Bagaimana Masyarakat Tempirai Memahami Lahan Basah?

3 weeks ago 29
  • Tempirai merupakan kawasan lahan basah di Penukal, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumatera Selatan, yang luasnya sekitar 13.904 hektar.
  • Sebagian besar masyarakat Tempirai hidup sebagai manusia “ampibi”. Mereka mampu hidup di air dan di darat, sehingga menjadi masyarakat multikultural. Mereka bukan hanya mencari ikan sebagai sumber pangan dan ekonomi, juga berkebun, serta bersawah atau menanam padi saat musim kemarau.
  • Salah satu yang menarik dari masyarakat Tempirai adalah permukiman mereka yang berbentuk melingkar. Semua bangunan rumah menghadap titik tengah, berupa balai pertemuan dan masjid.
  • Sebagaimana umumnya wilayah lahan basah Sungai Musi, sebagian besar lahan basah di Tempirai mengalami kerusakan. Sebagian besar hutan terbuka, akibat hadirnya perkebunan sawit.

Tempirai merupakan kawasan lahan basah di Penukal, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumatera Selatan, yang luasnya sekitar 13.904 hektar. Kawasan ini diperkirakan sudah didiami manusia sejak masa Kedatuan Sriwijaya.

Bagaimana masyarakat Tempirai saat ini memahami lahan basah?

Jumlah penduduk di Tempirai [2024] tercatat 10.503 jiwa. Sebarannya ada di empat desa; Desa Tempirai [3.058 jiwa], Desa Tempirai Selatan [3.901 jiwa], Desa Tempirai Utara [1.948 jiwa], dan Desa Tempirai Timur [1.596 jiwa].

Sebagai kawasan rawa gambut, Tempirai memiliki banyak sungai, lebung, lubuk, dan talang. Sungai Penukal merupakan sungai utama dengan sejumlah anak, di antaranya adalah Sungai Tempirai, Sungai Mengkuang, Sungai Rengas, Sungai Merendang, dan Sungai Danau Burung.

Lebung atau lebak dalam, antara lain Lebung Boye dan Lebung Sepat. Sementara lubuk atau bagian terdalam di sungai adalah Lubuk Padu, Lubuk Cangka, Lubuk Lalang, dan Lubuk Menggeris.

Sedangkan talang atau daratan luas dan berbentuk seperti pulau ada beberapa yaitu Talang Tanjung Heran, Talang Padang, Talang Sebetung, Talang Lebung Jauh, dan Talang Ladang Panjang,

Keberadaan talang dan sungai ini, melahirkan sejumlah suak atau teluk kecil, seperti Suak Mesu dan Suak Belide.

Sedangkan wilayah rawa gambut yang luas dan terdapat sungai, lebung maupun lubuk, selalu terendam selama musim penghujan. Masyarakat Tempirai menyebutnya danau. Misal, Danau Burung, Danau Kecik, Danau Badar Besok, Danau Badar Kecik, dan Danau Besok.

Danau Burung yang terluas, sekitar 1.250 hektar. Di kawasan ini mengalir Sungai Danau Burung Besak, Sungai Danau Burung Kecik, dan Sungai Belide, serta sejumlah lebung dan lubuk, seperti Lebung Labi, Lebung Ruan, Lubuk Tapa.

Selain itu, terdapat pula coro atau ranting sungai, seperti Coro Menegum dan Coro Mengkiring, serta padang rumput yang disebut Padang Perce.

Kawasan rawa gambut Danau Burung diapit dua talang, yakni Talang Padang dan Talang Ganso. Kawasan gambut di Talang Ganso adalah hulu dari Sungai Danau Burung.

Baca: Kembalikan Lebak Lebung di Lahan Basah Sungai Musi

Permukiman Tempirai, Penukal, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumsel, yang berbentuk lingkaran. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Di masa lalu, berdasarkan ingatan masyarakat Tempirai, kawasan hutan dan rawa gambut di sana menjadi rumah gajah dan harimau sumatera.

