Degradasi Pesisir dan Turunnya Hasil Tangkapan Rajungan Nelayan Jepara

2 weeks ago 41
  • Nelayan di pesisir Jepara mengeluhkan hasil tangkapan rajungan yang semakin menurun. Mereka harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan komoditas primadona tersebut.
  • Penangkapan berlebih (over fishing) di masa lalu yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan degradasi lingkungan menjadi penyebab menurunnya tangkapan rajungan
  • Nelayan di pesisir Jepara masih hidup di ambang sejahtera. Kehidupan mereka tergantung kepada hasil tangkapan melaut mereka
  • Jika lingkungan dapat diperbaiki dan dikelola baik, maka sektor perikanan bisa menjadi potensi ketahanan pangan laut (blue food) dan pilar kesejahteraan nelayan.

Sutiyah (50) pernah membayangkan jika terjun ke dunia perikanan, dia bakal lebih sejahtera. Nyatanya, dunia para nelayan itu penuh dengan ketidakpastian dan kerentanan akibat dampak perubahan iklim, gangguan di wilayah tangkapan, dan degradasi lingkungan pesisir.

Karena dampak pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu yang menyebabkan usaha mebelnya lesu, perempuan paruh baya itu banting setir, mengadu nasibnya dari awalnya bandar kayu menjadi pengepul ikan.

“Dari jual aset mebel, saya punya dua perahu,” kata dia saat ditemui di Pantai Telukawur, Desa Telukawur, kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah, belum lama ini.

Sutiyah kini mengandalkan 5 nelayan sebagai mitranya. Hubungan kerjanya adalah bagi hasil setelah dipotong ongkos melaut.

Pagi itu, tangkapannya sedikit. Saat di timbang ada sedikit ikan blanak dan rajungan sekitar 15 kilogram.

Rajungan memang selalu menjadi andalan di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa termasuk nelayan pesisir Jepara. Selama ini Portunus pelagicus dijadikan salah satu primadona tangkapan nelayan. Hasil jualnya, -kalau harga sedang baik, antara Rp 80.000-Rp 110.000/kg.

Rajungan ini pula yang mendorong Sutiyah berani ambil resiko untuk membeli perahu. Namun, realitanya tangkapan rajungan tak kunjung membaik kendati permintaan banyak.

“Tangkapan rajungan makin sini makin sedikit saja,” keluhnya.

Sutiyah (50) perempuan pengepul rajungan di Telukawur, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Usaha perikanan rajungan masih menjanjikan, akan tetapi tangkapan nelayan berkurang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.

Salah satu nelayan yang bekerja untuk Sutiyah bernama Solikul (42), dia mengaku telah kehabisan cara untuk menangkap rajungan lebih banyak. Dia sebut kondisi ini berbeda dibanding dua dasawarsa lalu, saat tangkapan rajungan sedang berada pada masa puncaknya.

Kini, untuk mencari rajungan dia harus pergi ke wilayah yang lebih jauh. Padahal normalnya dalam jarak 3 mil dengan membawa 400 bubu saja bisa dapat lebih dari 30-35 kg.

“Sekarang minimal melaut sejauh 10 mil. Bisa bawa pulang 10 kg saja sudah bersyukur,” sebut Solikul.

M. Tofa, salah seorang dari nelayan yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Berkah Jaya, pun menyebut jika ukuran rajungan yang ditangkap adalah 13-15 cm, padahal dulu bisa sampai 20 cm.

“Ukuran tangkapan rajungan makin kecil,” katanya Dia pun menyebut, tidak setiap saat rajungan bisa ditangkap.

“Rajungan paling banyak bisa di tangkap pada saat musim barat, itu sekitar Desember sampai Maret. Kalau bulan September sampai Oktober itu musim sepi,” sebutnya.

Solikul pun mengeluhkan soal penghasilannya. Katanya, rata-rata uang yang didapat hanya berkisar Rp 100-300 ribu setiap kali melaut.

Rajungan hasil tangkapan nelayan Jepara. Rajungan masih menjadi primadona perikanan di Pesisir Utara Jawa, meski tangkapannya semakin turun. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia.

Persoalan Over Fishing di Pantai Utara

Berdasarkan zonasi, penangkapan rajungan terpusat di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 712 meliputi Laut Jawa. Dari total luas dari 40 juta hektar, dengan luas mangrove di pesisir 198.313 hektar, lamun 143.622 hektar, dan terumbu karang 58.609 hektar.

Penangkapan rajungan biasanya dilakukan oleh nelayan kecil, dengan kapal berukuran di bawah 10 gross ton (GT). Berdasarkan catatan Coral Triangle Center (CTC), perikanan rajungan menjadi mata pencarian utama bagi 90.000 KK nelayan.

Mengacu Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP), produksi rajungan periode 2005-2015 rata-rata mencapai 11.033 ton per tahun. Hampir setiap tahunnya produksinya meningkat. Diprediksi potensi tangkapan optimal adalah 23.000 ton per tahun.

Yang tertinggi tercatat 176.289 ton per tahun pada 2017, namun pada 2021 mengalami penurunan 40.043 ton per tahun. Artinya, penangkapan rajungan pernah meningkat tajam hingga 250% sejak tahun 2005.

