Alih Fungsi Lahan Picu Sumut Alami Krisis Air dan Gagal Panen

4 hours ago 2
  • Krisis ekologis di Sumatera Utara mulai terasa dampaknya. Kajian Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Simalungun, merasakan penurunan debit mata air, kekeringan, serta gagal panen sepanjang tahun 2024 hingga 2025.
  • Iswan Kaputra, Wakil Direktur BITRA Indonesia, menyebut 4 tahun terakhir kekeringan jadi lebih parah ketika musim kemarau. Kejadian ini dirasakan di Desa Marjandi, Marjandi Pisang, Nagori Bosar, Panombean, Pematang Pane, dan Pematang Panombean. Sekitar 13 ribu jiwa terdampak.
  • Wilayah Langkat, terutama desa-desa yang berada  pada lahan datar pesisir  Pantai Timur, Selat Malaka, mengalami pergeseran siklus tanam. Padi yang seharusnya mulai ditanam januari, baru bisa dilakukan agustus. 
  • Eko Teguh, Pakar Geologi UPN Veteran Jogja, mengatakan, krisis iklim di Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan dalam satu waktu. Volume air yang jatuh jadi lebih besar, tapi waktunya pendek.

Krisis ekologis di Sumatera Utara mulai terasa dampaknya. Kajian Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Simalungun, merasakan penurunan debit mata air, kekeringan, serta gagal panen sepanjang tahun 2024 hingga 2025.

Iswan Kaputra, Wakil Direktur BITRA Indonesia, menyebut empat tahun terakhir kekeringan jadi lebih parah ketika musim kemarau. Kejadian ini warga Desa Marjandi, Marjandi Pisang, Nagori Bosar, Panombean, Pematang Pane, dan Pematang Panombean. Sekitar 13.000 jiwa terdampak.

Petani jadi sulit mencari sumber air untuk lahan pertanian dan kolam buat ternak ikan mas. Padahal, masyarakat tetap melakukan dua cara untuk menjaga sumber air mereka.

Pertama, sumber mata air yang disebut sumbul  dijaga dengan tidak merusak hutan atau mengubah jadi perkebunan dan perumahan. Kedua, dengan menggunakan air secara merata lewat kebijakan di tingkat adat ataupun kepala desa.

Namun semua berubah saat alih fungsi lahan jadi kebun sawit dan pembangunan di titik-titik sumber air masif terjadi sekitar tahun 2010 hingga 2014. Belum lagi, pemerintah daerah lebih memprioritaskan penggunaan air untuk perusahaan besar seperti perusahaan air minum.

Dampaknya, air dari Sumbul terus berkurang. Saat ini, hanya tersisa tiga sumbul. Itu pun jadi rebutan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan rakus air itu.

“Hal ini diperparah lagi dengan perubahan iklim. Tingginya CO2 semakin merusak keseimbangan alam. Sumber-sumber air  hancur, kekeringan ekstrim terjadi, berdampak pada ancaman gagal panen dan ini sangat mengkhawatirkan karena pastinya akan mengganggu perekonomian masyarakat lokal di sana,” katanya pada Mongabay.

Dia bilang, daerah yang kekeringan ini merupakan penghasil ikan mas dan padi selama 10 tahun terakhir. Setidaknya, ada 100 kolam budidaya ikan, kini tinggal dua kolam pada akhir 2024.

Penurunan tajam ini terjadi karena pasokan air terus berkurang. Masyarakat tak lagi bisa andalkan bisnis budidaya ikan mas.

Padahal, masyarakat lokal jadikan ikan mas sebagai menu istimewa dalam pesta adat. Mulai dari perkawinan hingga acara adat lain.

“Sekarang, sebagian besar petani sudah beralih pekerjaan dari petani padi menjadi petani jagung. Begitu juga masyarakat yang mengelola budidaya ikan melakukan hal yang sama.”

Pemerintah Simalungun, katanya, cukup peduli terhadap kebutuhan dasar air masyarakat.  Meski begitu, dia nilai, pemerintah salah langkah membuat keputusan lebih berpihak pada investasi ketimbang rakyat. Sedang masalah penyusutan debit air belum selesai.

BITRA dan masyarakat dampingan, katanya, pernah bertemu Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Simalungun. Sayangnya,  tanggung jawab dilempar ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Efrizal Lubis, Kabid Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Dinas PUPR Simalungun, berkomitmen, menyelesaikan masalah debit air kecil di enam desa. 

Dalam video dokumentasi BITRA, katanya, akan memperjuangkan Sumbul yang selama ini teraliri ke pipa-pipa Perusahaan Air Minum, kembali ke masyarakat.

Mongabay coba mengonfirmasi hal ini, dan meminta elaborasi lebih lanjut lewat pesan singkat dan telepon, tetapi tidak mendapat respons.

Tanaman padi dibiarkan karena sawah kering kerontang di Kalibagor, Banyumas, Jateng. Padi dipastikan puso. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Ganggu siklus tanam dan kualitas

Langkat pun alami perubahan, terutama desa-desa di lahan datar pesisir  Pantai Timur, Selat Malaka, mengalami pergeseran siklus tanam. Seharusnya, padi mulai tanam Januari, baru bisa Agustus. 

Iswan bilang, masyarakat coba penyemaian benih bulan Januari. Namun, tanda-tanda musim hujan tidak tampak ketika bibit mau ditanam. 