Tapi sejak 1970-an, gajah tidak lagi muncul, sementara harimau jarang terlihat sejak awal 2000-an. Satwa liar yang masih dilihat warga di hutan adalah kijang, rusa, dan trenggiling.

“Yang masih banyak di sini adalah burung. Wilayah yang sering dikunjungi itu Danau Burung,” kata Amerudin [71], warga Desa Tempirai.

Jenisnya seperti belibis, betet, elang, murai, punai, juga bangau.

“Dulu masih ditemukan enggang [rangkong], tapi sejak banyak pohon besar hilang tidak ada lagi,” ujarnya.

Baca: Peran Hebat Perempuan di Lahan Basah Sungai Musi

Sebuah keluarga menggunakan perahu ketek di Sungai Penukal, membawa ikan hasil tangkapan. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

Manusia “Amfibi”

Saat ini, sebagian besar masyarakat Tempirai hidup sebagai manusia “amfibi”. Mereka mampu hidup di air dan di darat, sehingga menjadi masyarakat multikultural. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bukan hanya mencari ikan sebagai sumber pangan dan ekonomi, juga berkebun, serta bersawah atau menanam padi saat musim kemarau.

Sebelum hadirnya perkebunan karet awal abad ke-20, masyarakat Tempirai menanam buah di talang. Seperti durian, duku, manggis, rambutan, cempedak, rukam, rambai, kemang, enau, petai, dan lainnya. Kebun buah ini disebut jongot.

Selain itu, mereka mencari rotan, sagu rumbia, damar, dan gaharu.

“Ikan, buah, serta hasil hutan seperti rotan, damar, dan gaharu diperdagangkan masyarakat Tempirai dengan para pedagang luar, yang datang menggunakan perahu kajang [perahu beratap] melalui Sungai Penukal,” kata Muhammad Faizal, Ketua Rumah Budaya Tempirai, kepada Mongabay Indonesia, akhir Desember 2024.

Sementara menanam padi, di sawah maupun ladang, diperuntukkan kebutuhan pangan.

“Beras di sini tidak dijual, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” jelasnya. Padi yang ditanam merupakan padi lokal seperti padi seni, padi ketumbar, padi ketan, padi ketan hitam, padi arang, padi paing kancil, padi kumpai, dan padi selasi.

Aktivitas di air dan kebun, tetap diperankan warga meskipun memiliki berbagai profesi baru, seperti guru, pedagang, dan pegawai negeri.

“Pagi hari, mereka tetap mantang [menyadap getah karet] di kebun sebelum berangkat kerja. Sorenya, sebagian mencari ikan di sungai.”

Baca: Hilangnya Pulau-pulau di Sumatera Selatan

Seorang warga tengah mencari ikan di Danau Burung, kawasan rawa gambut di Tempirai, Kecamatan Penukal, Kabupaten PALI, Sumsel. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

Permukiman Melingkar

Satu yang menarik dari Tempirai adalah keberadaan permukiman berbentuk melingkar. Semua bangunan rumah menghadap titik tengah, yang titik tengahnya berupa balai pertemuan dan masjid.

Lingkaran ini membentuk tujuh baris rumah memanjang ke belakang. Setiap baris mewakili tujuh puyang [leluhur], yang pertama kali membangun permukiman tersebut. Ketujuh puyang ini berasal dari tujuh talang atau daratan di lahan basah Tempirai. Yakni Talang Tanjung Heran, Talang Padang, Talang Sebetung, Talang Lebung Jauh, Talang Ladang Panjang, Talang Paye Bakung, dan Talang Putat Payung. Perkampungan Tempirai berada di Talang Putat Payung.

Berdasarkan wawancara Mongabay Indonesia dengan sejumlah tetua di Tempirai, mereka hanya memahami bentuk perkampungan melingkar itu sebagai simbol pengikat silahturahmi dari tujuh keluarga pendiri permukiman.

“Meskipun berbeda, kami tetap bersaudara,” kata Muhammad Isa [70] alias Wak Mual, pewaris pusake Puyang Seberang.

“Posisi kami setara, hanya yang di atas yang paling tinggi dan berkuasa.”

