- Negara-negara gagal menyepakati perjanjian internasional untuk mengurangi pencemaran plastik global di Busan, Korea Selatan.
- Perundingan terpecah antara negara-negara yang didominasi oleh kepentingan negara-negara penghasil plastik besar dan industri dan negara-negara korban bukan produsen plastik yang paling rentan terdampak pencemaran plastik.
- Pembatasan plastik dan paparan kimia di hulu dinilai penting untuk mengurangi pencemaran lingkungan
- Mikroplastik juga dinilai sudah mencemari bahan pangan, ibu, dan bayi sejak dari janin.
Para petani terpaksa membuat perangkap sampah plastik di tiap saluran air yang menuju lahannya masing-masing pada musim hujan saat ini di Subak Sembung Banjar Tagtag, Denpasar, Bali. Perangkapnya sederhana, hanya beberapa batang bilah bambu.
Sementara itu, sampah anorganik, dominan plastik seperti pembungkus makanan dan botol minuman terus membanjiri saluran irigasi subak ini. Tumpukan sampah pun sudah menggunung di tepi sawah.
Beban petani makin berat. Setelah hama, harga pupuk, kini sampah plastik yang sudah mencemari bahan pangan sejak ditanam.
Sementara itu di belahan negara lain, Busan, Korea Selatan, sekitar 175 negara gagal menyepakati perjanjian internasional untuk mengurangi cemaran plastik dari hulu, yakni produsennya.
Ini adalah negosiasi kelima Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) tentang Plastik atau Global Plastics Treaty. Negosiasi terakhir ini dilaksanakan pada 25 November-1 Desember 2024 dengan tujuan mengakhiri polusi plastik di seluruh siklus hidup plastik sesuai mandat Resolusi UNEA 5/14. Negosiasi putaran kelima (INC-5) untuk menyusun Perjanjian Internasional tentang Plastik resmi ditutup pada 2 Desember 2024.
Baca : Indonesia Perlu Aktif dalam Negosiasi Perjanjian Internasional soal Plastik
Di Busan, anak perempuan yang getol kampanye bahaya sampah plastik dari Indonesia,
Aeshnina Azzahara Aqilani, Captain River Warrior Indonesia membawa 12 replika bayi yang ditempatkan dalam toples. Instalasi seni ini dipamerkan di stand Pameran Aliansi Zerowaste Indonesia (AZWI). Replika toples bayi ini menggambarkan kondisi bayi yang terkontaminasi mikroplastik, tidak ada lagi tempat yang aman untuk bayi kotoran bayi dikaitkan dengan paparan lingkungan setelah lahir, seperti melalui ASI, susu formula, botol susu plastik, atau plastik
“Kami menginginkan perjanjian yang kuat untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dengan mengurangi produksi plastik, menghilangkan ancaman bahan kimia beracun di seluruh siklus hidup plastik, dan mengendalikan pelepasan dan emisi bahan kimia plastik beracun,” kata Nina, dalam siaran pers Ecoton, salah satu anggota AZWI.
Disebutkan, penelitian terbaru menemukan kehadiran mikroplastik dalam tubuh bayi, mulai dari plasenta hingga ASI. Adanya mikroplastik dalam tubuh manusia berasal dari konsumsi makanan dan minuman yang dibungkus kemasan plastik sekali pakai, udara yang terkontaminasi mikroplastik dan kontak kulit dari penggunaan produk perawatan diri yang mengandung mikroplastik (microbeads).
Studi oleh Braun et al. (2021) mengidentifikasi berbagai jenis mikroplastik pada plasenta ibu hamil, dengan jenis PP sebesar 33%, PVC 26,67%, PET 16,67%, dan HDPE 10%. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa paparan mikroplastik pada plasenta meningkat dalam 15 tahun terakhir, dari 60% pada 2006 menjadi 100% pada 2021 (Weingrill et al., 2023). Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena plasenta berfungsi vital sebagai penghubung antara ibu dan janin. Paparan mikroplastik dapat mengganggu keseimbangan hormon dan mengancam perkembangan organ bayi.
Baca juga : Pemimpin ASEAN Didesak Bersikap Tegas dalam Perundingan Plastik Global
Cairan amnion atau ketuban, yang melindungi janin selama kehamilan, juga mengandung mikroplastik. Halfar et al. (2023) menemukan mikroplastik PET sebesar 72,72%, dengan dampak potensial berupa gangguan fungsi biologis yang dapat mengakibatkan kelahiran prematur dan risiko pertumbuhan janin yang terhambat.
