Buah Siur, Sumber Minyak Nabati di Lahan Basah Sungai Musi

1 week ago 22
  • Buah siur yang berasal dari pohon siur [Xanthophyllum lancealatum] sejak lama dimanfaatkan masyarakat di lahan basah Sungai Musi, khususnya di Desa Tempirai sebagai sumber minyak nabati.
  • Namun, sejak 1990-an, seiring dengan berkembangnya perkebunan sawit skala besar, minyak siur tergantikan oleh minyak sawit yang mendominasi pasaran.
  • Buah siur juga menjadi makanan penting bagi berbagai jenis ikan, khususnya dari keluarga patin [Pangasiidae]. Sejumlah penelitian mengkonfirmasi hal ini, dan menekankan pentingnya menjaga hutan di lahan basah bagi keanekaragaman jenis ikan air tawar.
  • Pengetahuan lokal seperti pemanfaatan pohon siur yang penting bagi ekosistem dan budaya masyarakat setempat penting untuk dihidupkan kembali, guna memenuhi kebutuhan pangan lokal serta mengatasi krisis iklim yang kian mengancam bumi.

Sebagian masyarakat di lahan basah Sungai Musi, sudah memanfaatkan buah siur sebagai sumber minyak nabati, jauh sebelum perkebunan sawit hadir di Sumatera Selatan.

“Baunya wangi dan menyegarkan, tidak kalah dengan minyak zaitun. Biasanya digunakan untuk menggoreng ikan dan menumis sayuran, masakan jadi lebih enak,” kata Hoimi, warga Desa Tempirai Selatan, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], Sumatera Selatan, awal Januari 2025.

Buah siur berasal dari pohon siur yang tumbuh subur di ekosistem lahan basah Sungai Musi. Di Desa Tempirai, pohon ini bisa ditemukan dengan mudah di sepanjang Sungai Penukal [sungai utama di Desa Tempirai], hingga di belakang rumah warga.

Tekstur pohonnya kasar dengan sistem percabangan acak kokoh. Daunnya meruncing ke arah pangkal. Di ujung ranting, buah siur yang berbentuk bulat sedikit lonjong ini, menjuntai ke tanah.

Menurut Hoimi, buah siur yang paling siap dijadikan minyak harus dalam kondisi matang. Ditandai dengan warna yang berubah dari hijau ke kuning dengan diameter 2-3 sentimeter.

“Sebelum diperas minyaknya, harus direbus lalu dikeringkan, karena buah yang diambil biasanya jatuh ke air,” lanjutnya.

Baca: Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya

Buah siur yang dimanfaatkan warga Desa Tempirai sebagai sumber minyak nabati. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Setelah direbus dan dikeringkan, kulitnya akan terkelupas dan meninggalkan biji yang siap diperas menggunakan alat tradisional dari kayu.

“Satu kilogram bisa menghasilkan sekitar 100-150 ml minyak atau setengah cangkir plastik air mineral kemasan,” kata Mira, perempuan nelayan di Desa Tempirai, di sekitar aliran Sungai Penukal.

Namun, sejak 1990-an, minyak buah siur perlahan digantikan minyak sawit yang mendominasi toko-toko kelontong di Desa Tempirai. Menurut Ibrahim, warga sekaligus Kepala Dusun VII Desa Tempirai Selatan, peralihan tersebut terjadi karena faktor kepraktisan minyak sawit kemasan yang tersedia di pasaran.

“Ini juga seiiring berkembangnya industri sawit.”

Baca: Hebatnya Perempuan Tempirai, Bangga Jadi Petani dan Penyedia Pangan Masyarakat

Biji buah siur yang dikeringkan dapat menghasilkan minyak nabati dan berpotensi memenuhi kebutuhan minyak di tingkat lokal. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Sebagai informasi, dikutip dari cnbcindonesia.com, sawit mulai diperkenalkan di Indonesia pada 1848. Saat itu, diawali penanaman empat biji sawit di Kebun Raya Bogor. Dari situ, perkebunan komersial pertama dibuka di Sumatera pada 1911, tepatnya di di Pulau Raja [Asahan] dan Sungai Liput [Aceh].

Di Sumatera Selatan, sebagian besar perkebunan sawit menyasar wilayah lahan basah Sungai Musi yang memiliki luas sekitar tiga juta hektar. Adios Syafri, dari Hutan Kita Institute [HaKI], menyatakan bahwa rawa gambut yang dijadikan perkebunan sawit oleh 70 perusahaan di Sumatera Selatan, luasnya sekitar 231.741 hektar.

Sebarannya berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Kabupaten PALI, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Musi Rawas Utara.

Selain itu, sekitar 17 perusahaan menjadikan rawa gambut sebagai hutan tanaman industri [HTI] seluas 559.220 hektar. Serta, sekitar 332.158 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.

“Total luasan rawa gambut yang berubah fungsi mencapai 1.123.119 hektar,” katanya.

Baca: Bagaimana Masyarakat Tempirai Memahami Lahan Basah?

Miniatur alat pemeras minyak buah siur yang dibuat oleh Hoimi di Desa Tempirai. Foto: Nopri ismi/Mongabay Indonesia

Makanan ikan

Pohon siur dengan nama ilmiah Xanthophyllum lancealatum, tumbuh subur di lanskap lahan basah dari Sumatera hingga Bangladesh.

“Lengkapnya Xanthophyllum lanceatum [Miq.] J.J. Sm. Di wilayah Sumatera nama pohon ini siur siur, di Jambi dan seterusnya medang siro atau  kayu siur,” jelas Prof. Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi, Departemen Biologi FMIPA, Universitas Padjadjaran [UNPAD], kepada Mongabay, Selasa [14/1/2024].

