Utara dan Pulau Aotea/Great Barrier, sementara Moa raksasa Pulau Selatan   ditemukan di Pulau Selatan, Pulau Stewart, dan Pulau D’Urville. Mereka menempati berbagai habitat, mulai dari bukit pantai dan semak-semak hingga hutan pedalaman dan padang rumput subalpin. Berbagai spesies Moa lebih menyukai habitat yang berbeda berdasarkan makanan yang tersedia. Misalnya, Moa hutan kecil dan Moa Mantell hidup di hutan lebat, sementara Moa bermahkota dan Moa dataran tinggi menempati zona pegunungan di Pulau Selatan.

Perbandingan ukuran antara manusia dan Moa Pulau Selatan (Dinornis robustus) | oleh Nobu Tamura (CC BY-SA)

Baca juga: Moa, Burung Raksasa yang Telah Punah

Moa raksasa adalah herbivora yang memainkan peran penting dalam membentuk ekosistem prasejarah Selandia Baru. Diet mereka terdiri dari berbagai tanaman, termasuk daun, ranting, bunga, buah, dan biji. Mereka menggunakan leher yang kuat dan paruh yang sedikit melengkung untuk mencari makanan di pohon dan semak-semak, serta gizzard yang kuat, yang mengandung batu seberat hingga 3 kg, membantu mereka menggiling bahan tanaman yang keras.

Moa raksasa kemungkinan adalah burung yang tumbuh lambat, mencapai kematangan dalam beberapa tahun dengan harapan hidup sekitar 50 tahun. Sarang mereka adalah depresi kecil yang digali di tanah kering yang lembut, dibangun dari bahan tanaman dan ranting yang dipotong. Telur mereka memiliki tinggi 40 cm dan berat 4,5 kg. Predator satu-satunya dari Moa adalah elang Haast yang langka, burung karnivora dengan rentang sayap hingga 3 meter.

Kepunahan Moa yang Belum Lama

Kepunahan Moa Raksasa adalah peristiwa signifikan dalam sejarah keanekaragaman hayati, khususnya di Selandia Baru. Moa diperkirakan punah sekitar 600 tahun yang lalu, bersamaan dengan kedatangan orang Māori di Selandia Baru. Orang Māori adalah penduduk asli Selandia Baru yang diyakini berasal dari Polinesia. Mereka diperkirakan telah melakukan migrasi dari pulau-pulau di Polinesia, khususnya dari daerah yang sekarang dikenal sebagai Tahiti dan Kepulauan Marquesas, sekitar abad ke-13.  Kepunahan yang relatif baru ini menyoroti dampak aktivitas manusia terhadap kelangsungan hidup spesies.

Kepunahan Moa adalah kisah menarik tentang dampak manusia terhadap ekosistem yang rapuh. Moa tidak siap untuk bertahan hidup dari aktivitas manusia karena umur panjang dan laju reproduksi yang lambat. Mereka hanya bertelur satu atau dua butir per tahun, dan pertumbuhan yang lambat membuat mereka rentan terhadap manusia karena mereka memperbarui diri dengan lambat.

Penyebab utama kepunahan Moa adalah perburuan berlebihan oleh orang Māori. Moa merupakan sumber makanan yang penting, dan ukuran besar burung ini menjadikannya target yang menarik. Bukti menunjukkan bahwa orang Māori memburu Moa secara ekstensif untuk dagingnya, serta bulu dan tulangnya yang digunakan untuk alat dan perhiasan. Selain itu, kedatangan manusia juga menyebabkan perubahan besar pada lanskap, termasuk deforestasi untuk pertanian dan pemukiman, yang mengurangi habitat alami yang tersedia bagi Moa. Penelitian menunjukkan bahwa populasi Moa stabil selama 4.000 tahun sebelum kepunahannya, menegaskan bahwa kedatangan manusia dan perburuan berlebihan adalah faktor utama yang menyebabkan hilangnya spesies ini.

