5 Cerita Masyarakat Penjaga Hutan di Indonesia

4 days ago 13

Ada satu per tiga  jumlah desa di Indonesia yang berada di sekitar hutan. Beberapa masyarakat adat dan komunitas lokal menjadikan hutan sebagai ibu karena mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka menjaga dan melestarikan hutan dari pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.

Badan Pusat Statistik mencatat ada sekitar 30,86% atau 25.863 desa yang berada di dalam dan sekitar hutan dari 83.794 desa yang tersebar di Indonesia. Banyak cerita menarik dari desa yang bisa menjadi pembelajaran, inspirasi dan motivasi. 

Bicara desa di sekitar hutan tidak hanya bicara tentang lokasinya, tapi juga kearifan lokal masyarakat yang hidup dan bergantung pada alamnya. Mereka menjadi penjaga hutan terbaik karena memiliki ikatan kuat dengan alam di sekitar mereka.

Hendrikus Woro, penjaga hutan dari Papua. Bersama masyarakat adat Awyu mendatangi gedung Mahkamah Agung untuk mempertanyakan gugatan kasasinya terhadap PT IAL pada Senin (22/7/2024), yang kemudian gugtan kasasi tersebut ditolak oleh MA. Foto: Zulkifli Mangkau/Mongabay Indonesia

Tradisi, pengetahuan lokal dan kisah pelestarian alam menjadi sebuah hal yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Meski ancaman terus datang, seperti perambahan liar, penetapan kawasan hutan tanpa mempertimbangkan masyarakat lokal, pemberian izin konsesi, masyarakat tetap terus melestarikan alam. 

Lalu bagaimana cerita perjuangan masyarakat lokal yang telah pelestarian hutan sekitar mereka melalui tradisi mereka. Berikut 5 desa di Indonesia yang menjaga kelestarian hutan sekitarnya dengan pengetahuan lokalnya: 

1. Para penjaga hutan dari Desa Damaran Baru, Aceh

Ranger Mpu Uteun, penjaga hutan di Bener Meriah, Provinsi Aceh, yang seluruh anggotanya perempuan. Foto: Dok. HAkA

Pernahkah kamu membaca cerita tentang para perempuan di Aceh yang menjaga hutan dari pembalakan liar? Ya, mereka adalah Ranger Mpu Uteun. 

Sejak Januari 2020, Ranger Mpu Eteun menjadi sebuah kegiatan dalam patroli untuk menjaga hutan di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Mereka merupakan kelompok perempuan di desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah yang berinisiatif melindungi hutan yang telah rusak, terutama di Wih (sungai) Gile. 

Inisiatif melindungi hutan Bumi Telong ini muncul karena masyarakat Desa Damaran Baru sempat dilanda banjir bandang sebagai dampak dari pembalakan liar pada 2015. Tak mau hutan mereka dirusak, para penjaga hutan membentuk kelompok dan bertugas patroli dalam memantau, memetakan, dan menanam pohon di sekitar hutan. 

Sejak dibentuknya kelompok penjaga hutan ini, terjadi penurunan kasus deforestasi di kawasan tersebut. Anggota Ranger Mpu Uteun Damaran Baru memang terdiri hanya atas perempuan. Bagi mereka, perempuan juga mampu mengambil peran dalam menjaga paru-paru bumi. Mereka berharap kegiatan ini dapat menginspirasi masyarakat lainnya untuk melindungi hutan dan lingkungan sekitar. 

2. Para penjaga hutan dari Desa Tenganan Pegringsingan, Bali Timur

Perempuan muda Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali depan rumah warga yang melestarikan arsitektur tradisional tembok tanah di bagian depannya. Mereka penjaga hutan di Bali Timur. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Awig-awig, sebuah kesepakatan aturan adat tertulis telah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Desa Tenganan Pegrisingan, Kabupaten Karangasem, Bali Timur. Aturan ini mewajibkan masyarakat untuk menjaga dan tidak memindahtangankan wilayah adat mereka kepada orang luar. 

Upaya perlindungan hutan desa ini, mereka juga memiliki larangan keras dalam menebang pohon dan berburu. Pelestarian kawasan lindung wilayah adat ini juga berupaya untuk menjaga keberlanjutan air, tanah, dan keanekaragaman hayati yang ada. 

