Cermati Kementerian Lingkungan dan Kemenhut, Harap-Harap Cemas

3 weeks ago 33
  • Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada era Pemerintahan Presiden Prabowo, terpisah. Struktur sudah terbentuk, pekan lalu, kedua kementerian baru melantik  jajaran eselon 1. Kalangan organisasi masyarakat sipil skeptis  dua kementerian ini bisa melakukan terobosan progresif dalam melindungi hutan,dan  lingkungan di Indonesia.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi  menilai, penempatan Kemenhut di bawah Kementerian Koordinator Pangan pun salah satu pelemahan. Seolah-olah, hutan layak jadi kebun pangan. Dia cemas, hutan dan lingkungan akan makin terpuruk lewat kebijakan-kebijakan pangan ini.
  • Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berharap, KLH/BPLH dapat memperkuat fungsi pengendalian lingkungan, koreksi kebijakan, penegakan hukum di berbagai sektor, serta koordinasi lintas kementerian. Tujuannya, untuk memastikan ekosistem penting dan kritis tidak terdampak oleh kebijakan-kebijakan tertentu.
  • Harus ada sinkronisasi. Jangan sampai dengan pemisahan ini koordinasi  membingungkan berbagai pihak dan berdampak buruk bagi ambisi iklim.  Selain itu, upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak boleh hanya fokus pada perdagangan karbon. Terenting,  memperkuat strategi mitigasi dan adaptasi. Pasalnya, kunci keberhasilan ekonomi ada di keberlanjutan ekosistem.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada era Pemerintahan Presiden Prabowo, terpisah. Struktur sudah terbentuk, pekan lalu, kedua kementerian baru melantik  jajaran eselon 1. Kalangan organisasi masyarakat sipil skeptis  dua kementerian ini bisa melakukan terobosan progresif dalam melindungi hutan,dan  lingkungan di Indonesia.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi tak melihat komitmen perlindungan hutan di struktur baru Kementerian Kehutanan. Menurut dia, warisan dari rezim lama justru akan teradopsi para pejabat baru.

Dia contohkan, kebijakan deforestasi hutan dan berisiko bagi masyarakat adat. Keadaan ini terlihat dari rencana Kemenhut akan membuka 20 juta hektar untuk pangan dan energi.

“Mereka bekerja berdasarkan program strategis yang sudah disusun. Orang-orang yang menjabat Eselon 1 enggak akan bisa kerja lebih progresif dari program strategis yang sudah disusun kementerian itu sendiri,” katanya.

Uli belum menelusuri rekam jejak para pejabatnya tetapi kinerja mereka tidak akan jauh dengan sebelumnya.

Masifnya kehilangan hutan 10 juta hektar selama satu  dekade terakhir terjadi karena kebijakan tak berpihak pada masyarakat dan menyebabkan deforestasi.

Pemerintah dia sebut mengubah paradigma dan pola kebijakan dalam mengurus hutan. “Justru sebenarnya ini langkah mundur.  Meskipun ada struktur baru ini tidak serta-merta mengubah kebijakan ke arah lebih baik.”

Penempatan Kemenhut di bawah Kementerian Koordinator Pangan pun dia nilai salah satu pelemahan. Seolah-olah, kata Uli, hutan layak jadi kebun pangan.

Dia pun cemas, hutan dan lingkungan akan makin terpuruk lewat kebijakan-kebijakan pangan ini.

“Konsep pangan pemerintah sekarang itu kan sebenarnya kebun pangan, ya, food estate gitu, pangan skala besar yang luasnya sampai 100.000 sampai 200.000 hektar.”

Terlebih, lahan food estate hanya bisa perusahaan yang kelola. Masyarakat jadi buruh, seperti terjadi di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Hal ini membuktikan kalau pemerintah hanya berpihak pada investor.

“Basisnya pasti bisnis, bukan pemenuhan hak masyarakat,” katanya.

Uli menilai,  struktur baru Kemenhut tak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap semangat perlindungan hutan. “Apalag, i secara politis dan program strategis, Menteri Kehutanan sudah bilang bahwa hutan itu boleh dibuka untuk panganan energi 20 juta hektar.”

Sekar Banjaran Aji Surowijoyo, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebut,  struktur baru Kemenhut menguatkan tujuan utama presiden. Hutan, katanya, tak lagi sebagai ekosistem alam, melainkan lahan ketahanan pangan dan energi.

“Ini bisa jadi bom waktu sebenarnya.”

Di tengah krisis iklim dunia,  lanjut Sekar, Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan janji ikut berkontribusi menekannya,  salah satu dengan melindungi hutan.

