Catatan Akhir Tahun 2024: Tata Kelola Karut Marut, Sawit Terus Ekspansi

1 month ago 44
  •  Tata kelola sawit di Indonesia masih karut-marut. Alih-alih menyelesaikan persoalan lama, meningkatkan perbaikan fundamental, pertambahan luas sawit malah terus terjadi hingga rawan menimbulkan persoalan baru di berbagai tempat.
  • Di tengah tata kelola  sawit masih karut marut, secara nasional cenderung terjadi kenaikan luas kebun monokultur ini. Kecenderungan perluasan lahan terus terjadi seperti mega proyek satu juta hektar sawit di Sulawesi sampai lahan-lahan food estate yang berubah jadi kebun sawit di Kalteng.
  • Janang Firman Palanungkai,  Manajer Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng, menyebut,  penguasaan lahan untuk perkebunan di Kalteng pada 2022-2023 mengalami kenaikan signifikan mencapai sekitar 245.556 hektar. Saat ini, perkebunan sawit di Kalteng mencapai sekitar 2,3 juta hektar.
  • Menurut observasi The TreeMap, kebun sawit di Indonesia pada 2023 menyebabkan konversi 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibandingkan tahun sebelumnya.  Selain itu, sepertiga dari deforestasi 2023 karena sawit terjadi di lahan gambut kaya karbon, diduga melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) secara masif.

Tata kelola sawit di Indonesia masih karut-marut. Alih-alih menyelesaikan persoalan lama, meningkatkan perbaikan fundamental, pertambahan luas sawit malah terus terjadi hingga rawan menimbulkan persoalan baru di berbagai tempat.

Di Kalimantan Tengah, misal, izin perkebunan sawit yang Pemerintah Kapuas terbitkan berdampak langsung pada lahan-lahan masyarakat.

Remie, warga Desa Mantangai Hulu, tak bisa berbuat banyak ketika dua hektar lahan tumpang tindih dengan izin perusahaan.

Tanah yang sudah dia kelola selama puluhan tahun itu tiba-tiba diklaim sebagai lahan sengketa. Meski dia sudah mengantongi surat kepemilikan tanah.

Seperti warga Mantangai Hulu lainnya, Remie pun hidup dari ladang. Dari hasil alam itu, kebutuhan sehari-hari seperti lauk-pauk hingga bahan pokok mereka penuhi.

Perempuan 46 tahun itu tak tinggal diam. Dia berupaya dapatkan lahan itu atau meminta ganti rugi dari perusahaan. Perusahaan menolak, berdalih ada tumpang tindih kepemilikan lahan.

“Sampai aku itu marah, dipermainkan saja begitu. Kayak apa kalau mereka di posisi kita!” katanya.

Dia tak bisa berladang walau sekadar menjenguk ladang saja sulit. Perusahaan menegur siapapun yang masuk konsesi.

Konsesi perusahaan ini alami kebakaran berulang seperti pada 2018, 2019 dan 2023.

“Itu bahkan ada tetangga yang masih punya kebun di sana. Mereka ditegur kalau bikin api sedikit saja. Sampai diterbangkan drone oleh perusahaan,” kata Remie.

Sengketa lahan dengan perusahaan sawit, yang Remie alami satu dari ribuan kasus serupa di berbagai penjuru Indonesia dan belum ada penyelesaian berarti.

Janang Firman Palanungkai,  Manajer Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng, menyebut,  penguasaan lahan untuk perkebunan di Kalteng pada 2022-2023 mengalami kenaikan signifikan mencapai sekitar 245.556 hektar. Saat ini, perkebunan sawit di Kalteng mencapai sekitar 2,3 juta hektar.

Kebun sawit baru buka di lahan gambut usai terbakar di Kalteng. Foto: Rensy Tisna/Mongabay Indonesia

Perluasan perkebunan sawit cenderung memperburuk kondisi masyarakat karena tanah-tanah yang pemerintah berikan izin berada di ruang hidup masyarakat.

“Ini makin menunjukkan tata kelola sumber daya alam di Kalteng sangat buruk. Selain berdampak pada kerusakan lingkungan, juga tidak membawa manfaat bagi masyarakat,” kata Janang.

Data yang Walhi Kalteng himpun menunjukkan, periode 2015-2023,  terjadi sekitar 349 konflik agraria di Kalteng. Kasus agraria, mayoritas melibatkan masyarakat dan perkebunan sawit. Secara tipologi, konflik sering berfokus pada lahan, berujung sengketa.

Janang mengatakan, pemerintah seharusnya segera evaluasi perizinan perusahaan-perusahaan di Kalteng.

“Satu contoh, jika ada perusahaan belum clean and clear dalam perizinan namun tetap beroperasi, harus diberikan sanksi hukum,” katanya.

