Catatan Akhir Tahun: Makin Parah, Area Industri dan Proyek Infrastruktur Rentan Bencana

1 month ago 51
  • Bencana banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor mendominasi kejadian bencana di Indonesia dari tahun ke tahun termasuk tahun ini. Daerah-daerah dengan perubahan bentang alam tinggi, bencana terjadi makin parah dan berulang, seperti di kawasan-kawasan industri pertambangan maupun proyek infrastruktur yang ubah bentang lahan skala besar. 
  • Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara, mengatakan, banjir di desa-desa Halmahera Tengah dampak langsung deforestasi besar-besaran di hulu. Aktivitas tambang nikel tidak hanya merusak bentang alam, juga mengganggu fungsi ekologis hutan.
  • Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), curah hujan sering kali jadi kambing hitam untuk menjelaskan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.  Padahal, ada faktor jauh lebih signifikan, yakni,  deforestasi besar-besaran karena aktivitas tambang. Penggundulan hutan tak hanya mengurangi kemampuan hutan menyerap air, juga meningkatkan suhu udara lokal dan konsentrasi uap air di atmosfer.
  • Abdul Muhari,  Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, BNPB, sedang mengusulkan analisis risiko bencana masuk dalam setiap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk setiap proyek. Hal ini sejalan amanat UU  Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Bencana banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor tetap mendominasi kejadian bencana di Indonesia tahun. Daerah-daerah dengan perubahan bentang alam tinggi, bencana terjadi makin parah dan berulang, seperti di kawasan-kawasan industri pertambangan maupun proyek infrastruktur yang ubah bentang lahan skala besar.

Banjir di Halmahera Tengah, Maluku Utara, misal, kini jadi langganan ketika musim penghujan datang. Laman Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara terus menerus menempatkan banjir sebagai bencana terbanyak setiap tahun.

Satu bencana parah, pada Juli 2024, banjir bandang menerjang Halmahera Tengah. Air bercampur lumpur merangsek ke rumah-rumah warga setinggi satu sampai dua meter di Desa Lelilef dan Lukolamo, menenggelamkan jalan utama, sawah, serta ladang yang dulu subur. Dalam hitungan jam, warga terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah.

Berbagai kalangan menilai, bencana parah terjadi ketika hutan di hulu tergerus jadi pertambangan nikel dan di pesisir jadi kawasan industri.  Ada jejak deforestasi dan ekspansi industri tambang nikel yang menggerogoti jantung ekologi Halmahera.

Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), curah hujan sering kali jadi kambing hitam untuk menjelaskan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.

Padahal, ada faktor jauh lebih signifikan, yakni,  deforestasi besar-besaran karena aktivitas tambang. Penggundulan hutan tak hanya mengurangi kemampuan hutan menyerap air, juga meningkatkan suhu udara lokal dan konsentrasi uap air di atmosfer.

Kehilangan vegetasi menyebabkan tanah kehilangan daya serap, hingga air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah justru mengalir deras ke dataran rendah, membawa material tambang dan lumpur. Akibatnya, risiko banjir dan longsor meningkat tajam setiap tahun.

“Penurunan tutupan hutan berhubungan langsung dengan peningkatan risiko banjir,” kata Eryana Nurwenda Az-Zahra, analisis dan penyaji data Forest Wacth Indonenesia (FWI),  saat acara Ngobrol Asyik daring (Ngaso).

Dia bilang, dampak banjir dan pertambangan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di Teluk Weda, Halmahera Tengah terpicu deforestasi dan aktivitas tambang. Aktivitas tambang yang tak terkendali, mengubah lanskap ekologis Halmahera jadi lebih rentan bencana hidrometeorologi.

Pada 2016, Halmahera Tengah masih memiliki tutupan hutan 109.000 hektar. Seiring masuknya perusahaan tambang bersama kawasan industri nikelnya skala raksasa seperti PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), PT Tekindo Energi, dan PT Harum Sukses Mining, peta kehijauan di pulau ini perlahan memudar.

