- Kehidupan nelayan pesisir Kampung Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten, makin sulit karena ruang hidup makin terhimpit. Hidup di pesisir berhadapan dengan pembangunan kawasan elit dengan perairan tercemar, abrasi dan banjir rob menghantui.
- Deddy Sopyan, seniman juga anggota paduan suara Dadap mengatakan, masyarakat Dadap bikin festival seni, sebagai satu upaya berjuang menyuarakan aspirasi masyarakat Dadap lewat seni. Sekaligus memberitahu kondisi Kampung Dadap yang terancam.
- Tembok beton setinggi lima meter bentengi seperempat Kampung Dadap. Tembok berdiri tetapi banjir rob dan abrasi tetap melanda Kampung Dadap. Di balik tembok, jembatan megah PIK 2 dan gedung-gedung menjulang tinggi. Dadap dekat Bandara Internasional Soekarno Hatta.
- Suja’i, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) Kabupaten Tangerang mengatakan, pendapatan nelayan berkurang seiring krisis iklim, masif pembangunan proyek, reklamasi di pesisir Tangerang dan Teluk Jakarta. Tambah lagi, pencemaran limbah industri. Nelayan pun harus melaut dengan jarak makin jauh.
Genangan air dan rintik hujan membersamai ratusan orang yang menyaksikan band-band tampil di Festival Dadap Volume 4 bertema Balada Pesisir, di Kampung Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, 15 Desember lalu. Ada hadir Terapi Minor sampai Efek Rumah Kaca (ERK).
Kendati hujan, masyarakat dari berbagai daerah ini tetap antusias menyaksikan festival yang jadi simbol perjuangan masyarakat Dadap melawan perusakan alam, perampasan lahan dan krisis iklim ini.
Deddy Sopyan, seniman juga anggota paduan suara Dadap sekaligus panitia festival dalam puisinya menyatakan, dalam dekade terakhir, Dadap mengalami pelbagai persoalan.
Pada 2016, ada penggusuran yang berkedok penataan. Pada 2022, terjadi penggusuran lahan untuk pembangunan jalan Tol.
“Tanggul laut berdiri kokoh seperti pembatas antara keangkuhan yang tak kunjung henti. Atas nama kemanusiaan, kita semua berdiri disini untuk bersama-sama menyuarakan ketidakadilan ini, sampai kapanpun, dan dimanapun,” kata Deddy.
“Dadap harus bertahan lebih lama,” katanya menutup puisi diikuti riuh penonton.
Setelah puisi lanjut kolaborasi ERK dan Paduan Suara Dadap menyanyikan lagu “Seperti Rahim Ibu.” Puisi yang mereka bacakan membawa pesan, bahwa, Dadap yang dalam beberapa tahun ini berkelindan dengan masalah krisis iklim dan perampasan lahan dan masih akan terus berjuang.
Beberapa jam sebelum band tampil, hujan deras mengguyur hingga akses menuju lokasi banjir setinggi 50 centimeter, namun masih dapat dilalui. Kendati, ada sebagian motor mogok.
Suasana seperti ini sudah jadi hal biasa bagi warga pesisir Dadap dalam beberapa tahun terakhir. Hujan yang datang selalu menyebabkan banjir, belum lagi abrasi.
Kesulitan hidup warga Kampung Dadap, karena beberapa penyebab, seperti pembangunan kawasan elit Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 maupun pengabaian pemerintah terhadap lingkungan.
Pemerintah sudah bangun turap hampir mengelilingi Kampung Dadap, namun upaya itu tidak berhasil. Banjir justru makin lama surut.
Kampung Dadap terlihat berantakan dan banyak bangunan kosong ditinggal penghuni. Satu bangunan kosong pun masyarakat Dadap gunakan untuk gelar Festival Seni selama dua hari, 14-15 Desember lalu.
Pada festival yang berkolaborasi dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini juga menampilkan pameran foto, film pendek, dokumenter tentang kerusakan lingkungan dan kisah perjuangan masyarakat Dadap. Ada pula seni melukis di tembok dengan tema kritikan. Belakangan karya seni bertema kritik itu dihapus orang tak dikenal.
Deddy bilang, masyarakat Dadap tak bisa tidur tenang karena berbagai ancaman, seperti penggusuran, perampasan hak, ruang hidup dan krisis iklim. Berbagai upaya mereka tempuh untuk mendapat keadilan, dari jalur hukum, musyawarah sampai mediasi. Namun, katanya, hal itu tak membuahkan hasil.
Mereka pun bikin festival, sebagai salah satu upaya berjuang menyuarakan aspirasi masyarakat Dadap lewat seni. Sekaligus memberitahu kondisi Kampung Dadap yang terancam.
“Jadi, melalui festival dadap ini adalah suatu metode, mengajak teman-teman muda untuk tahu. Untuk tahu persoalan, intinya tahu dulu mereka kenapa tak peduli karena mereka tidak tahu. Juga mengajak teman-teman yang tahu.”
Pada 14 Desember, panitia mengadakan workshop “Nengokin Dadap Lebih Dekat.” Mereka ajak para peserta workshop berkeliling Kampung Dadap.
Pantauan Mongabay, kampung padat penduduk ini terlihat kumuh, akses jalan utama selebar 2 kilometer rusak parah.
Ada alat berat dan pekerja tengah membangun proyek Tol Kamal-Teluknaga-Balaraja (Kataraja) Seksi 1 sepanjang 6,7 kilometer yang menghubungkan Tol Bandara Soekarno Hatta-Kosambi, PIK 2.