 Di provinsi tetangga Kalteng, Kalimantan Selatan (Kalsel), pun tak lepas dari masalah. Luas perkebunan sawit pada 2022 sekitar 535.198 hektar. Dari luas itu 67.004,97 hektar berada di kawasan hutan.

Raden Rafiq,  Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, data luas perkebunan dan izin konsesi sawit di Kalsel sulit terakses dan tidak terbuka untuk publik.

“Di Kalsel ini sulit mendapatkan data luasan dan izin konsesi perusahaan sawit. Data terbuka pemerintah sangat minim.”

Analisis data mandiri Walhi Kalsel sampai 2022, sedikitnya ada 26 perusahaan perkebunan sawit memiliki izin hak guna usaha (HGU) dalam kesatuan hidrologis gambut seluas 104.820 hektar.

Beberapa perusahaan perkebunan sawit di Kalsel juga diduga mengalami tumpang tindih dengan kawasan hutan yang berisiko menyebabkan kerusakan lingkungan dan memicu konflik agraria.

Jadi, katanya, jangan lagi ada pertambahan luas kebun sawit di Kalsel.

Lahan food estate sawah di Kalteng, malah berubah untuk tanam sawit. Foto: Pantau Gambut

Terus ekspansi?

Di tengah tata kelola  sawit masih karut marut, secara nasional cenderung terjadi kenaikan luas kebun monokultur ini. Kecenderungan perluasan lahan terus terjadi seperti mega proyek satu juta hektar sawit di Sulawesi sampai lahan-lahan food estate yang berubah jadi kebun sawit di Kalteng.

Adapun luas perkebunan sawit di Indonesia pada 2023 mencapai 17,3 juta hektar, hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Luas ini hasil pemutakhiran peta tutupan sawit oleh Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian.

Analisis organisasi masyarakat sipil menunjukkan perluasan perkebunan sawit tidak akan berhenti.  Forest Watch Indonesia (FWI), mencatat,  sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di hutan produksi konversi (HPK) berisiko dibuka untuk perkebunan sawit.

Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat,  6,2 juta hektar dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut Indonesia dalam izin sawit, dengan 3,8 juta hektar berupa gambut.

Menurut observasi The TreeMap, kebun sawit di Indonesia pada 2023 menyebabkan konversi 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibandingkan tahun sebelumnya.

Selain itu, sepertiga dari deforestasi 2023 karena sawit terjadi di lahan gambut kaya karbon, diduga melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) secara masif.

Dalam penelitian pada 2019 menunjukkan,  sawit langsung berdampak pada biodiversitas. Di Kalimantan, data menunjukkan, orangutan Borneo menurun 25% dalam satu dekade terakhir. Sebelumnya, sebagian luas dataran rendah Kalimantan ada orangutan.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan,  daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit sudah melebihi ambang batas (cap). Artinya, lahan sawit saat ini sudah melampaui kapasitas optimal.

Hal itu tergambar jelas dalam penelitian Sawit Watch bersama 13 organisasi masyarakat sipil yang terbit pada 2024. Dalam riset itu, cap sawit di Indonesia sebesar 18,15 juta hektar. Ekspansi perkebunan sawit di beberapa daerah atau pulau mendekati bahkan melampaui kapasitas lingkungan. Kondisi ini meningkatkan risiko signifikan bagi lingkungan.

Tak hanya kerusakan lingkungan hidup, perluasan kebun sawit bisa menyebabkan konflik agraria. Saat ini saja, data Sawit Watch menyebut,  ada 1.106 komunitas berkonflik di perkebunan sawit. Mereka terdiri dari kelompok rentan seperti buruh, petani, masyarakat adat dan komunitas lokal.

Skema plasma juga jadi salah satu pemicu konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat. Dari 150 kasus yang diteliti Sawit Watch, 86 masalah plasma. Beberapa konflik muncul karena perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma sesuai kewajiban peraturan perundang-undangan.

Diperkirakan, lahan yang dibuka untuk kebun sawit ilegal ini seluas 1.655 hektar. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Masalah legalitas

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, menyatakan isu legalitas dalam sektor perkebunan sawit belum ada penyelesaian. TuK Indonesia,  tengah menggugat Bank Mandiri karena memberikan pembiayaan kepada PT Agro Nusa Abadi (ANA), yang tak memiliki legalitas HGU.

Adapun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan jutaan hektar perkebunan sawit beroperasi tanpa HGU. Data FWI juga menunjukkan 68% perkebunan dengan IUP beroperasi tanpa HGU, 36% perkebunan dengan HGU atau lebih dari 4 juta hektar tidak ada IUP.

Data itu selaras dengan temuan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), yang memperlihatkan, pelanggaran perizinan sawit seringkali terjadi karena administrasi yang ceroboh, termasuk pemberian izin di kawasan hutan. Hal ini antara lain mencerminkan ketidakefektifan sistem perizinan dan menciptakan kondisi koruptif.

