- Saat sebagian orang harus antre gas elpiji tiga kilogram imbas pembatasan pemerintah, Catur Suharno bisa duduk tenang tak terdampak. Maklum, Catur sang Kepala Dusun Banteran, Desa Donoharjo, Sleman, Yogyakarta ini bisa memenuhi kebutuhan energi secara mandiri.
- Sebagian besar penduduk Banteran adalah petani dan peternak sapi. Kondisi ini memungkinkan untuk mendorong pengelolaan limbah kotoran sapi menjadi biogas dengan kapasitas lebih besar.
- Cara kerja biogas adalah dengan menangkap gas metana dan karbondioksida yang dihasilkan dari limbah hewan, manusia, atau bahkan sampah organik. Jika terlepas ke udara, gas tersebut dapat berdampak pada efek rumah kaya yang memicu perubahan iklim.
- Suyono, praktisi biogas sebut, pemanfaatan biogas tidak hanya bisa dilakukan di pedesaan, tetapi juga perkotaan dengan kotoran manusia (septic tank) maupun sisa makanan dapur. Syaratnya, limbah yang terbuang tidak tercampur dengan sabun, deterjen, atau cairan pembersih kloset karena mematikan bakteri anaerob.
Saat sebagian orang harus antre gas elpiji tiga kilogram imbas pembatasan pemerintah, Catur Suharno bisa duduk tenang tak terdampak. Maklum, Catur sang Kepala Dusun Banteran, Desa Donoharjo, Sleman, Yogyakarta ini bisa memenuhi kebutuhan energi secara mandiri.
Dia punya instalasi biogas hasil kerjasama antara Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pertamina. “Jadi nggak perlu antre,” katanya rumahnya, pertengahan Februari.
Instalasi biogas yang dia bangun setahun lalu itu tak begitu besar, hanya 3×3 meter. Agar tak kerepotan saat memasukkan kotoran sapi, Catur membangun tepat di dekat kandang. Meski ukuran tak seberapa besar, gas cukup untuk tiga rumah.
Cara kerja biogas itu lumayan sederhana. Catur cukup memasukkan kotoran dari empat sapi campur air dengan perbandingan 1:1 ke fixed dome. Itu setiap 2-3 hari sekali. Lalu, gas yang keluar dia salurkan ke dalam rumah.
Catur masih tetap membeli gas melon tetapi dengan ada biogas, mendapat banyak keuntungan. Sebelumnya, harus membeli gas melon seminggu sekali. Sekarang, bisa lebih hemat. “Kalau dulu seminggu sekali, sekarang bisa dipakai dua minggu lebih.”
Selain lebih hemat, limbah akhir dari biogas atau bio slurry juga bisa dia manfaatkan untuk pupuk, baik cair maupun padat. Bahkan, kualitas lebih baik karena sudah terfermentasi sempurna.
Sekitar 60% warga dusun adalah petani. Sejak dulu, mereka kerap menggunakan kotoran sapi untuk pupuk. Bedanya, dulu, kotoran sapi belum terkelola dengan sempurna seperti limbah akhir biogas. “Kalau kemarin-kemarin cuma dikeringkan. Sekarang, ada proses fermentasinya” katanya.
Catur tidak hanya memberi perhatian pada limbah kotoran sapi, juga manusia. Dia terlibat dalam pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal pada 2011. Ada sekitar 60-an keluarga menyalurkan limbah domestik ke IPAL komunal dengan retribusi Rp5.000 per bulan untuk perawatan.
Untuk menghilangkan bau saat musim kemarau, Catur memasukkan tetes tebu atau molase sebagai pengurai. “Itu sangat membantu masyarakat dari segi kesehatan daripada (dibuang) di sungai, sebelumnya kan banyakan di sungai.”

