- Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, terletak di pinggir Sungai Alas – Singkil ini dekat perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL].
- Pengelolaan Stasiun Soraya dilakukan Forum Konservasi Leuser [FKL] bekerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] VI Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK]
- Di hutan Soraya, orangutan bernama Paulo dan Pasta juga terpantau. Paula adalah sang induk dan Pasto anaknya. Keduanya sering mendatangi Soraya.
- Di stasiun ini tidak diperbolehkan memberi makan, mengganggu, juga menirukan suara satwa liar. Satwa liar harus hidup alami.
Matanya besar menghadap ke depan. Kepalanya dapat berputar hingga 180 derajat. Gaya terbangnya senyap, dengan rentang sayap bisa mencapai tiga kali ukuran tubuhnya. Inilah ciri khas burung hantu, jenis unik yang aktif malam hari/nokturnal.
Tidak mudah menemukan spesies ini, terlebih siang hari, karena mereka berada di balik rimbunnya dedaunan. Bahkan, jenis tertentu hanya bisa ditemukan di beberapa pulau di Indonesia.
Jenis burung hantu yang biasa kita temukan adalah beluk ketupa [Ketupa ketupu] yang juga disebut Buffy Fish-owl. Jenis ini berukuran sekitar 45 sentimeter dan hidup di hutan dataran rendah hingga ketinggian 1.100 meter.
Burung famili Strigidae ini terpantau kehadirannya siang hari di sekitar Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, akhir Desember 2024.
Foto: Paula Pasto, Orangutan Sumatera “Penghuni” Stasiun Penelitian Soraya
Stasiun yang terletak di pinggir Sungai Alas – Singkil ini, merupakan kawasan hutan lindung bekas wilayah izin hak pengusahaan hutan [HPH] PT Asdal Prima Lestari dan PT Hargas Industries Indonesia.
Setelah kawasan hutan ini kembali pulih dan pepohonannya mulai besar, banyak satwa datang kembali, mulai burung, hingga satwa dilindungi dan terancam punah seperti orangutan, gajah, dan harimau sumatera.
Di hutan ini orangutan bernama Paulo dan Pasta juga terpantau. Paula adalah sang induk dan Pasto anaknya. Keduanya sering mendatangi Soraya.
“Di stasiun ini tidak diperbolehkan memberi makan, mengganggu, juga menirukan suara satwa liar. Satwa liar harus hidup alami. Satwa di sini hidup alami, jangan sampai perilakunya berubah karena ulah kita,” terang Manajer Stasiun Riset Soraya, Feri Sandria, beberapa waktu lalu.
Foto: Indahnya Hutan Leuser dari Sungai Alas-Singkil
Stasiun Penelitian Soraya merupakan tempat penelitian yang berada dekat perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Pengelolaannya dilakukan oleh Forum Konservasi Leuser [FKL] bekerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] VI Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh.
Ibnu Hasyim, Koordinator Riset, Edukasi, dan Database FKL, mengatakan keberadaan stasiun penelitian sangat penting melindungi hutan Soraya dari kegiatan yang merusak.
“Ada orang yang menjaga hutan dan satwa. Selain mendampingi peneliti, tim di stasiun juga melakukan pemantauan dan patroli,” terangnya, Jumat [17/1/2025].
Stasiun ini berfungsi menjaga dan melindungi pertumbuhan hutan, serta mempromosikan penelitian keanekaragaman hayati di hutan sekunder.
“Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya kegiatan pengrusakan hutan dan perburuan satwa liar,” katanya.
Aktif Siang Hari
Heri Tarmizi, Peneliti Burung Kelompok Studi Lingkungan Hidup [KLHS] Aceh, menyatakan tidak adanya gangguan perburuan di Stasiun Penelitian Soraya, membuat kehidupannya berjalan baik. Adanya kolam dan sungai berisi ikan maupun udang, membuatnya nyaman mendatangi tempat ini.
“Makanan utama beluk ketupa adalah ikan, serangga, katak, tikus, kadal, dan ular kecil,” terangnya, Sabtu [11/1/2024].
Heri menyebutkan, beluk ketupa berwarna cokelat kekuningan dengan bulu cokelat tua di bagian punggungnya.
“Wajahnya lebih pucat dengan alis cokelat muda. Berdasarkan data, spesies ini pemakan ikan kecil.”
Meskipun aktif malam hari, namun di tempat yang teduh, satwa ini juga aktif siang hari.
“Seperti di hutan, umumnya sinar matahari tertutup pepohonan, sehingga dapat aktif juga siang hari.”
Beluk ketupa umumnya mendiami daerah basah dengan air tawar seperti di pinggir sungai, danau, dan lainnya. Namun, tidak banyak penelitian tentang predator ini.
“Ia hanya menangkap ikan di air dangkal,” paparnya.
Ancaman di Habitat
Berdasarkan International Union for Conservation of Nature [IUCN], status beluk ketupa berisiko rendah. Meski begitu, ada juga ancaman di habitat alaminya.
“Jaring dan pancing yang dipasang malam hari, beberapa kali menyebabkan burung ini terluka.”
Selain itu, perdagangan untuk dijadikan peliharaan juga terjadi.
“Penyebabnya, burung ini statusnya tidak dilindungi,” ungkap Heri.
Imran, warga Kabupaten Aceh Besar, Aceh, mengatakan pernah menemukan warga yang memelihara beluk ketupa.
“Lalu dijual kepada warga Medan, Sumatera Utara, untuk dipelihara juga,” tandasnya.