Puyang Seberang adalah tokoh di masyarakat lalu, yang diyakini masyarakat Tempirai sebagai tokoh yang menyatukan tujuh keluarga untuk membangun permukiman tersebut.

Dan, hampir setiap malam, para lelaki di Tempirai melakukan diskusi atau saling berbagi informasi. Hal itu dilakukan di warung kopi, yang jumlahnya mencapai puluhan. Di warung kopi, semua bebas berpendapat atau bertukar pikiran, tanpa melihat status sosial dan usia. “Semangatnya seperti lingkaran itu,” katanya.

“Selain itu, kami percaya bentuk permukiman melingkar sebagai upaya menghindari ancaman angin puting beliung saat musim penghujan. Kami bersyukur, selama ini permukiman terhindar bencana tersebut. Angin yang datang terpecah dan melemah, saat memasuki celah di antara rumah,” kata Faizal.

Di masa lalu, kawasan rawa gambut Tempirai terhubung dengan rawa gambut sekitar Percandian Bumiayu di Kecamatan Tanah Abang, PALI. Ini merupakan percandian Hindu-Buddha yang dibangun dari abad ke 9-10 Masehi, masa Kedatuan Sriwijaya. Percandian ini diperkirakan mencerminkan ajaran Tantrisme.

Namun sekarang, kawasan rawa gambut penghubung Tempirai dan Percandian Bumiayu sudah hilang dikarenakan hadirnya perkebunan sawit.

Di sebagian permukiman tua, sejumlah warga Tempirai menyimpan berbagai benda sejarah, seperti tembikar dan keramik dari masa Dinasti Song dan Yuan [abad ke-11-13 Masehi], serta naskah ulu [aksara rencong atau aksara ulu], seperti ditulis di tanduk kerbau.

Baca juga: Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar

Perempuan di Tempirai, Kabupaten PALI, Sumsel, bukan hanya sebagai penyedia pangan, pencari ekonomi, juga sebagai edukator bagi anak-anaknya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Persoalan Lahan Basah

Seperti umumnya wilayah lahan basah Sungai Musi, sebagian besar lahan basah di Tempirai juga mengalami kerusakan. Misalnya, seribuan hektar hutan gambut di hulu Danau Burung dijadikan perkebunan sawit oleh sebuah perusahaan.

Akibatnya, hasil hutan seperti rotan, damar, dan gaharu, sudah tidak banyak lagi didapatkan masyarakat.

“Sebagian masyarakat masih ada yang berburu damar. Kini, umumnya mencari pohon meranti atau perpat berukuran besar, yang tertimbun di tanah. Kalau pohon gaharu, sudah sulit didapatkan,” kata Faizal.

Selain itu, saat kali musim kemarau, beberapa kali terjadi kebakaran di sekitar Danau Burung. “Masyarakat sering menyebutnya api setan, sebab tidak jelas siapa yang menyulut,” kata Faizal.

Danau Burung merupakan kawasan yang sangat dijaga.

“Masyarakat di sini atau yang hidup di sekitar Danau Burung tidak pernah membakar lahan. Mereka hanya mencari ikan, dengan tetap beretika melindungi danau dari kerusakan,” jelasnya.

Baca juga: Derita Masyarakat Lahan Basah Sungai Musi Akibat Perubahan Iklim

Tempirai, sebuah wilayah lahan basah di Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir]. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Adios Syafri, dari Hutan Kita Institute [HaKI], belum lama ini menjelaskan bahwa rawa gambut yang dijadikan perkebunan sawit oleh 70 perusahaan di Sumatera Selatan, seluas 231.741 hektar.

Berdasarkan data HaKI, sebarannya berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Kabupaten PALI, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Musi Rawas Utara.

Selain perkebunan sawit, sekitar 17 perusahaan menjadikan rawa gambut sebagai hutan tanaman industri [HTI] seluas 559.220 hektar. Serta, sekitar 332.158 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.

“Total luasan rawa gambut yang berubah fungsi mencapai 1.123.119 hektar,” paparnya.

Hebatnya Perempuan Tempirai, Bangga Jadi Petani dan Penyedia Pangan Masyarakat

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|