Terjadi pula sedimentasi saluran air. Tinggi saluran air dan jalan pun terlihat sama. Di ujung kampung ada bangunan bekas restoran makanan laut yang sudah tak beroperasi.
Tak jauh dari restoran ada hutan mangrove rimbun walau tidak luas.
Abrasi dan banjir rob
Terlihat pula, tembok beton setinggi lima meter sepanjang seperempat Kampung Dadap. Tembok berdiri tetapi banjir rob dan abrasi tetap melanda Kampung Dadap.
Di balik tembok, jembatan megah PIK 2 dan gedung-gedung menjulang tinggi. Dadap dekat Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Slamet Riyadi, warga Dadap, mengatakan, abrasi makin parah ketika ada reklamasi Pulau G dan C di Jakarta Utara. Apalagi, PIK2 juga bangun di sekitar kampung.
“Kalau ada mangrove dulu itu meskipun ujan air ketahan. Abrasi sekarang parah banget, got aja sama pembuangan kali udah sama. Kalau air pasang kena (banjir),”katanya.
Deddy mengatakan, kondisi Kampung Dadap sebagai bentuk pengabaian pemerintah. Warga tak betah pun pindah.
“Agar warga terus-terusan dicap kumuh, warga tidak betah di kampung ini dan akan menjual tanah. Ini pengabaian masif, terstruktur.”
Bila melihat peta PIK 2, Dadap salah satu kawasan pengembangannya. Sedang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Banten 2023-2043, Dadap jadi kawasan perumahan, transportasi, perindustrian, perikanan dan pariwisata.
Hendra, warga Dadap mengatakan, kondisi Dadap jauh berbeda dengan 20 tahun lalu. Banjir rob dan abrasi tak separah sekarang. Dulu, kalaupun banjir surut cepat, tak seperti sekarang.
“Sebelum ada tembok itu kalau banjir surut cepet. Sekarang ada tembok jadi lama,” ucap nelayan rajungan usia 37 tahun ini.
Hasil tangkapan ikan dulu melimpah. Bahkan, nelayan tak perlu pergi ke laut lepas untuk mendapatkan hasil, di pinggir pun ada. Hari demi hari, tangkapan nelayan mulai menyusut seiring pembangunan dan pencemaran limbah.
“Sekarang harus ke tengah. Jauh. Bisa sampe ke Pulau Bidadari, Pulau Untung Jawa (Kepulauan Seribu). Boros bahan bakar. Mau gak mau, karena di pinggir ini udah tercemar,” katanya.
Sebagian besar warga Dadap mengandalkan laut untuk menopang hidup. Ada yang jadi nelayan, maupun buruh nelayan. Kapal-kapal kayu nelayan itu pun terparkir di sepanjang aliran Kali Dadap menuju laut.
Penghasil kerang hijau
Sepanjang perjalanan mengitari Kampung Dadap, berceceran cangkang kerang hijau di jalan bahkan ada yang sudah menggunung. Pemandangan itu biasa dan disengaja.
Dadap, merupakan penghasil kerang hijau. Lantaran tidak ada penampungan, cangkang kerang hijau itu mereka tumpuk, ada untuk menambal jalan rusak.
Di ujung kampung, tak jauh dari tembok besar, terdapat bangunan semi permanen besar merupakan markas pengepul kerang hijau. Di sana, pengepul memperkerjakan warga untuk mengupas cangkang kerang hijau.
Nampak, di bangunan berdesain terbuka itu buruh-buruh pengupas kerang hijau adalah para perempuan tua muda. Dengan pisau kecil, para buruh telaten mengupas dan memisahkan daging kerang hijau dari cangkang.
Daging kerang yang terpisah dari cangkang mereka kumpulkan satu per satu ke ember berukuran sekitar dua liter. Setelah penuh, mereka setorkan ke pengepul. Untuk satu ember kerang hijau buruh dapat upah Rp5.000.
“Paling saya kalo udah 4-6 ember udah, pulang,” kata Ati, buruh pengupas kerang.
Aktivitas ini, sudah dia lakukan sekitar lima tahunan. Dia terpaksa jadi buruh pengupas kerang buat membantu suami.
“Ke laut aja kurang, apalagi gak nentu. Kadang ada, kadang enggak,” ucap nenek satu cucu ini.
Suja’i, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) Kabupaten Tangerang mengatakan, pendapatan nelayan berkurang seiring krisis iklim, masif pembangunan proyek, reklamasi di pesisir Tangerang dan Teluk Jakarta. Tambah lagi, pencemaran limbah industri. Nelayan pun harus melaut dengan jarak makin jauh.
“Artinya, menambah ongkos baik solar, perbekalan, tambah lagi waktu. Kita selalu berkejaran dengan kondisi alam yang seharusnya kita dalam sekian ratus meter radius di laut. Kemudian kita dalam sekian waktu cepat bisa bekerja di sana Tapi kami harus lebih jauh.”
Logistik yang makin meningkat dan tangkapan kian menurun membuat nelayan makin tersiksa. Suja’i bilang, pengeluaran naik namun tidak dengan pendapatan.
“Secara ekonomi jelas kami menurun. ditambah di perairan itu sudah tidak lagi seperti dulu. Kalau dulu itu belum ada gangguan-gangguan dampak kegiatan manusia di darat, Ikan-ikan masih pada subur.”
**********
Desa Tanjung Burung Tangerang Banjir Parah, Hutan Mangrove Hilang?