Kisah di balik biogas
Adalah Suyono, orang di balik pembuat biogas di sekitar wilayah Yogyakarta. Termasuk yang memasang reaktor di rumah Catur. Laki-laki bertubuh gempal yang menginjak usia 50 tahun ini, tinggal di Desa Minggir, Sendang Agung, Sleman, Yogyakarta.
Sebelum menggeluti biogas, Suyono sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Dia mengikuti perkembangan awal mula biogas saat Pemerintah Indonesia canangkan sekitar 2009.
Pada 2014, Suyono pulang ke Indonesia menjadi sopir di Yayasan Rumah Energi di Jakarta. Dari situ, dia mendapat banyak kesempatan belajar soal biogas secara otodidak.
Setelah pulang ke kampung, Suyono melihat kegagalan biogas yang beberapa orang buat. Dia pun kemudian rela menggunakan uang pribadi untuk mempelajari dan memperbaiki instalasi-instalasi mangkrak dan banyak pemiliknya tinggalkan.
“Ketika saya buat disini dulu banyak yang ketawa halah mas wong tingga beli aja di warung, mau susah-susah belum tentu jadi kan gitu, “ kenangnya.
Tahun 2015, Suyono membuat biogas sendiri di rumahnya dengan ukuran delapan meter kubik menghasilkan 1,8 kilogram gas perhari. Sejak itulah, Suyono tak pernah lagi membeli gas elpiji hingga sekarang. Dia bahkan mengalirkan gas itu ke dua tetangganya secara cuma-cuma.
Biogas ini dari kotoran kambing dan burung puyuh yang dia ternak di samping rumah. Limbah akhir dari kotoran ternak itu, dia pakai memupuk sayur dan buah di sekitar rumah. “Nah (biogas) punya saya kalau dipakai (terus) delapan jam baru habis. Kalau dulu biasanya satu minggu habis satu (gas elpiji tiga kilogram).”
Setelah berhasil memasang biogas, tahun 2018, banyak permintaan pemasangan biogas ke Suyono, termasuk di pondok pesantren di dekat kampungnya. Bahkan, dia juga pernah memasang sekitar 500 reaktor di Nusa Tenggara Timur.
Rumah Suyono sering dapat kunjungan sebagai tempat belajar biogas dari berbagai kota, termasuk luar negeri seperti Australia dan Jerman. Mereka biasa tinggal beberapa waktu di desa yang dikelilingi aliran sungai dan rimbunan pohon itu.
“Jadi elpiji itu karena bahan dari fosil bumi, makin lama juga saya rasa makin menipis, pasti itu akan langka. Kan berbeda dengan yang seperti ini, selama kita masih hidup pasti ada kan, itu pasti akan terbentuk.”

Bagaimana di perkotaan?
Banyak anggapan biogas memerlukan lahan luas dan hanya bisa dengan kotoran sapi. Anggapan itu Suyono bantah. Dia bilang, banyak kotoran hewan bisa untuk biogas, seperti kambing, babi, ayam, burung puyuh. Bahkan, sisa masakan dapur seperti sayur, buah dan nasi pun bisa. “Apalagi kalau hewan yang amoniaknya tinggi, seperti ayam, babi, puyuh.”
Di perkotaan dengan lahan terbatas, pemanfaatan biogas bisa dengan memanfaatkan kotoran manusia (septic tank) maupun sisa makanan dapur. Syaratnya, limbah tidak tercampur sabun, deterjen, atau cairan pembersih kloset karena mematikan bakteri anaerob.
Tantangan lain, ada anggapan menggunakan gas dari kotoran manusia berbau. “Padahal, gas yang dihasilkan tidak bau sama sekali dan apinya jauh lebih besar serta berwarna biru. Jadi kalau bikin itu di perkotaan harus sosialisasinya cukup panjang.”
Dia nilai, pondok pesantren (ponpes) sebagai lokasi ideal untuk biogas berbasis tinja. Juga pasar yang banyak menghasilkan sampah organik sisa sayur-mayur maupun buah-buahan. Namun harus ada petugas yang bisa mengurus dan memahami cara kerjanya.
Biogas tinja, saat pengisian awal tetap memakai kotoran ternak basah untuk menghidupkannya. Setelah itu baru bisa menggunakan kotoran manusia maupun sisa sampah organik lain.
“Kalau dari sapi itu karbonnya, nitrogennya, yang paling sempurna. Kemudian ketika proses masuk digeser (ganti) itu, kita butuh waktu kalau gak ada bantuan alami paling gak satu bulan.”
Dengan keahlian dan pengalamannya, Suyono kerap menjadi pengawas reaktor biogas dari program pemerintah. Biasanya, biogas proyek pemerintah berukuran 20 meter kubik. Paling tidak perhari menghasilkan lima kilogram kalau dengan gas elpiji ukuran lima kilogram. Itupun untuk memenuhi kebutuhan delapan sampai sembilan rumah tangga.
Dalam proyek pemerintah, biasa pemborong masih kurang memahami soal kinerja biogas sepenuhnya. Hingga banyak biogas tidak berfungsi dengan baik dan berakhir mangkrak.
“Saya banyak menemukan itu. Satu, dikurangi anggarannya, kedua, pokoknya bangun sekadarnya. Kemudian mereka belum memahami betul kinerja biogas atau masih setengah-setengah,”katanya.
Di setiap kesempatan saat pertemuan warga, Suyono kerap menyampaikan pentingnya memanfaatkan sumber daya alam secara mandiri dan berkelanjutan, termasuk bersikap kritis terhadap program pemerintah yang kadang tidak sesuai.
“Sebenarnya, kita itu mampu, apalagi yang di pedesaan. Jangan semua tergantung sama pemerintah. Kalau kita tidak mau mandiri sebenarnya kita sulit. Memang di awal rasanya berat, tapi anggap saja ini investasi jangka panjang.”

******