- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat perolehan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp2,16 triliun sepanjang 2024 dan tertinggi sejak ada menteri ini. Dari jumlah itu, kontribusi Rp1 trilun dari sektor perikanan tangkap.
- Lahtoria Latif, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP mengakui, kendati PNBP naik, sejumlah pelanggaran masih marak terjadi di wilayah laut. Mulai dari transipment ilegal, hingga pelaporan hasil tangkapan yang tidak sesuai.
- Sepanjang tahun 2024, data KKP mengungkap 240 kapal melakukan illegal fishing Dari jumlah itu, 30 berstatus sebagai kapal ikan asing (KIA) dan 21o dari kapal ikan Indonesia (KII) dengan kerugian Rp3,7 triliun. KKP juga gagalkan 44 kasus penyelundupan benih bening lobster (BBL) sebanyak 44 kasus pada 16 lokasi senilai Rp849 miliar.
- Suhana, Pakar Sosial Ekonomi Perikanan mendorong KKP untuk diversifikasi sumber pendapatan PNBP. Hal ini perlu dilakukan agar KKP memili sumber penerimaan lain di luar yang sudah ada saat ini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat perolehan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp2,16 triliun sepanjang 2024 dan tertinggi sejak lembaga ini terbentuk. Dari jumlah itu, sektor perikanan tangkap menyumbang Rp1 triliun.
Lathoria Latif, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). mengatakan, PNBP Sumber Daya Alam (SDA) penangkapan ikan mencapai Rp955,39 miliar pada tahun 2024. Dari non SDA dari imbal jasa unit eksekutif teknis (UPT) terkumpul Rp101.193 miliar.
Dengan demikian, total PNBP dari subsektor perikanan tangkap sepanjang tahun 2024 mencapai Rp1.053 triliun. Jumlah PNBP secara keseluruhan dari sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2024 mencapai Rp2,16 triliun.
“Pemanfaatan PNBP selanjutnya akan digunakan untuk mendukung produktivitas dan peningkatan kesejahteraan nelayan kecil,” katanya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Latif, mengumpulkan PNBP sebesar itu bukanlah hal yang mudah. Di lapangan, masih banyak pelanggaran yang berpotensi mengurangi capaian PNBP.
Beberapa pelanggaran itu misal, pemuatan di tengah laut ( transshipment ) secara ilegal, penggunaan alat penangkapan ikan (API) tidak sesuai, pengintaian ikan di luar pangkalan pelabuhan tidak sesuai, pelaporan data hasil tangkapan yang tidak akurat.
Jadi, masih ada pelanggaran di atas laut, sebenarnya pelaku usaha sedang memulai proses yang merugikan nelayan kecil. Seharusnya, PNBP dari mereka bisa memberikan bantuan kepada nelayan kecil.
“Saat sudah terkumpul, pemanfaatan PNBP nanti akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana, alat penangkapan ikan, dan peningkatan kompetensi teknis nelayan kecil.”
Sepanjang tahun lalu, ada 240 kapal terbukti melakukan penangkapan ikan ilegal ( illegal fishing) , sebagaimana data KKP . Dari jumlah itu, 30 berstatus sebagai kapal ikan asing (KIA) dan 21o dari kapal ikan Indonesia (KII) dengan kerugian Rp3,7 triliun.
Selain illegal fishing , KKP juga menggagalkan penyelundupan benih bening lobster (BBL) sebanyak 44 kasus di 16 lokasi, dengan amankan 6,44 juta BBL senilai Rp849 miliar.

