- Masih kerap dijumpai perdagangan ilegal burung berkicau di Indonesia. Di bulan Oktober lalu, lebih dari 6.500 individu burung coba diselundupkan dari Sumatera ke Jawa.
- Penyitaan upaya penyelundupan itu dilakukan di Pelabuhan Bakauheni, terdiri dari 257 spesies yang berasal dari jenis yang dilindungi
- Penyelundupan burung didorong oleh berbagai hal termasuk permintaan burung kicau peliharaan yang besar di Indonesia.
- LSM lokal FLIGHT mengatakan lebih dari 120.000 burung kicau asal Sumatra yang diperdagangkan disita dari tahun 2021 hingga 2023, jumlah ini diyakini hanya mewakili sebagian kecil dari yang ditangkap dan dijual.
Upaya perdagangan burung kicau ilegal lintas pulau telah berhasil digagalkan oleh aparat dari unsur Badan Karantina, Satgas BAIS Kerinci TNI, Direktorat Polda Lampung, Polsek Penengahan, dan LSM FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds. (15/10/2024).
Sebanyak 6.514 burung liar, -yang merupakan salah satu penyitaan terbesar yang pernah dilakukan di Indonesia, dapat dilakukan setelah aparat berhasil mencegat sebuah truk di Pelabuhan Bakauheni, Lampung yang akan menuju ke Pulau Jawa. Truk itu berasal dari Kayu Agung, Sumatera Selatan, dan berencana akan menuju Balaraja, Tangerang.
Di atas truk, mereka menemukan burung yang dijejalkan ke dalam 216 kotak, dimana sebagian besar dikemas rapat dan diberi lakban. Diantaranya terdapat 257 burung yang berasal dari spesies dilindungi menurut peraturan perundangan.
“Lampung hanyalah titik transit dan titik keluar ketika mereka ingin menyeberang ke Jawa,” Marison Guciano, Direktur Eksekutif FLIGHT, mengatakan kepada Mongabay melalui email. Lembaganya bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah penyelundupan dan perdagangan ilegal satwa.
Burung-burung yang diselamatkan dalam penyitaan ini semuanya selamat, termasuk spesies yang paling terancam punah, seperti ekek geling (Cissa thalassina). Ada juga ribuan individu dari spesies lain tidak dilindungi, seperti prenjak jawa (Prinia familiaris), dan berbagai jenis burung mata putih (genus: Zosterops) dan burung cinenen pisang (genus: Orthotomus).
FLIGHT mengatakan bahwa seluruh 6.514 burung yang berhasil diselamatkan telah dilepaskan ke habitat liar yang sesuai setelah dinyatakan sehat oleh dokter hewan dari otoritas karantina Lampung.
Penangkapan yang tercatat ini kemungkinan hanya menyentuh permukaan dari perdagangan burung kicau ilegal di Indonesia, kata para ahli.
“Pihak berwenang telah menggagalkan penyelundupan lebih dari 200.000 burung kicau Sumatera ke Jawa dalam lima tahun terakhir. Namun kami yakin ini masih kecil dibandingkan dengan jumlah burung asal Sumatera yang berhasil diselundupkan ke Jawa,” lanjutnya.
Perdagangan Liar Mendorong Spesies Ke Ambang Kepunahan
Kanitha Krishnasamy, Direktur Monitoring Perdagangan Satwa Liar TRAFFIC untuk wilayah Asia Tenggara, dalam siaran persnya mengatakan bahwa perdagangan burung dan penyitaan besar-besaran seperti ini terus menimbulkan kekhawatiran.
Perdagangan burung, yang umumnya berasal dari spesies asli, menyebabkan penurunan cepat jumlah berbagai spesies di alam liar, dan bersama-sama dengan hilangnya habitat, telah mendorong banyak spesies menuju kepunahannya.
“Hal ini sama sekali tidak berkelanjutan. Dampak dari pengambilan spesies seperti ini baru kita sadari jika semuanya telah hilang,” kata Krishnasamy.
Memelihara burung kicau dalam sangkar merupakan tradisi populer di Indonesia, khususnya bagi sebagian orang beretnis Jawa. Burung-burung tersebut sering diikutsertakan dalam kompetisi burung kicau, dengan burung juaranya dijual hingga seharga ratusan ribu dolar.