Karena tidak ada hujan, bibit yang sudah semai menua, tak layak tanam. Sementara yang nekat tanam pun berujung mati di sawah.

Masyarakat coba pompa air ke sawa pada malam hari supaya lahan tidak cepat kering. Sayangnya, walau sudah pakai pompa, tetap tidak sanggup mengairi lahan yang terlalu kering. Air langsung terserap ke tanah, tidak menggenangi padi.

“Ini juga terjadi di Deli Serdang dan Kabupaten Sergai sejak  2021,” kata Iswan.

Saat banjir, petani tidak bisa menyemai bibit  maupun menanam ke sawah. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Langkat, produksi tanaman pangan menurun hingga lebih dari 50% sedang luas lahan tetap.

Padi sawah jadi produk pangan yang mengalami penurunan paling besar, mencapai 57,27% atau 214.628 ton, kemudian, jagung kedua dengan penurunan  89,96% atau 65.599 ton.

Data sama menyebut, penurunan karena kesuburan atau unsur hara tanah sudah sangat miskin, iklim cuaca tidak kondusif, benih, pupuk, suplai air, serangan hama penyakit dan pengelolaan pasca panen.

Menurut Iswan, perubahan iklim memperburuk kondisi. Perlu tindakan serius untuk menyikapinya.

Data BITRA memperlihatkan, Indonesia juga menunjukkan anomali sepanjang 2024 hingga awal 2025. Perubahan pola tumbuh juga terjadi pada tanaman dan pohon penghasil buah. Mangga udang atau mangga parapat, misal, buahnya dulu bisa berukuran segenggaman tangan, sekarang mengecil tiga kali, sudah menguning dan masak.

Desa-desa di Sumut maupun Aceh mendapati pohon durian berbuah tiga kali setahun, dan mangga jadi dua kali setahun. Padahal, pohon-pohon ini awalnya  berbuah sekali setahun.

Meskipun demikian, rasa buah tidak selezat biasa. Sedikit yang memiliki rasa kuat dan menyengat, sebagian besar hambar.

Temuan ini sejalan dengan riset Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyebut, krisis iklim turut berdampak pada penurunan kualitas buah-buahan.  

“Pemerintah harus waspada dan berhati-hati agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 3% karena akan berdampak langsung dengan Masyarakat khususnya dalam kedaulatan pangan.”

Enju (52) pada Rabu, (16/09/2015) mengeluhkan tanaman padinya yang terkena dampak kekeringan yang terjadi di Cirinten, Kecematan Gede Bage Kab Bandung, Jawa Barat. Panen kali ini ia hanya menghasilkan 2 kuintal. Foto : Donny Iqbal.

Tata kelola air bermasalah

Eko Teguh Paripurno, Pakar Geologi UPN Veteran Jogja, mengatakan, krisis iklim di Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan dalam satu waktu. Volume air yang jatuh jadi lebih besar, tapi waktunya pendek.

Akibatnya, kemampuan menyerap air hujan jadi terbatas, air banyak mengalir pada bagian permukaan. Kondisi ini yang menyebabkan banjir.

Untuk mengatasi hal ini, katanya, harus meningkatkan kemampuan kawasan menangkap air hujan, antara lain, dengan membuat sumur resapan, embung, hingga biopori. Juga, tak mengalih fungsi kawasan atau lahan yang semula berperan menangkap hujan.

Eko bilang, kasus Sumut tak berhubungan langsung dengan perubahan iklim tetapi  lebih pada tata kelola sumber daya air yang buruk. 

Kebutuhan air yang meningkat dan saling berebut tidak dikelola dengan memperhatikan prioritasnya. 

“Mana sih yang diprioritaskan, ketika ada kebutuhan PDAM, kebutuhan perkebunan, kebutuhan air serta kebutuhan air untuk pertanian atau didistribusikan secara merata,” katanya kepada Mongabay.

Distribusi yang adil tidak dilakukan ketika kebutuhan air meningkat. Masalah timbul karena kualitas lingkungan di hulu berubah dan membuat air tidak tersimpan.

Untuk itu, perlu tata kelola air yang lebih baik, ketimbang menyalahkan krisis iklim. Kondisi daerah aliran sungai juga harus terjaga. Krisis iklim memang terjadi, katanya, tetapi  harus ada adaptasi pengetahuan serta teknologi di daerah itu.

Sementara di tapak, perlu perhatikan  kecenderungan terbentuknya aliran permukaan, ketimbang resapan. Kalau ini terjadi, perlu investasi lagi untuk meningkatkan penyerapan air hujan. 

Eko bilang, tidak boleh ada perubahan hutan dengan tanaman semusim, apalagi sawit, apalagi tak ada embung atau penangkap air. Penambahan pemukiman pun harus berbarengan dengan pembuatan sumur resapan.

Menurut dia, perlu mengkaji kembali tata kelola ruang guna memastikan ruang ramah pelestarian air. Kalau tidak, kualitas dan kuantitas air pasti menurun.

“Selain kualitas ada juga kuantitas yang harus dipikirkan, sekaligus secara bijak membuat skala prioritas pemanfaatan air dengan baik.” 

Petani di Boyolali, Jateng, menunjukkan lahannya yang mengalami kekeringan akibat perubahan iklim. Foto Nana Suhartana/Rikolto Indonesia/Mongabay Indonesia

*****

Potret Kehidupan Suku Duano Kala Hutan Mangrove Terkikis

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|