“Kalau dengan struktur yang sekarang aku nggak yakin komitmen-komitmen bisa dipenuhi. Berikutnya, soal melihat bagaimana kelembagaan ini bisa berjalan ke depan,” katanya.

Dia bilang kebijakan kehutanan Indonesia saat ini bukan untuk mengatasi krisis iklim melainkan pemenuhan pangan dan energi. Ini yang akan menghancurkan hutan.

“ Dari sisi kebijakan tidak ada hal baru, seperti biasa. Padahal pekerjaan rumah  berat. Aku rasa, yang paling salah kementerian enggak punya urgensi untuk menyelamatkan hutan.”

Kemenhut, kata Sekar, memiliki pekerjaan rumah berat untuk melindungi hutan dan mengatasi krisis iklim.

Berdasarkan data forest digest  hutan Indonesia yang bertutupan seluas 86,9 juta hektar. Terdiri dari 45,3 juta hektar hutan primer, 37,3 juta hektar hutan sekunder, 4,3 juta hektar hutan tanaman. Kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan ada 33,4 juta hektar.

Meskipun demikian, kawasan yang tidak memiliki tutupan itu masih masuk dalam kawasan hutan konservasi sebesar 4,5 juta hektar, 5,6 juta hektar hutan lindung, 5,4 juta hektar hutan produksi terbatas, 11,4 juta hektar hutan produksi biasa, dan 6,5 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.

Sepanjang 2001-2022. Greenpeace Indonesia mencatat deforestasi seluas 2,7 juta hektar di dalam kawasan hutan yang berstatus perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) atau seluas 40 kali daratan Jakarta. Sedangkan,  sisa tutupan hutan alam di PBPH seluas  18,9 juta hektar.

“Jika,  merujuk pernyataan Menteri Kehutanan ihwal 20 juta hektar hutan, artinya tetap ada risiko deforestasi, baik hutan alam dalam PBPH maupun di luar kawasan,” kata  Sekar.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segel di area kebakaran hutan dan lahan. ke depan, karhutla  yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan ini, siapa yang menangani?  Foto: Balai Gakkum KLHK

Khawatir tumpang tindih

Pemisahan KLH dan Kemenhut menimbulkan pertanyaan soal  penegakan hukum. Apalagi, kedua kementerian memiliki eselon 1 yang menangani itu.

Menurut Sekar, kondisi ini bisa mempengaruhi penegakan hukum di dua lembaga ini atau bisa tumpang tindih juga.

Misal, penegakan hukum saat kebakaran gambut di konsesi yang masuk kewenangan Kemenhut. KLH memiliki kewenangan pada  ekosistem gambut. Sekar bilang,  harus ada harmonisasi antar kedua lembaga ini.

“Kalau tumpang tindih, kami khawatir tidak efisien. Malah jangan-jangan saling lempar tanggung jawab.”

Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, sebut hal serupa. Pengaturan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dia sebut bersifat lintas batas kewenangan dan area, bahkan ada di dua lembaga ini.

“Konteks penegakkan hukumnya nanti bagaimana? Karena kesatuan hidrologi gambut tidak hanya berada di wilayah kawasan edukasi gambut saja juga  area penggunaanlLain (APL) yang di bawah KLH. “Alih- alih perlindungan, tata kelola kawasan hutan justru akan lebih buruk di masa mendatang,”kata  Wahyu.

Dia khawatir,  Kemenhut justru malah melindungi perusahaan yang beroperasi di dalam KHG ketimbang penegakan hukum. Bisa jadi kejahatan lingkungan di rezim Joko Widodo akan lanjut.

Wahyu menyinggung,  ihwal kebijakan pemutihan perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar pada 2023 407.267,537 hektar berada di KHG, dengan 72% rentan terbakar sedang dan 27% rentan tingkat tinggi.

Lagipula, kata Wahyu, pejabat Eselon 1 ini hanya  akan menjalankan kebijakan yang Raja Juli Anton, i dan Presiden Prabowo, inginkan.

Kondisi bikin khawatir karena rezim saat ini cenderung eksploitatif, antara lain terlihat dari pernyataan Prabowo soal sawit sebagai tanaman tak berbahaya dan berniat menambah luasan.

Kemudian, pernyataan Raja Juli Antoni, Menhut yang mau  membuka 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi. Wahyu ragu,  rezim ini akan melindungi gambut.

“Kalau mau perlindungan ekosistem gambut dengan baik, tata kelola harus mulai dari kebijakan strategisnya.

Dia juga menilai,  birokrasi dan perubahan nomenklatur  KLH dari direktur jenderal ke deputi atau Badan Pengendali Lingkungan Hidup (BPLH) dia nilai tak berpengaruh signifikan. Pasalnya, struktur organisasi BPLH masih ada sampai level daerah.