Penyitaan berulang di Lampung selama bertahun-tahun belakangan ini sebagian disebabkan karena lokasi provinsi ini yang strategis, menghubungkan antara Pulau Sumatera dan Jawa.
FLIGHT melaporkan bahwa dari tahun 2021 hingga 2023, pihak berwenang telah menyita total 121.689 burung kicau Sumatera, sebagian besar prenjak dan burung cinenen pisang. Sekitar 80% dari penyitaan tersebut terjadi di Lampung. Menurut FLIGHT kerap dijumpai burung-burung yang mati pada saat penyitaan, setelah menempuh perjalanan yang jauh dari habitat alami mereka.
Upaya Melawan Jaringan Perdagangan Gelap
Dalam penangkapan di Bakauheni, dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perdagangan ilegal satwa liar. Hukuman yang dapat diterima mereka dapat mencapai lima tahun penjara, dan pelanggaran karantina yang dapat dijatuhi hukuman maksimal dua tahun, serta denda mencapai Rp2 Milyar.
Krishnasamy memuji tindakan penegakan hukum tersebut, dia juga mendesak pihak berwenang untuk juga dapat mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan ini.
“Jaringan yang beroperasi di balik layar dari titik pengumpulan di sumber, hingga ke pasar akhir juga memerlukan penyelidikan lebih lanjut jika kita ingin menghentikan penangkapan dan perdagangan yang tidak terkendali,” katanya.
Marison mengatakan Indonesia belum serius dalam memerangi perdagangan burung kicau ilegal, jika dibandingkan dengan mamalia seperti orangutan maupun harimau. Bahkan seorang mantan presiden Joko Widodo adalah seorang kolektor burung kicau, yang pernah menawarkan membeli burung pemenang kompetisi seharga Rp2 Miliar.
Padahal perdagangan ilegal turut didorong para pejabat lokal yang korup yang mengeluarkan izin dan distribusi, yang dimanfaatkan oleh oknum pedagang tidak bermoral yang mengambil burung dari alam liar, tetapi mengklaimnya sebagai hasil penangkaran.
Untuk diketahui, tidak saja perdagangan ilegal di dalam negeri, penyelundupan burung juga menyebar keluar Indonesia, dan menghubungkan ke 18 negara, termasuk Filipina, tujuan utama burung beo dan kakatua Indonesia yang diselundupkan.
“Jika perdagangan burung kicau ilegal masih belum dianggap sebagai ancaman serius dan masih ditangani seperti biasa, saya memperkirakan populasi banyak spesies burung kicau akan menurun drastis, bahkan menghilang dari alam liar,” kata Marison.
Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 14 November 2024. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi
Harris, J. B. C., Tingley, M. W., Hua, F., Yong, D. L., Adeney, J. M., Lee, T. M., … Wilcove, D. S. (2016). Measuring the impact of the pet trade on Indonesian birds. Conservation Biology, 31(2), 394-405. doi:10.1111/cobi.12729
Krishna, V. V., Darras, K., Grass, I., Mulyani, Y. A., Prawiradilaga, D. M., Tscharntke, T., & Qaim, M. (2019). Wildlife trade and consumer preference for species rarity: An examination of caged-bird markets in Sumatra. Environment and Development Economics, 24(04), 339-360. doi:10.1017/s1355770x19000081
Jepson, P., & Ladle, R. J. (2005). Bird-keeping in Indonesia: Conservation impacts and the potential for substitution-based conservation responses. Oryx, 39(04), 442. doi:10.1017/s0030605305001110
Indraswari, K., Friedman, R. S., Noske, R., Shepherd, C. R., Biggs, D., Susilawati, C., & Wilson, C. (2020). It’s in the news: Characterising Indonesia’s wild bird trade network from media-reported seizure incidents. Biological Conservation, 243, 108431. doi:10.1016/j.biocon.2020.108431
***
Foto utama: Seekor burung terjerat lem pulut yang dipasang pemburu, burung-burung ini ditangkap untuk dijual. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Berkenalan dengan Cinenen Pisang, Si Burung Mungil nan Gesit