Potret ini, katanya,  dapat terlihat jelas di Sulawesi Tengah (Sulteng), sekitar 600.000 hektar sawit tercatat, dan 75% terindikasi hasil dari maladministrasi.  Padahal Sulteng bukan provinsi yang menjadi sentral perkebunan sawit.

“Isu legalitas perkebunan sawit yang berdampak pada penerimaan negara perlu menjadi perhatian serius. Satu sisi, sektor ini diharapkan berdampak positif ke penerimaan negara, tetapi faktanya di lapangan sangat kontradiktif,” kata Linda.

Petani sawit plasma Koptan Amanah di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, menyambut baik putusan KPPU yang memenangkan tuntutan mereka kepada PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP). Foto: Fatricia Ain.

 

Benahi tata kelola dan setop izin

Pembenahan tata kelola sawit perlu segera. Rambo bilang, ada dua hal penting harus jadi perhatkan. Pertama, penghentian izin baru sawit akan memberikan dampak positif bagi negara dalam jangka panjang. Yakni, dengan meningkatkan penerimaan negara dan serapan tenaga kerja, terutama kalau penanaman kembali (replanting) berjalan.

Kedua, lahan sawit telah mendekati cap ideal bagi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Banyak kebun sawit beroperasi di area yang secara fisik maupun sosial tidak semestinya.

Kajian dengan perspektif ekonomi menunjukkan,  penghentian pemberian izin sawit disertai replanting akan memberikan dampak ekonomi lebih baik dalam jangka panjang, termasuk pada produk domestik bruto (PDB), pendapatan, penerimaan pajak, dan tenaga kerja.

Dengan setop izin dan replanting bersamaan, katanya, akan menghasilkan output PDB Rp30,5 triliun dan menyerap 827.000 tenaga kerja.

Sedangkan skenario ekspansi sawit tanpa setop izin justru menghasilkan output PDB negatif Rp30,4 triliun, hanya menciptakan 268.000 tenaga kerja dalam periode sama.

“Jika kebijakan moratorium atau penghentian izin baru tidak dilaksanakan, laju deforestasi akibat perkebunan sawit berpotensi meningkat. Meskipun Inpres 8/2018 diterapkan selama tiga tahun, efektivitasnya belum cukup untuk memperbaiki tata kelola sawit.”

 Suryadi/Mongabay IndonesiaPupuk perkebunan sawit turut menyumbang beban pencemaran di Sungai Siak. Mengancam biota sungai. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Data Sawit Watch menunjukkan, pada 2019-2020—periode moratorium sawit–, deforestasi terbesar di konsesi sawit mencapai 19.940 hektar. Luas hutan alam di konsesi sawit pada 2019 mencapai 3,58 juta hektar. Dengan begitu, katanya, penerapan kembali moratorium sawit dapat menyelamatkan hutan alam dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.

Selain itu, moratorium sawit juga dapat memainkan peran dalam menyelesaikan konflik dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang terlibat sengketa dengan perusahaan sawit. Langkah ini memungkinkan tinjauan ulang terhadap legalitas perkebunan, termasuk hak atas tanah, kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban plasma, serta implementasinya.

Pelanggaran perizinan, kata Rambo, dapat terdeteksi ketika moratorium sawit berjalan.

“Kami menantang keras jika pemerintah mengambil skenario ekspansi atau perluasan kebun sawit, karena dampaknya cukup besar, termasuk memperburuk kondisi iklim dan memicu peningkatan konflik agraria,” katanya.

Senada dengan Linda. Dia menyebut,  perbaikan tata kelola melalui moratorium sawit dan replanting perlu dilakukan oleh semua sektor, tak hanya satu satu sektor saja. Menurutnya, implementasi dari kebijakan dari moratorium sawit dan replanting juga perlu terlaksana di lapangan.

Dia menyayangkan, kalau ada kebijakan moratorium sawit dan replanting namun tidak terimplementasi di lapangan.  Pemerintah, katanya,  harus memiliki komitmen kuat sebelum melakukan langkah ini.

“Menurut saya, komitmen negara dalam memperbaiki tata kelola industri sawit masih lemah, apalagi penegakan hukumnya. Negara saat ini seperti separuh hari untuk melakukan perbaikan tata kelola sawit,” kata Linda.

Terlebih lagi, katanya, perbankan yang merupakan BUMN terus memberikan pembiayaan berupa kredit kepada korporasi-korporasi sawit besar yang terbukti merusak lingkungan, dan pelanggaran HAM.

“Penegakan hukum harus kuat, komitmen pemerintah harus serius, serta pembiayaan juga perlu dibatasi jika ingin melakukan perbaikan tata kelola sawit. Ketika itu tidak dilakukan, industri sawit terus akan bermasalah.”

*******

Kala Lahan Food Estate Sawah jadi Sawit dan Semak Belukar di Kalteng

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|