Demikian juga pada mekonium bayi, feses pertama yang dikeluarkan bayi (Li et al.,2023). Mikroplastik yang terdeteksi pada meconium, terdapat mikroplastik jenis Other 82,8% ; PET 4.17% ; PVC 2.2% . Hal ini menunjukkan adanya paparan mikroplastik pada janin selama kehamilan. Hal ini bisa berasal dari transfer mikroplastik melalui plasenta dari ibu ke janin, yang mengakibatkan potensi akumulasi mikroplastik di tubuh janin. Karena mekonium mulai terbentuk sejak 16 minggu kehamilan, adanya mikroplastik di mekonium mengindikasikan paparan yang terjadi selama perkembangan janin.
Berlanjut ke infant feses bayi (Li et al., 2023) : terdapat mikroplastik jenis other 76.32% ; PET 7.86%. Sementara pada Asi Susu Ibu (ASI), Penelitian Ragusa et al. (2022) melaporkan adanya kontaminasi mikroplastik pada ASI, termasuk PET (37,50%) dan PP (16,67%). Mikroplastik yang bersifat lipofilik dapat terikat pada komponen lemak dalam ASI, meningkatkan risiko terakumulasi dalam tubuh bayi. Artinya mikroplastik tidak hanya berada dalam ASI sebagai partikel bebas, tetapi juga bisa “tertanam” di dalam komponen lemak, yang pada akhirnya dikonsumsi oleh bayi.
Gagalnya perjanjian pengurangan cemaran plastik ini juga dikhwatirkan aktivis Ecoton, Prigi Arisandi karena akan meningkatkan volume sampah dan intensitas daur ulang. “Padahal daur ulang di Rropa sudah terbukti gagal. Plastik akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia,” katanya
Baca juga : Di Tengah Minimnya Data, Hentikan Polusi Mikroplastik di Laut jadi Tantangan Global
Tekanan Negara Produsen Petrokimia
AZWI menilai INC-5 berakhir dengan draft naskah perjanjian plastik yang kontroversial dan sangat tidak memadai untuk memenuhi mandat resolusi UNEA 5/14 guna mengakhiri pencemaran plastik.
Dalam siaran persnya, AZWI menyebut forum pleno memutuskan untuk memperpanjang sesi negosiasi melalui INC-5.2 tahun depan. Negosiasi tanpa hasil memuaskan ini dinilai memperlihatkan kegagalan negara-negara di dunia untuk menyepakati perjanjian penting guna mengakhiri pencemaran plastik yang menjadi salah satu penyebab utama Triple Planetary Crisis (tiga krisis planet).
INC Chair, Luis Vayas, mengusulkan teks yang disirkulasikan pada tanggal 1 Desember sebagai draft text untuk negosiasi tahun depan. Lebih lanjut INC Chair menyatakan tidak ada pasal yang dapat disetujui sampai semua teks diterima oleh semua negosiator. Pada sesi pleno yang baru dimulai hari Minggu, 1 Desember 2024 pukul 21.00 waktu Busan, sebagian besar anggota negosiasi, 95 negara, mendukung Meksiko untuk tetap memasukkan pengurangan produksi plastik primer global dalam pasal 3 daft teks perjanjian. Selain itu, 85 negara juga mendukung Rwanda untuk mewujudkan perjanjian yang ambisius.
Pertemuan negosiasi kelima perjanjian plastik di Busan, mirip dengan perundingan perubahan iklim di Baku Azerbaijan baru-baru ini, diwarnai dengan kurangnya komitmen kolektif negara-negara penghasil minyak dan gas untuk mengatasi akar permasalahan pencemaran plastik.
Perundingan terpecah antara negara-negara yang didominasi oleh kepentingan negara-negara penghasil plastik besar dan industri dan negara-negara korban bukan produsen plastik, yang paling rentan terdampak pencemaran plastik. Negara-negara produsen biang plastik, seperti olefin dan aromatik, menghambat upaya-upaya untuk membatasi produksi plastik secara signifikan dan menghilangkan bahan kimia berbahaya dalam plastik. Tekanan dari negara-negara migas ini juga terjadi di luar ruang negosiasi.
Juliet Kabera, Direktur Jenderal Otoritas Manajemen Lingkungan Rwanda, ketua delegasi Rwanda, menyatakan bahwa, “Sudah saatnya kita menganggapnya serius dan menegosiasikan perjanjian yang sesuai dengan tujuan dan tidak dibuat untuk gagal.”