Dalam delapan tahun terakhir, lebih 26.000 hektar hutan hilang tergerus alat berat dan buldoser. Kawasan yang dulu menjadi benteng alami menahan laju air hujan kini hanya menyisakan tanah tandus dan lubang-lubang menganga.

Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara, mengatakan, banjir di desa-desa Halmahera Tengah dampak langsung deforestasi besar-besaran di hulu. Aktivitas tambang nikel tidak hanya merusak bentang alam, juga mengganggu fungsi ekologis hutan.

“Saat hujan deras datang, air tidak lagi terserap oleh tanah dan akar pohon. Sebaliknya, aliran deras membawa serta lumpur dan material tambang, membanjiri desa-desa di dataran rendah,” katanya.

Banjir di Halmahera, dengan genangan air berwarna oranye kecoklatan. Foto: dokumen warga

Data Walhi Malut menunjukkan,  bencana banjir sudah terjadi setidaknya 19 kali di kawasan ini dalam kurun lima tahun terakhir. Sungai Kobe, yang dulu tenang dan jernih, kini sering meluap setiap kali hujan deras mengguyur.

Puncaknya, banjir Juli 2024 merendam lebih 7.000 rumah tangga, merusak infrastruktur sepanjang 32 kilometer, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai Rp371,3 miliar.

Walhi Malut menilai Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, dan Pemerintah Maluku Utara tak menunjukkan keseriusan menyikapi bencana banjir. Meski banjir sudah menyebabkan kerugian besar bagi warga dan lingkungan, respons dari pemerintah daerah lamban dan tak memadai.

Tindakan tegas minim pemerintah ini mencerminkan ketidakseriusan menangani dampak buruk tambang nikel.

Julfikar Sangadji dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara menyebut nafsu pemerintah jadikan Indonesia pusat industri mobil listrik memicu percepatan dan perluasan kerusakan multidimensi.

Di Maluku Utara, terdapat 62 izin tambang nikel dengan total konsesi mencapai 655.581 hektar dan delapan smelter yang beroperasi masif sejak 2021. Di balik ini, menurut Julfikar,  ada kisah kelam tentang bagaimana izin-izin tambang keluar dengan mudah.

“Bencana ekologis ini bukan hanya soal curah hujan atau cuaca ekstrem. Ini hasil dari kebijakan yang timpang, pengawasan yang lemah, dan kerakusan industri tambang yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat,” katanya.

Pemerintah dan perusahaan tambang, katanya,  segera mengambil tindakan konkret, seperti moratorium izin tambang baru, rehabilitasi hutan, serta menegakkan hukum terhadap para pelaku korupsi dalam penerbitan izin tambang.

“Jika tidak ada langkah tegas, Halmahera akan terus tenggelam dalam banjir lumpur dan krisis berkepanjangan. Setiap tetes hujan yang turun selalu menjadi mimpi buruk bagi ribuan keluarga yang tinggal di dataran rendah. Eksploitasi alam yang membabi buta telah mengorbankan segalanya,  tanah, air, udara, dan harapan masa depan yang lebih baik.”

Supriadi Sawai, pegiat lingkungan dari #Save Sagea, menggambarkan kehidupan warga di sekitar tambang sebagai mimpi buruk tak berkesudahan. Mereka kehilangan tanah, air bersih, bahkan hak hidup layak.

“Untuk hidup saja susah, mati pun susah,” kata getir.

Bahkan tempat pemakaman umum pun kini sulit, karena sebagian besar tanah beralih menjadi industri tambang.

Petugas di Kabupaten PPU berjibaku mengevakuasi warga Sepaku yang terdampak banjir. Foto: dokumentasi BPBD PPU

Bencana dan kesusahan masyarakat terdampak karena kawasan sekitar rusak, tak hanya terjadi di Halmahera, juga di banyak lokasi terutama ketika terjadi perubahan alam karena eksploitasi besar-besaran baik di industri maupun proyek-proyek infrastruktur skala besar.