“Dulu, ketika gabung dengan KLHK, ada UPT-UPT (Unit Pelaksana Teknis). Sekarang,  karena jadi badan, BPLH masih punya ‘kaki’ di daerah. Tidak terlalu soal.  Kalau KLH, cuma ada di nasional tidak ada di wilayah,” kata Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Meski begitu, dia berharap, KLH/BPLH dapat memperkuat fungsi pengendalian lingkungan, koreksi kebijakan, penegakan hukum di berbagai sektor, serta koordinasi lintas kementerian. Tujuannya, untuk memastikan ekosistem penting dan kritis tidak terdampak oleh kebijakan-kebijakan tertentu.

Dia juga mengingatkan, pejabat KLH untuk menindaklanjuti kebijakan-kebijakan lingkungan yang telah ditetapkan pada periode sebelumnya. Contoh, menjaga hutan tersisa lewat target dalam  Folu Net Sink 2030, dan  menjalankan agenda pensiun dini PLTU batubara.

“Walau akan sulit, mengingat pemerintah punya target pertumbuhan ekonomi 8%. Kalau memang ada kebijakan semisal untuk pangan dan energi, itu semaksimal mungkin diarahkan tidak membuka ekosistem penting,” ujar Dodo, sapaan akrabnya.

Rusi Suriadi berada di sekitar hutan Bukit Dingin, Gunung Dempo. Wilayah ini menjadi salah satu kawasan hutan yang menjadi habitat kucing besar dan kecil. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Lindungi lingkungan dan masyarakat 

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan menyebut,  perubahan struktur di KLH/BPLH akan berdampak pada penyesuaian kewenangan. Contohnya, target emisi nol bersih di sektor kehutanan yang dulu  tugas Dirjen Planologi, sekarang di Deputi bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon.

Mestinya, pemisahan dari Kemenhut akan membuat kerja KLH makin fokus. Namun, katanya, perlu  penguatan fungsi pengendalian lingkungan dan koordinasi antara KLH dengan kementerian lain.

Upaya penguatan itu, katanya,  sangat bergantung komitmen pejabat-pejabat di internal kementerian. Mereka, katanya, harus bisa memastikan kementerian maupun sektor-sektor lain mematuhi peraturan-peraturan lingkungan hidup yang ada.

“Harus ada sinkronisasi. Jangan sampai dengan pemisahan ini koordinasi  membingungkan berbagai pihak. Juga, berdampak buruk bagi ambisi iklim yang sudah digadang-gadang di internasional.”

Selain itu, upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak boleh hanya fokus pada perdagangan karbon. Terenting,  katanya,  memperkuat strategi mitigasi dan adaptasi. Pasalnya, kunci keberhasilan ekonomi ada di keberlanjutan ekosistem.

“Cara pandang itu yang harus diperbaiki. Jangan ekonomi-ekonomi saja tanpa memperhatikan lingkungan hidup. Padahal lingkungan hidup yang sangat menentukan.”

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan, penguatan fungsi pengendalian lingkungan, koordinasi dan penegakan hukum sebagai cara menyeimbangkan posisi KLH dengan kementerian lain.

Kalau  penguatan itu tidak jalan, KLH hanya akan jadi kementerian ‘kelas dua’ yang tak punya daya tekan.

“Sementara kementerian lain punya kewenangan keluarkan perizinan, KLH hanya proteksi kerusakan lingkungan hidup.”

“(Kewenangan KLH) itu mesti disinergikan dengan kementerian lain. Tapi, saya tidak tahu apakah itu bisa bertemu ruangnya.”

Di lingkup internal, lanjut Arman, pejabat KLH harus punya kemampuan mengorkestrasi penyelenggaraan lingkungan hidup dan tidak menyandarkan kebijakan pada pendekatan-pendekatan konvensional.

Selain itu, perlu integritas dalam menjalankan program-program pengawasan di sektor lingkungan hidup. “Apalagi, kalau kita telusuri, ada pejabat yang ditengarai punya rekam jejak yang tidak cukup baik dalam penegakan hukum,” kata Arman.

Selain itu, dia meminta KLH menyelaraskan kebijakan di sektor lingkungan hidup dengan penghormatan hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Kehidupan mereka, makin terancam dengan UU 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE).

Ketentuan wilayah preservasi dalam UU itu, dia sebut  bisa merampas hak atas tanah-tanah masyaralat adat  yang tak menjalankan agenda konservasi negara. “Itu bisa terjadi pada mereka yang sudah punya alas hak. Yang tidak punya, bisa lebih bahaya.”

*******

Bagaimana Nasib Kementerian Lingkungan di Pemerintahan Baru?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|