- Penyakit demam babi Afrika (African Swine Fever/ASF) merebak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (Jatim). Hanya dalam beberapa pekan, ratusan babi milik warga di Kecamatan Tosari, mati. Warga pun mengaku merugi hingga ratusan juta akibat kejadian ini.
- Ainur Alfiah, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasuruan mengatakan, dari 170 babi yang mati itu, 150 merupakan ternak warga di Desa Sedaeng, sedangkan 20 babi mati berada di Desa Wonokitri. Kedua desa ini berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
- Buku saku terbitan Kementerian Pertanian, sebut ASF disebabkan oleh oleh virus Asfivirus dengan fatalitas 100% dan masa inkubasi 4-19 hari. Babi yang terjangkit akan alami demam tinggi antara 41-42 derajat celsius, lesu, bercak merah pada kulit, leleran pada mata atau hidung, serta diare.
- Balai Veteriner Subang, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan melaporkan, kasus tersebut telah teridentifikasi di 32 provinsi sejak akhir 2024. Di Jatim, temuan kasus ASF juga terjadi di Blitar, Tulungagung, Kediri, Malang, Lumajang, Magetan, Lamongan, Gresik, dan juga Surabaya.
Penyakit demam babi Afrika (African Swine Fever/ASF) merebak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (Jatim). Hanya dalam beberapa pekan, ratusan ternak babi warga di Kecamatan Tosari, mati. Warga pun merugi hingga ratusan juta rupiah.
Mengutip laman Pemerintah Kabupaten Pasuruan, kasus kematian babi di Tosari, terkonsentrasi di dua desa, Sedaeng dan Wonokitri. Sampai akhir Februari, ada 170 babi mati, sebelumnya 70.
Ainur Alfiah, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasuruan mengatakan, dari 170 babi yang mati itu, 150 merupakan ternak warga di Desa Sedaeng, sedangkan 20 babi mati berada di Desa Wonokitri. Kedua desa ini berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
“Minggu lalu kami kembali ke sana untuk menyampaikan hasil uji lab setelah mengambil sampel darah babi, dan kami mendapat laporan dari pemerintah desa bahwa jumlah babi yang mati semakin meningkat, terutama di Desa Sedaeng,” katanya, dikutip dari laman oemkab, Minggu (23/3/25).
Alfiah pun meminta warga mengisolasi babi terinfeksi dan mengkarantina secara ketat perumahan terdampak. Untuk sementara waktu, dia juga menutup akses keluar masuk babi dari dan menuju Tosari.
Dia menekankan, para pemilik babi dapat meningkatkan biosekuriti ketat dengan melakukan disinfeksi kandang rutin, mengelola limbah, dan mengatur lalu lintas babi.
“Yang pasti, pengangkutan babi dan produk turunannya ke wilayah terdampak harus dihentikan sementara. Jangan lupa pastikan kendaraan dan kontrak pengangkutan babi yang digunakan dalam pengangkutan ternak,” katanya.
Dari hasil uji lab Balai Besar Veteriner Wates, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, seluruh babi yang mati dinyatakan positif ASF.
“Hasil lab sudah keluar, dan hasilnya menunjukkan babi yang mati positif ASF. Penyakit ini sangat berbahaya jika menyerang babi, karena tiba-tiba badannya panas, tidak mau makan, dan mati keesokan harinya.”
Rina Susilowati, peternak asal Desa Wonokitri bilang, kematian bagi massal itu terjadi sejak Januari lalu. Kala itu, satu per satu babi-babi di kandang mati dalam waktu yang berdekatan gejala serupa.
“Biasanya sebelum mati, babi tidak mau makan. Tiga harian begitu susah untuk makan, terus mati,” katanya. Rina alami kerugian tak sedikit terlebih babinya memiliki berat lebih satu kuintal. “Itu bisa laku Rp5-Rp7 jutaan.”
Wirya, Kepala Desa Wonokitri mengatakan, sekitar 90% warga punya ternak babi. Selain untuk konsumsi sendiri, juga keperluan upacara adat Tengger, babi-babi itu juga mereka jual ke luar desa untuk tambahan penghasilan. Melihat banyak babi mati, dia memperkirakan kerugian lebih Rp200 juta.
Serangan demam babi Tosari bukanlah pertama kali. Pada 2022, peristiwa serupa sempat melanda dataran tinggi Gunung Bromo ini dengan kematian capai ratusan babi. Secara keseluruhan, populasi di Tosari capai 2.000 babi tersebar di sejumlah desa.

Merata di Indonesia
Mengutip buku saku Kementerian Pertanian, penyebab penyakit ASF virus dari genus Asfivirus dan family Asfarviridae. Selain peternakan, babi liar dari segala kelompok umur juga berisiko terserang penyakit ini dengan fatalitas 100%.
Kendati pun penyakit ini tidak teridentifikasi sebagai zoonosis (penyakit menular dari hewan ke manusia), penyakit ini dapat menimbulkan kerugian besar. Terlebih, saat ini, belum ada antivirus untuk mengobati penyakit ini.
Babi yang terserang penyakit ini akan memiliki gejala seperti demam tinggi antara 41-42 derajat celsius, lesu, bercak merah pada kulit, leleran pada mata atau hidung, serta diare. Serangan virus ini memiliki masa inkubasi 4-19 hari.
Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui kontak langsung dengan babi tertular atau kontak tidak langsung, seperti melalui sisa makanan (swill), orang (peternak, pedagang, dokter hewan, paramedis, anak kandang, dan lain-lain). Bisa juga fomites seperti obyek atau material yang dapat membawa agen penyakit, antara lain, pakaian, sepatu,sandal, peralatan, dan kendaraan. “Deteksi dini dan segera eliminisasi sangat penting untuk menekan penyebaran,” tulis buku itu.
Pasuruan, Jatim bukanlah satu-satunya daerah di Indonesia yang terkena wabah ASF. Balai Veteriner Subang, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan melaporkan, kasus ini telah teridentifikasi di 32 provinsi sejak akhir 2024. Di Jatim, temuan kasus ASF juga terjadi di Blitar, Tulungagung, Kediri, Malang, Lumajang, Magetan, Lamongan, Gresik, dan Surabaya.
Sebelum tahun 1957, demam babi sempat dianggap terbatas di wilayah sub-Sahara Afrika, seperti ulasan Tempo. Merebaknya penyakit ini di Portugal usai pemberian pakan babi oleh maskapai penerbangan mengubah pandangan itu.
Pada 2018, kasus ASF pertama kali ada di China, negara dengan populasi babi terbesar di dunia. China bahkan kehilangan populasi babi cukup signifikan akibat wabah ini hingga akhirnya menyebar ke negara-negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Timor Leste.

*****
Setahun Lebih Virus ASF Serang Ternak Babi di NTT. Apa yang Harus Dilakukan?