Di  lokasi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, misal, banjir makin sering dan lebih parah.  November lalu sedikitnya 184 keluarga dan 682 jiwa terkena banjir.

Banjir terjadi di Desa Sukaraja dan Kelurahan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU).

Sukadi Kuncoro, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) PPU, menyebut banjir terjadi karena intensitas hujan tinggi dan pasarng surut air laut yang mencapai rata-rata tiga meter.

“Itu yang menyebabkan banjir. Terendam banjir itu sekitar lebih dari 12 jam,” katanya pada Mongabay.

Pemukiman RT01 dan RT02 Kelurahan Sepaku paling terdampak secara topografi merupakan cekungan. Seharusnya, kata Sukadi, kawasan ini tidak memungkinkan untuk menjadi pemukiman.

Dia menilai, berpendapat normalisasi Sungai Sepaku perlu agar sedimentasi teratasi. Dia katakan, pendangalan sebagai satu penyebab banjir kian parah di sekitar sungai.

“Normalisasi sungai untuk menanggulangi sementara. Karena kan banyak material (yang dibawa banjir dari hulu). Material dari atas kan, kayu dan segala macam yang busuk-busuk itu, banyak lah, lumpur,” katanya.

Sepaku bukan tidak pernah banjir. Sebelumnya, banjir dengan intensitas dan dampak tidak parah.

Kali ini, ketinggian air saat banjir di Sepaku bisa 1,8 meter.

Yolanda Thalia,  Juru Kampanye Walhi Kalimantan Timur, mengkritik normalisasi sungai sebagai solusi atasi banjir. Menurut dia, bencana di Sepaku karena tidak ada mitigasi dalam perencanaan pembangunan.

Kayaknya pemerintah itu hanya fokus supaya yang penting pembangunan jadi. Jarang (memberikan) solusi),” katanya.

Mappaselle,  Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Pesisir (Pokja Pesisir), mengkritik ungkapan pasang-surut air laut sebagai penyebab banjir. Menurut dia, banjir karena fenomena alam ini tidak terjadi dalam durasi lama.

Faktor alam, katanya, merupakan rutinitas berulang. Sementara mitigasi bencana seiring potensi bencana di kawasan itu.

“Dengan mengetahui akan ada curah hujan (tinggi), terus ada pasang surut, itu (seharusnya) sudah ada mitigasinya.”

Alasan pemindahan ibukota negara salah satunya karena banjir kerap terjadi di Jakarta. Selle bilang, seharusnya perencanaan pembangunan IKN bisa mengantisipasi permasalahan serupa.

Selle juga menyebut pembangunan di sekitar Sepaku sebagai penyebab dari banjir. Apalagi, katanya, dari informasi banjir dulu tidak pernah separah akhir November lalu.

Soal normalisasi sungai, katanya, perlu pertimbangan fungsi dan karakteristis Sungai Sepaku.

Fungsi sungai berkelok-kelok, sebenarnya untuk jati tempat penampungan air sementara. “Makin panjang belokannya, volume yang ditampung itu makin besar. Dengan berkelok-kelok, air tidak langsung turun (secara) cepat.”

Perubahan bentang alam IKN pernah diulas Earth Observatory NASA. Dalam laman resmi mereka, terlihat citra satelit kawasan IKN sebelum dan sesudah pembangunan hingga 19 Februari 2024. Dua citra satelit yang diambil di waktu berbeda itu juga menunjukkan ada perubahan lebar Sungai Sepaku.

Perubahan bentang alam juga terjadi di pesisir. Mangrove yang terbabat di kawasan IKN membuat habitat satwa hilang, ingga mendorong predator masuk ke pemukiman ketika banjir.

Tahun lalu saja, Selle menyebut 1.700 hektar mangrove terbabat sejak penetapan IKN.