Tak hanya awig-awig saja, Desa Tenganan Pegrisingan juga memiliki beberapa tradisi seperti Ngalang, Ngrampang, Ngambeng, dan Ngambang. Keempat tradisi tersebut menjadi pengingat bahwa masyarakat desa untuk mengambil hasil hutan untuk upacara tertentu saja. Tradisi ini tentu menjadi pegangan bagi warga desa untuk terus menjaga kelestarian hutan dengan menjalankan adat mereka. 

3. Ekowisata dari Kampung Malagufuk, Papua Barat Daya

Hutan Klasow Malagufuk ditumbuhi aneka jenis pohon. Foto: Mongabay Indonesia

Masyarakat di sekitar hutan alam Klasow, Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Papua Barat Daya memanfaatkan keindahan hutannya menjadi kampung wisata. Pengunjung datang dari berbagai negara untuk menikmati pengalaman birdwatching yang ditawarkan dalam ekowisata hutan Klasow.

Sebelumnya, hasil pertanian menjadi sumber pendapatan utama, tapi kini mereka fokus dalam mengelola ekowisata. Melalui media sosial, masyarakat Kampung Malagufuk terus mempromosikan usaha mereka dalam menjaga keindahan Hutan Klasow. 

Menjaga hutan memang bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat Kampung Malagufuk. Egek, kearifan lokal yang dimana ada larangan mengambil ‘hasil panen’ di lokasi tertentu dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini warisan turun temurun dari nenek moyang untuk menjaga sumber daya alam agar tidak diambil secara berlebihan. 

Namun, menjaga hutan Klasow tidaklah mudah. Proyek Bendungan Warsamson dari pemerintah mengancam keindahan hutan Klasow karena dapat menenggelamkan area birdwatching. Tak hanya itu, kehadiran pemburu liar yang menembak burung dan binatang yang ada di hutan Klasow juga menjadi ancaman lainnya.

4. Para penjaga hutan dari Desa Air Tenam, Bengkulu

Seorang remaja tengah memetik kopi arabika di HKm Kubik, Gunung Dempo, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia

Hutan di Desa Air Tenam, Kabupaten Bengkulu Selatan terjaga dengan baik. Pohon yang menjulang tinggi, rimbun dan air sungai yang mengalir dengan deras dan jernih. Hutan ini menjadi jantung bagi kehidupan tak hanya bagi warga tapi juga di Kabupaten Bengkulu Selatan. 

Jika hutan rusak, maka sumber air bersih akan hilang, bencana banjir dan longsor akan mengancam. Heni Herawati, perempuan yang menjadi penggerak masyarakat di Desa Air Tenam untuk terus menjaga hutan dan menolak perkebunan sawit dan tambang agar tidak masuk ke daerah ini. 

Pada 2013, desa ini mendapatkan pengukuhan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini Kementerian Kehutanan) melalui skema perhutanan sosial, yakni Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan menyusul pada 2019.  

Mereka juga memiliki program adopsi pohon dalam bentuk  program baby tree dan pohon asuh yang mendorong masyarakat melakukan pembibitan pohon langsung di lokasi Hutan Kemasyarakatan. Publik bisa berkontribusi sekitar Rp 200.000/pohon/tahun. Dananya akan digunakan untuk melakukan pemeliharaan hutan, inventarisasi sumber daya hutan dan penjagaan hutan serta pengembangan ekonomi kreatif masyarakat Desa Air Tenam.

5. Cerita Masyarakat Jaga Hutan dari Desa Kalawa, Kalimantan Tengah

Hutan Desa yang terbakar di desa Kalawa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Sejak 2012 lalu, masyarakat Desa Kalawa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah telah mendapatkan izin perhutanan sosial dalam skema hutan desa. Mereka memiliki sistem adat handil untuk menjaga dan mengelola lahan. 

Handil secara harafiah berarti parit atau sungai. Masyarakat dayak yang tinggal di rawa gambut menggunakan sistem adat ini sebagai batas pengelolaan lahan untuk menanam palawija, kebun karet dan buah. Sistem ini juga digunakan untuk menyelesaikan konflik lahan yang ada.  

Selain itu, masyarakat juga masih menggunakan tradisi Kaleka, yakni sistem agroforestri. Mereka tidak hanya menanam tegakan pohon tapi juga sambil menanam padi, sayur-sayuran, dan diselingi buah-buahan seperti durian manggis, atau langsat. 


*********

*Bernardino Realino Arya Bagaskara, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rio aktif sebagai jurnalis di pers mahasiswa Teras Pers. Dia memiliki minat pada isu sosial kemasyarakatan, termasuk lingkungan.

Cerita Para Pahlawan Penjaga Hutan Nusantara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|