- Air laut memang dapat memadamkan api, karena pada dasarnya air laut tetaplah air. Namun, kandungan garam di dalamnya mengurangi efektivitasnya dalam menyerap panas, sehingga kurang efektif dibandingkan air tawar.
- Penggunaan air laut dalam pemadaman kebakaran memiliki risiko yang perlu dipertimbangkan, termasuk korosi pada peralatan pemadam kebakaran, kerusakan ekosistem akibat tingginya kadar garam, dan dampak negatif pada tanah dan vegetasi.
- Meskipun memiliki kekurangan, air laut tetap menjadi pilihan terakhir dalam situasi darurat seperti kebakaran hutan California, di mana sumber air tawar terbatas dan api mengancam jiwa dan harta benda. Penggunaan air laut dalam kondisi ini merupakan langkah darurat untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi aset berharga.
California Selatan kembali dilanda bencana kebakaran hutan yang dahsyat. Kobaran api dari Kebakaran Palisades dan Eaton telah menghanguskan ribuan hektar lahan, menghancurkan rumah-rumah, dan memaksa ratusan ribu penduduk untuk mengungsi. Di tengah kekacauan tersebut, muncul pertanyaan dari banyak orang yang makin cemas: mungkinkah air laut menjadi solusi pemadaman api?
Kekhawatiran ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk laporan mengenai menipisnya sumber air tawar di Los Angeles. Kondisi ini memaksa petugas pemadam kebakaran untuk menggunakan air laut dalam upaya memadamkan api, sebuah langkah yang sebenarnya dihindari karena berbagai dampak negatifnya. Meskipun Samudra Pasifik terbentang luas di sepanjang garis pantai California, penggunaan air laut untuk memadamkan kebakaran hutan bukanlah tanpa konsekuensi.
Seperti yang dijelaskan dalam berbagai sumber, penggunaan air laut umumnya merupakan pilihan terakhir. Garam dalam air laut dapat menyebabkan korosi pada peralatan pemadam kebakaran dan merusak ekosistem, terutama padang rumput chaparral di sekitar Los Angeles yang sangat sensitif terhadap garam. Selain itu, air laut dapat menyebabkan salinisasi tanah, yaitu peningkatan kadar garam dalam tanah, sehingga menyulitkan tanaman untuk menyerap air dan nutrisi.
Meskipun demikian, dalam situasi darurat seperti yang terjadi di California Selatan, air laut tetap menjadi pilihan terakhir ketika sumber air tawar terbatas. Petugas pemadam kebakaran harus menimbang dengan cermat manfaat dan risiko penggunaan air laut, serta meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Menariknya, penggunaan air laut untuk memadamkan kebakaran bukanlah hal baru. Sejarah mencatat beberapa contoh pemanfaatan air laut dalam situasi darurat:
- Kebakaran Besar Chicago (1871): Ketika sistem pemadam kebakaran kota lumpuh, air dari Danau Michigan yang berair payau digunakan untuk memadamkan api yang melahap kota.
- Perang Dunia II: Kapal perang seringkali menggunakan air laut untuk memadamkan kebakaran di kapal, karena merupakan sumber air yang paling mudah diakses.
- Kebakaran Hutan di Yunani (2021): Helikopter dan pesawat pemadam kebakaran mengambil air laut untuk memadamkan kebakaran hutan yang meluas di Yunani, karena sumber air tawar terbatas.
Baca juga: Gambut Konsesi Terbakar di Kalteng, Bukan Restorasi Malah jadi Sawit
Air Laut dan Api: Memahami Sifat dan Mekanisme
Air laut memang sebagian besar terdiri dari air (H₂O), sama seperti air yang kita minum. Namun, air laut juga mengandung berbagai macam garam mineral. Garam-garam ini terlarut dalam air, membuat air laut terasa asin. Kandungan garam inilah yang membedakan air laut dengan air tawar.
Api muncul karena adanya reaksi kimia yang disebut pembakaran. Agar terjadi pembakaran, dibutuhkan tiga unsur:
- Bahan bakar: Benda yang bisa terbakar, seperti kayu, kertas, atau bensin.
- Oksigen: Gas yang ada di udara, yang membantu proses pembakaran.
- Panas: Sumber energi yang memicu proses pembakaran, misalnya percikan api atau panas matahari.
Ketika ketiga unsur ini bertemu dalam kondisi yang tepat, terjadilah pembakaran dan muncul api.
Air bisa memadamkan api karena sifatnya yang dapat menyerap panas. Ketika air disiramkan ke api, air akan menyerap panas dari bahan yang terbakar. Panas ini akan membuat air menguap menjadi uap air. Proses penguapan ini membutuhkan energi panas, sehingga api akan kehilangan panas dan suhunya turun. Jika suhu api turun di bawah titik nyala bahan bakar, api akan padam.
Air laut juga bisa memadamkan api dengan cara yang sama, yaitu dengan menyerap panas. Namun, garam yang terkandung dalam air laut sedikit mengurangi efektivitasnya dalam menyerap panas. Garam dalam air laut “menghambat” molekul air dalam menyerap panas dari api. Akibatnya, air laut tidak seefektif air tawar dalam mendinginkan dan memadamkan api.
Meski begitu, memadamkan kebakaran di California dengan air laut menjadi pilihan paling akhir bagi otoritas di sana. Inilah beberapa faktor penyebabnya.