Baca juga : Koalisi Masyarakat Sipil Ragukan Inisiatif Dekarbonisasi AZEC
Indonesia juga dinilai harus meninjau kembali, rencana strategi industri jangka menengah dan jangka panjang, membatasi produksi plastik-plastik yang berpotensi bermasalah. Menghapus dan kendalikan bahan kimia plastik, mendorong peningkatan transparansi pelaporan pengendalian emisi dan lepasan polutan dari industri plastik, dan mengurangi pajanan kimia di seluruh siklus plastik.
Abdul Ghofar, Juru Kampanye Walhi Nasional menyatakan bahwa kegagalan negara-negara menyepakati perjanjian plastik pada negosiasi kelima ini patut disayangkan. Padahal ada lebih dari setidaknya 100 negara yang sepakat mendorong pengurangan produksi plastik. Tantangan besar datang dari negara-negara produsen plastik yang menghambat adanya perjanjian kuat dan mengikat.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) adalah aliansi yang terdiri dari YPBB, Dietplastik Indonesia, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi dan WALHI.
Pro Industri Plastik
Posisi Pemerintah Indonesia pada negosiasi kelima dinilai tidak ambisius. Indonesia tidak memperlihatkan keseriusan pada upaya mengakhiri polusi plastik secara sistematis pada keseluruhan siklus hidup plastik.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menelusuri dokumen-dokumen negosiasi (In-session document) yang dikirimkan Pemerintah Indonesia melalui laman INC. AZWI menyatakan, pernyataan pemerintah Indonesia kurang menekankan pada langkah-langkah di hulu seperti pembatasan atau pengurangan produksi plastik. Juga dinilai kurang tegas dalam mendukung target global dan masih berfokus pada solusi end-of-pipe yang tidak mengikuti hirarki pengelolaan sampah, seperti mengutamakan pencegahan.
Yuyun Ismawati pada Mongabay menjelaskan meskipun pada INC5 tidak ada delegasi industri sebagai bagian dari delegasi RI, terlihat pergeseran posisi dan pernyataan Indonesia dari posisi pemerintah Indonesia (INC2 dan INC3) ke posisi pro-industri (INC4 dan INC-5).
Negara-negara petrokimia, seperti Kerajaan Arab Saudi dan 22 Negara Teluk Arabnya, Tiongkok, Rusia, Iran, dikenal juga sebagai pro industri plastik.
“Posisi mereka sejak awal adalah menolak opsi apa pun untuk memangkas produksi plastik primer dan lebih memilih ketentuan yang akan mengatasi limbah plastik. Jadi, perjanjian plastik adalah perjanjian pengelolaan limbah,” lanjut Yuyun.
Inilah yang membuat proses negosiasi menjadi lambat dan sedikit menyimpang dari mandatnya (Resolusi UNEA 5/14).
Indonesia bukan lagi negara eksportir minyak bumi dan keluar dari OPEC, namun tak bergabung dalam negara-negara Koalisi Ambisi Tinggi dalam pertemuan ini.
Ia mengingatkan pemerintah Indonesia berjanji untuk mengalokasikan 1 miliar USD per tahun untuk menangani polusi plastik laut hingga 70%. “Kami tidak melihat tingkat ambisi seperti itu pada pertemuan negosiasi akhir untuk mengatasi tantangan lingkungan yang paling mendesak dalam hidup kita,” kata Yuyun.
Rendahnya komitmen dari Indonesia ini menurutnya karena kurangnya kepemimpinan yang kuat, tekanan dari industri petrokimia, atau keduanya. Gagalnya perjanjian internasional ini dikhawatirkan menghindari kewajiban global untuk mematuhi langkah-langkah apa pun di masa mendatang guna mengendalikan standar emisi dan pelepasan bahan kimia berbahaya ke udara, air, dan tanah. Karena lastik terbuat dari karbon dan bahan kimia. Plastik dilepaskan ke udara, air, dan tanah dalam semua tahap prosesnya, mulai dari tahap ekstraksi, produksi plastik primer (terutama olefin dan aromatik), hingga produk plastik termasuk daur ulang dan akhir masa pakainya.
Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia sudah membuat regulasi pengurangan plastik sekali pakai, namun implementasinya tidak maksimal karena produsen dan distributor plastik sekali pakai masih bisa memasok tanpa kontrol. Salah satunya Provinsi Bali yang membuat Peraturan Gubernur pembatasan plastik sekali pakai seperti sedotan, kresek, dan styrofoam. Namun itu masih di atas kertas. (***)