Data lebih akurat
KKP menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/2024 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan dari pemanfaatan sumber daya alam perikanan.
Aturan ini mengamanatkan pelaku usaha mengeluarkan data produksi yang sudah dilaporkan dalam satu musim penangkapan ikan. Lathf bilang, kalau setelah musim penangkapan selesai dan belum ada data produksi, pelaku usaha wajib melaporkan melalui aplikasi. Bisa melalui aplikasi e- PIT, menu Laporan Perhitungan Sendiri (LPS), dan membayar PNBP ke kas negara.
Menurut dia, ada banyak manfaat dari penerapan PNBP pascaproduksi seperti sekarang ini. Selain meningkatkan penerimaan negara, data tangkapan ikan juga lebih akurat, bahkan hingga per spesies. Dengan begitu, tingkat pemanfaatan ikan per jenis, dapat secara pasti. “Data hasil tanglkapan lebih akurat.”
Berdasarkan data per 20 Desember 2024, capaian PNBP penangkapan ikan sebesar Rp966,02 miliar, terdiri dari PNBP SDA Rp868,03 miliar dan non SDA Rp97,99 miliar. Menurut Lathif, penerapan PNBP pascaproduksi ini lebih adil bagi nelayan karena besaran yang diterima sesuai jumlah tangkapan.
Hingga 30 November 2024, produksi penangkapan ikan mencapai 6,7 juta ton. “Dengan pencatatan yang semakin baik, maka akan meningkatkan keakuratan data statistik penangkapan ikan yang berimplikasi pada penyusunan kebijakan yang semakin baik,” katanya.
Selain penangkapan ikan, subsektor pengelolaan ruang laut juga turut memberikan PNBP dari retribusi penataan ruang laut. Merujuk data per 19 Desember 2024, PNBP dari sektoir ini mencapai Rp833,18 miliar, naik hingga 117,63% dari tahun sebelumnya.
Victor Gustaf Manopo, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, mengatakan, sumber penerimaan terbesar berasal dari Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Rp439,8 miliar. “PKKPRL menjadi izin dasar bagi setiap kegiatan menetap di ruang laut sebagai kepastian hukum.”

Optimal dan berkelanjutan
Suhana, Pakar Sosial Ekonomi Perikanan mendorong KKP untuk diversifikasi sumber pendapatan PNBP. Selama ini, KKP hanya mengandalkan sektor tertentu untuk meningkatkan masukan negara. “KKP harus melakukan evaluasi dan perbaikan struktural guna memastikan setiap unit berkontribusi sesuai potensinya.”
Kata Suhana, diversifikasi sumber pendapatan itu harus menjadi prioritas guna mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam. Selain itu, harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sektor-sektor pendapatan agar potensi sumber pendapatan dapat dioptimalkan secara berkelanjutan.
PNBP sektor perikanan memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir. Pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha perikanan, dan masyarakat harus memperkuat sinergi untuk mewujudkan hal itu.
KKP, kata Suhana, perlu membuka akses lebih kepada masyarakat mengenai pengelolaan PNBP. Selain untuk memberi masukan, hal itu juga untuk memastikan pemanfaatan PNBP kelautan dan perikanan lebih transparan dan akuntabel.
“Masyarakat perlu diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan dana PNBP. Hal ini akan meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya perikanan.”
Imam Trihatmaja, Direktur Program Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia benarkan, capaian PNBP 2024 Rp2,16 triliun KKP terbaik dari periode sebelumnya. Namun, ada hal lain yang memerlukan perbaikan mendesak, seperti perbaikan data, pengawasan, perolehan hasil tangkapan, serta kesejahteraan kapal perikanan (AKP) dan nelayan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah transparansi dalam redistribusi PNBP yang sudah terkumpul. Idealnya, peningkatan PNBP ini berbanding lurus dengan infrastruktur perikanan yang semakin laik, atau menjamin jaminan sosial bagi nelayan dan pekerja perikanan.
Dia pun tak menampik, perubahan skema PNBP dari pra menjadi pascaproduksi tidak serta merta menutup ruang pelanggaran karena sistem ini mensyaratkan kuatnya sistem pendataan, pengawasan dan kepatuhan pelaku usaha dalam melaporkan hasil tangkapan. “Masalahnya, pelabuhan perikanan kita sangat banyak dan kapasitas pengawasan yang belum mumpuni,” katanya.
Seharusnya, PNBPproduksi pasca datangnya keadilan bagi nelayan. Sebab, jumlah yang dibayar Merujuk pada ikan hasil tangkapan. Juga, mempertimbangkan, semakin banyak hasil tangkapan, semakin besar pula biaya PNBP. Akibatnya, di apangan masih ada pelaku yang tidak melaporkan hasil tangkapan dengan benar demi menghindari pembayaran PNBP.

*********
Penangkapan Ikan Terukur Dijanjikan Mulai Beroperasi Per 1 Januari 2025