Burung Moa. Dinornis giganteus, ilustrasi oleh illustrations by Joseph Smit (1836-1929) Public Domain

Kepunahan Moa memiliki dampak ekologis yang mendalam. Sebagai herbivora besar, Moa memainkan peran penting dalam membentuk vegetasi dan menjaga keseimbangan ekosistem. Ketidakhadiran mereka kemungkinan menyebabkan perubahan dalam komunitas tumbuhan dan struktur keseluruhan ekosistem. Meskipun penyebab utama kepunahan adalah aktivitas manusia, pengenalan spesies lain oleh manusia, seperti anjing dan tikus, juga dapat berkontribusi pada penurunan populasi Moa. Spesies yang diperkenalkan ini dapat memangsa telur dan anak Moa, sehingga semakin memperburuk kerentanan mereka.

Moa juga memiliki makna budaya bagi orang Māori, yang memiliki tradisi lisan dan cerita terkait dengan burung raksasa ini. Kepunahan Moa sering dipandang sebagai pelajaran berharga tentang konsekuensi dari eksploitasi berlebihan dan penghancuran habitat

Penelitian Berkelanjutan dan Penemuan Terbaru

Meskipun telah punah berabad-abad yang lalu, Moa raksasa terus memikat perhatian para ilmuwan dan peneliti. Penelitian terbaru telah berfokus pada berbagai aspek biologi dan ekologi mereka, termasuk analisis DNA kuno, jejak fosil, dan pemodelan habitat. Para peneliti telah berhasil mengekstrak DNA dari bulu dan tulang Moa untuk mempelajari hubungan evolusi, genetika populasi, dan pola makan mereka. Penelitian ini membantu kita memahami sejarah evolusi Moa dan bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan mereka.

Penemuan jejak kaki Moa yang terfosilkan juga memberikan wawasan berharga tentang cara bergerak dan distribusi mereka. Misalnya, jejak kaki Moa berusia 3,5 juta tahun ditemukan di Pulau Selatan, memberikan gambaran tentang pola pergerakan dan penggunaan habitat mereka. Selain itu, simulasi komputer digunakan untuk merekonstruksi habitat masa lalu Moa dan memahami pola kepunahan mereka. Penelitian ini menunjukkan bagaimana perubahan lingkungan dan dampak manusia berkontribusi pada kepunahan Moa, meskipun habitat yang mereka huni jauh dari optimal, tetapi merupakan area yang paling sedikit terpengaruh oleh manusia.

Kepala moa raksasa (Dinornis robustus). Sumber: tepapa.govt.nz

Beberapa spesimen Moa yang terawetkan dengan baik telah ditemukan, termasuk otot kering yang masih menempel pada tulang Dinornis robustus betina yang ditemukan di Tiger Hill, tulang Emeus crassus dengan otot yang masih melekat, serta deretan vertebra leher dengan otot, kulit, dan bulu yang diambil dari Gua Earnscleugh. Selain itu, ditemukan juga kaki terartikulasi dari jantan D. giganteus dengan kulit dan bantalan kaki yang terawetkan, ditemukan di celah di Knobby Range. Spesimen-spesimen ini memberikan informasi berharga tentang anatomi dan fisiologi Moa.

Penelitian awal tentang Moa juga melibatkan beberapa anekdot menarik. Misalnya, paleontolog Richard Owen, yang menciptakan istilah “dinosaurus,” awalnya salah mengidentifikasi tulang Moa sebagai milik mamalia. Hal ini menunjukkan tantangan yang dihadapi para peneliti awal dalam memahami burung unik ini. Penemuan coprolite dan isi gizzard dari Moa raksasa Pulau Utara dapat memperluas jumlah taksa tumbuhan yang diketahui pernah dimakan oleh Moa, menyoroti potensi penelitian di masa depan untuk lebih meningkatkan pemahaman kita tentang diet dan ekologi Moa.

Penelitian yang sedang berlangsung tentang Moa tidak hanya memberikan wawasan berharga tentang biologi dan kepunahan mereka, tetapi juga memberikan informasi yang berguna untuk strategi konservasi spesies terancam lainnya. Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak akan strategi konservasi yang berbasis informasi, yang mempertimbangkan pola-pola rumit ini dan mendukung pemulihan spesies yang rentan. Dengan mempelajari masa lalu, kita dapat belajar pelajaran berharga untuk melindungi keanekaragaman hayati unik Selandia Baru di masa kini dan mendatang.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|