Dapat dikatakan jika penangkapan rajungan telah melewati ambang berlebih (over fishing). Penangkapannya di alam juga dilakukan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan tidak memperhatikan daya dukung.

Dalam konteks lokal, hal ini dibenarkan oleh Solikul. Dia bilang belum sepenuhnya nelayan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan seperti bubu.

“Sudah banyak nelayan yang tahu, kalau menggunakan alat tangkap yang dilarang itu bisa merusak, tetapi tetap juga digunakan. Alasannya dibilang kalau pakai bubu itu sulit,” kata dia.

Nelayan bersandar di Telukawur, Jepara. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Anta Maulana Nasution, Peneliti Bidang Kemaritiman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, penurunan populasi rajungan sangat bisa terjadi lantaran over fishing. Akibatnya, terjadi degradasi.

Kini “lampu kuning” pun menyala yang berawal dari eksploitasi yang kebablasan di Pantai Utara.

Anta menerangkan, untuk menjaga kelestarian sumber daya tantangannya ada pada pengelolaan dan pengendalian. Itu mencakup jumlah nelayan, alat tangkap, hingga armada kapal yang digunakan.

“Misalnya aturannya bisa meniru kearifan lokal masyarakat berupa larangan mengambil hasil laut dengan rentang waktu yang sudah ditentukan,” ujarnya saat dihubungi Mongabay Indonesia.

Persoalan lain, pengelolaannya masih belum efektif karena kurangnya data hasil tangkapan yang masih kurang.

“Dampaknya, dari berbagai tempat yang saya datangi, mereka mengeluh soal jumlah yang terus menurun hingga harus melaut makin jauh,” kata Anta.

Dia pun menyebut banyak nelayan yang berpikir pragmatis dan tidak berjangka panjang.

“Sumberdaya perikanan bisa menjadi kritis tanpa adanya upaya taktis. Kebanyakan nelayan masih berpikir sesaat, mendapat hasil besar hari ini, tanpa memedulikan esok hari.”

Foto Udara kodisi pesisir Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Berdasarkan informasi yang dihimpun, laju abrasi di kawasan ini mencapai 1 meter per tahun. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia.

Nelangsa di Ujung Jepara

Persoalan penangkapan yang melebihi kemampuan alam, juga berhubungan dengan belum sejahteranya kehidupan kaum nelayan. Wilayah pesisir justru menjadi kantong-kantong kemiskinan, padahal kegiatan ekonomi mereka sangat bergantung pada kemurahan alam yang rentan terhadap perubahan alam.

Itu pun ditambah dengan persoalan semakin terdegradasinya lingkungan pesisir di Pantai Utara Jawa Tengah.  Abrasi terus menggerus kawasan pesisir Kabupaten Jepara, terutamanya di Kecamatan Kedung, Bangsri, Jepara, Donorojo, dan Kembang.

Kerusakan terparah terjadi di kecamatan Kedung dan Jepara. Di kedung, abrasi mengancam tambak garam milik petani. Sedangkan di Kecamatan Jepara, abrasi mengancam permukiman penduduk.

“Nyaris keseluruhan kawasan mangrove di Jepara rusak,” kata Sadimin (56), warga Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung.

Sadimin bercerita, di desanya sudah ada 700-an keluarga pindah karena permukiman mereka tergerus abrasi. Alasannya, rata-rata laju abrasi di kawasan itu 1-1,5 meter per tahun. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara pernah mencatat, laju abrasi telah mengikis pantai seluas 838 hektar.

Jarak rumah penduduk dengan laut pun semakin dekat. “Kini, hanya sekitar 750 meter saja, padahal dulu jauh, sekitar 1 km baru sampai pesisir,” sebut Sadimin.

Nelayan di Telukawur saat ini mulai melakukan pendataan digital visual lewat pengukuran rajungan yang mereka tangkap. Data ini untuk mengetahui dimensi per individu rajungan yang mereka peroleh. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

Bersama kelompok warga di desanya, Samidin mengaku sudah 10 tahun menanam mangrove, namun belum sepenuhnya pulih. Kondisi lingkungan itu berakibat pada hasil budidaya perikanan yang mereka lakukan.

“Banyak tambak-tambak yang rusak, kualitas air juga jadi kurang bagus,” keluh Sadimin.

Kondisi usaha budidaya ikan atau tambak pun tidak jauh berbeda dengan mereka yang berprofesi sebagai nelayan tangkap. Ketidakpastian dan rendahnya harga jual, tingginya risiko usaha, dan ancaman faktor lingkungan juga menekan usaha mereka.

Rentannya kehidupan masyarakat pesisir yang pas-pasan tentunya membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Di sisi lain, pemerintah memasukkan peta jalan ekonomi biru Indonesia dalam visi Indonesia Emas 2045.

Potensi perikanan bisa menjadi kunci keberhasilan ketahanan pangan dari laut (blue food) jika dikelola dengan baik. Pengelolaan yang  terencana pun bisa membawa masa depan sejahtera bagi nelayan.

Rajungan: Populer di Luar Negeri, Terancam di Dalam Negeri

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|