Aksesibilitas Air Laut: Tantangan Mengambil Air dari Laut
California memang memiliki armada udara pemadam kebakaran terbesar di dunia, dengan lebih dari 60 pesawat. Namun, hanya segelintir yang mampu mengambil air langsung dari laut. Salah satunya adalah “Super Scooper” CL-415, pesawat amfibi bernilai jutaan dolar yang dapat mengangkut 7 ton air dalam satu kali pengambilan. Super Scooper telah dikerahkan untuk melawan Kebakaran Palisades, namun efektivitasnya terkendala beberapa faktor:
- Kerusakan dan Gangguan: Salah satu dari dua Super Scooper yang tersedia terpaksa dihentikan sementara karena rusak akibat drone ilegal.
- Angin Kencang: Angin Santa Ana yang kencang dan berubah-ubah menyulitkan pesawat untuk terbang dengan aman dan menjatuhkan air secara tepat sasaran. Turbulensi dan angin kencang dapat mengubah air yang dijatuhkan menjadi kabut, bukan hujan deras yang dibutuhkan untuk memadamkan api. Kondisi cuaca ekstrem ini menjadi tantangan tersendiri bagi pilot dan kru pemadam kebakaran.
Selain Super Scooper, ada juga pesawat pemadam kebakaran lain yang dapat mengambil air dari sumber air terbuka, termasuk danau dan waduk. Namun, akses ke sumber air ini juga dapat terbatas oleh faktor geografis dan kondisi medan.
Baca juga: Sumatera Selatan Belum Bebas Karhutla, ini Buktinya
Air Garam: Ancaman Korosi bagi Peralatan Pemadam Kebakaran
Air laut mengandung garam yang bersifat korosif. Korosi adalah proses degradasi material akibat reaksi kimia dengan lingkungan. Dalam kasus ini, garam dalam air laut dapat mempercepat proses korosi pada logam, menyebabkan karat dan kerusakan pada peralatan pemadam kebakaran.
Korosi dapat mempengaruhi berbagai peralatan pemadam kebakaran, baik pesawat, pompa, maupun hidran. Pada pesawat, korosi dapat merusak struktur pesawat, sistem hidrolik, dan komponen penting lainnya. Pada pompa dan hidran, korosi dapat menyebabkan kebocoran, mengurangi tekanan air, dan bahkan kegagalan sistem.
Garam mempercepat proses korosi pada logam dengan bertindak sebagai elektrolit. Elektrolit adalah zat yang menghantarkan arus listrik ketika dilarutkan dalam air. Dalam proses korosi, garam memudahkan transfer elektron antara logam dan oksigen, menyebabkan logam kehilangan elektron dan membentuk oksida logam (karat).
Dampak Jangka Panjang Air Asin: Ancaman bagi Ekosistem
Penggunaan air laut dalam pemadaman kebakaran hutan, meskipun tampak sebagai solusi praktis, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap lingkungan. Para ahli ekologi khawatir garam dari air laut akan tertinggal di tanah dan merusak vegetasi, mengancam keseimbangan ekosistem yang rapuh. Kondisi kering di California Selatan, yang seringkali dilanda kekeringan, dapat memperparah masalah ini. Air laut yang tertinggal di tanah akan menguap, meninggalkan garam yang terkonsentrasi dan meresap ke dalam tanah. Tanpa curah hujan yang cukup untuk mencuci garam tersebut, dampaknya pada vegetasi dan tanah bisa bertahan selama bertahun-tahun.
Garam berlebih di tanah dapat mengubah struktur tanah, menghambat pertumbuhan pohon, dan mempengaruhi keseimbangan ekosistem dalam jangka panjang. Tanah yang terkontaminasi garam dapat menjadi kurang subur, mengurangi kemampuannya untuk menahan air dan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat, dan produktivitas lahan menurun. Hal ini dapat berdampak pada keanekaragaman hayati, karena beberapa spesies tanaman mungkin tidak mampu bertahan di lingkungan yang terkontaminasi garam.
Pohon yang terpapar garam juga dapat mengalami berbagai masalah. Garam dapat menyebabkan dehidrasi pada pohon, karena garam menarik air dari akar dan daun. Selain itu, garam dapat merusak akar pohon, menghambat penyerapan air dan nutrisi. Dalam kasus yang parah, paparan garam yang berkepanjangan dapat menyebabkan kematian pohon. Patrick Megonigal, seorang ahli ekologi ekosistem di Pusat Penelitian Lingkungan Smithsonian, menjelaskan bahwa “percobaan laboratorium menunjukkan bahwa garam menyebabkan tanah liat dan partikel lainnya menyebar dan bergerak di dalam tanah. Perubahan kimia dan struktur tanah seperti itu dapat bertahan selama bertahun-tahun.”
Dampak negatif garam pada tanah dan vegetasi dapat menyebabkan erosi tanah, meningkatkan risiko banjir, dan mengurangi kualitas air. Erosi tanah terjadi karena tanah yang terkontaminasi garam menjadi lebih rentan terhadap angin dan air. Banjir dapat terjadi karena tanah yang terkontaminasi garam kehilangan kemampuannya untuk menyerap air. Kualitas air juga dapat menurun karena garam dan polutan lainnya terbawa oleh air hujan ke sungai dan danau.
Selain itu, penggunaan air laut dalam jumlah besar juga dapat berdampak negatif pada kehidupan akuatik di perairan sekitar. Peningkatan salinitas dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan dan membahayakan organisme yang sensitif terhadap perubahan kadar garam.