Mengutip dari penelitian Moungsrimuangdee dan kolega [2020], pohon siur menunjukkan toleransi yang kuat terhadap banjir, dan memainkan peran penting dalam pemulihan vegetasi [Moungsrimuangdee & Nawajongpan, 2016].

“Dulunya, buah ini digunakan sebagai umpan mencari ikan di bubu atau sengkirai, di Sungai Penukal,” kata Ibrahim.

Baca: Kearifan Masyarakat Tempirai: Menjaga Ekosistem Ikan Air Tawar dengan Melindungi Lahan Basah

Buah siur yang terjatuh ke air menjadi makanan sejumlah jenis ikan, khususnya dari keluarga patin. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Jenis ikan yang memakan buah siur didominasi seperti ikan juaro [Pangasius polyuranodon], termasuk juga ikan ikan dukang [Bagroides melapterus], serta ikan tembakang [Helostoma temminckii].

Hal ini juga dikonfirmasi melalui penelitian Baird [2007], yaitu berdasarkan pengamatan nelayan di Distrik Khong, Provinsi Champasak, Laos, ikan-ikan di Sungai Mekong secara rutin mengonsumsi buah, bunga, dan daun dari pohon tertentu.

Ini diperkuat dengan temuan buah pohon siur di perut ikan juaro yang ditangkap di wilayah tersebut. Lebih luas lagi, ada sekitar 1.617 spesimen ikan yang termasuk dalam 73 spesies, 52 marga, dan 20 famili telah diperiksa.

Sekitar 35 spesies buah hutan, 13 spesies daun segar, dan 3 spesies bunga ditemukan di perut ikan, bersama kulit kayu, akar, dan berbagai macam makanan ikan lainnya.

“Penduduk desa menyebutkan 73 spesies tanaman yang diyakini dikonsumsi ikan, termasuk 9 yang cocok untuk kail umpan untuk menangkap ikan. Spesies dalam famili patin [Pangasiidae] ditemukan sebagai konsumen terpenting buah dan bahan tanaman vaskular segar lainnya,” tulis penelitian tersebut.

Penelitian tersebut juga menekankan pentingnya untuk menjaga lanskap hutan di lahan basah bagi kesehatan ekosistem, khususnya anak-anak ikan yang mungkin sangat bergantung pada hutan yang tergenang air musiman sebagai tempat berlindung.

“Habitat tepi sungai yang tergenang air secara musiman, memiliki banyak fungsi ekologi penting lain seperti menciptakan naungan bagi ikan, mengurangi penguapan air, dan mencegah erosi tanah,” tulis penelitian tersebut.

Barisan pohon siur yang tumbuh subur di belakang rumah warga di Desa Tempirai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Dihidupkan kembali

Pohon siur, merupakan contoh kecil satu spesies pohon yang memiliki peran penting bagi ekologi dan budaya masyarakat sekitar, selain penting bagi ekosistem lahan basah.

“Pemanfaatannya sebagai minyak nabati, obat-obatan dan semua pengetahuan masyarakat harus dihidupkan kembali,” terang Johan Iskandar.

Dijelaskannya, saat ini para peneliti di dunia sedang melihat keterkaitan yang kuat antara budaya dan kenakeragaman hayati. Konsep ini disebut biokultur yang beranjak dari banyaknya temuan bahwa “hutan primer” dan “titik panas” keanekaragaman hayati di dunia, terletak di wilayah dengan keanekaragaman budaya penduduk lokal yang tinggi.

“Mereka mengelola sumber daya alam berdasarkan budaya khas dan pengetahuan, serta kearifan tradisional yang saling terkait dengan ekosistem setempat.”

Hoimi [kiri] dan Ibrahim [kanan] berdiri di bawah rindangnya pohon siur yang terendam, di sekitar lahan basah Desa Tempirai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Pemerintah Indonesia harus banyak belajar dari pengetahuan lokal tersebut, serta mengintegrasikannya ke dalam berbagai kebijakan lingkungan di tingkat nasional hingga daerah.

Johan melanjutkan, perkebunan monukultur atau skala besar saat ini, baik itu untuk pemenuhan pangan nasional dan lainnya, tidak lagi relevan dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia.

“Setiap pemangku kebijakan di tingkat nasional dan daerah harus memiliki kecerdasan seperti masyarakat lokal yang bijak dalam memilih, memanfaatkan dan mengelola alam sesuai potensi dan ekosistem di sekitar mereka. Ini penting, mengingat krisis iklim yang kian mengancam bumi,” tegasnya.

Di sepanjang Sungai Penukal ini, banyak ditumbuhi pohon siur yang penting bagi budaya masyarakat dan ekosistem lahan basah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Referensi:

Baird, I. G. (2007). Fishes and forests: the importance of seasonally flooded riverine habitat for Mekong River fish feeding. Nat. Hist. Bull. Siam Soc, 55(1), 121–148.

Moungsrimuangdee, B., & Nawajongpan, T. (2016). A survey of riparian species in the Bodhivijjalaya College’s forest, Srinakharinwirot University, Sa Kaeo. Thai Journal of Forestry, 35(3), 15–29.

Moungsrimuangdee, B., Waiboonya, P., Yodsa-nga, P., & Larpkern, P. (2020). Responses to flooding of two riparian tree species in the lowland tropical forests of Thailand. Environment and Natural Resources Journal, 18(2), 200–208.

Rendingan, Tumbuhan Istimewa di Lahan Basah Sungai Musi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|