Menurut Selle, dampak-dampak lingkungan ini mestinya sudah tergambarkan dalam rencana awal pembangunan. Rencana pemerintah untuk merelokasi warga yang terdampak banjir juga dia nilai sebagai respons yang tidak tepat.

“Jangan sampai alasan itu sebagai bagian dari strategi menggusur warga,” katanya.

Fakta yang terjadi di IKN menurut Selle berbanding terbalik dengan pembangunan ramah lingkungan yang digaungkan pemerintah. Untuk itu, perlu desain ulang agar dampak serupa tak terjadi lagi dan meluas.

Pemerintah, harus melihat pembangunan secara keseluruhan. Mulai dari penataan aliran air hingga daerah tangkapan air atau daerah resapan.

“Termasuk, menjaga daerah khusus untuk jadi sabuk hijau,” katanya.

Sumber: BNPB

Beban lingkungan

Abdul Muhari,  Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, BNPB, sedang mengusulkan analisis risiko bencana masuk dalam setiap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk setiap proyek. Hal ini sejalan amanat UU  Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dengan begitu, katanya, mitigasi bisa sebelum orang melakukan aktivitas yang rentan menimbulkan bencana.

“Misal,  orang mau buat tambang nikel atau pabrik nikel, apa yang perlu mereka lakukan terhadap DAS (daerah aliran sungai), sudah ada di dalam dokumen. Amdal tidak hanya bicara dampak lingkungan, juga mitigasi risiko bencana.”

Bencana yang timbul dan menjadi parah di satu daerah tidak lepas dari daya dukung dan daya tampung lingkungan makin terbebani. Kalau hujan, katanya,  sebagai faktor alam yang sudah ada sejak lama.

“Kenapa banjir sekarang lebih dahsyat? Itu karena faktor daya dukung dan daya tampung lingkungan makin menurun,” katanya lewat sambungan telepon.

Aam, panggilan akrabnya, menyebut kondisi ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Daerah dengan populasi penduduk tinggi juga bisa lebih rentan bencana. Kenaikan jumlah penduduk, katanya, membuat permasalahan lingkungan sistemik hingga risiko bencana hidrometeorologi pun meninggi.

Simple saja, pertambahan penduduk akan membuat daya dukung lingkungan menurun. Orang akan mengambil air tanah, ada sedimentasi, dan membuat surface runoff makin banyak karena daerah tidak terkonservasi. Jadi ini masalah sistemik.”

Daerah-daerah dengan pertumbuhan penduduk 1-5%-1-10% per tahun akan membuat frekuensi bencana makin sering. Sementara perubahan bentang alam karena pembangunan maupun industri ekstraktif membuat bencana lebih signifikan.

“Daerah-daerah dengan kerusakan lingkungan itu impact-nya akan signifikan,” katanya.

Dari tahun ke tahun, katanya, bencana hidrometeorologi sebagai kejadian bencana paling sering. Bencana jenis ini yang dipengaruhi faktor cuaca dan banyak memakan korban seperti tanah longsor dan banjir.

“Awal tahun ada 28 orang karena tanah longsor, lima bulan lalu ada sekitar 57-63 orang meninggal karena banjir lahar dingin Marapi. Dua bencana ini jadi atensi kita,” kata Aam.

Secara keseluruhan, kejadian bencana pada 2024, sampai 28 Desember ini ada 2.076 kasus, terjadi kenaikan dari tahun 2033 sebanyak 2.051 kasus. Pada 2024, bencana tertinggi banjir, lalu cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan dan tanah longsor.

Dia menyebut,  bencana hidrometeorologi masih menjadi ancaman dalam 2025. Apalagi, fenomena la-nina masih belum mencapai puncaknya.

“Periode banjir akan cukup signifikan dari Januari sampai April,” katanya.

Warga berusaha menyelamatkan barang barangnya saat banjir melanda empat Desa di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Foto : WALHI

*******

Kala Warga Sekitar IKN Mulai Terdampak Banjir

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|