- Rencana tambang batu gamping dan pabrik semen di Wonogiri, Jawa Tengah, tak hanya mengancam karst, sumber air maupun picu konflik sosial, tetapi kedaulatan pangan pun bisa terganggu. Desa-desa yang bakal terdampak tambang dan pabrik semen banyak lahan pertanian. Ironis, sumber pangan masyarakat terancam di tengah pemerintah sedang gencar program kedaulatan pangan.
- Hery Priswanto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah, dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan kedaulatan pangan sudah ada sejak jaman Mataram kuno, pada abad ke-8 hingga ke-10. Hal ini ditandai dengan ditemukan lumbung padi di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah.
- Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dan Bupati Wonogiri Setyo Sukarno mendukung rencana pembangunan pabrik semen karena berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Wonogiri. Klaim nilai investasi pabrik semen mencapai Rp6 triliun dan menyerap 2.400 tenaga kerja.
- Konstruksi pabrik semen direncanakan mulai 2026. Direktur PT Anugerah Andalan Asia Suwadi Bing Andi mengatakan saat ini masih dalam proses perizinan dan penyelesaian pembebasan lahan.
Rencana tambang batu gamping dan pabrik semen di Wonogiri, Jawa Tengah, tak hanya mengancam karst, sumber air maupun picu konflik sosial, tetapi kedaulatan pangan pun bisa terganggu. Ironis, sumber pangan masyarakat terancam di tengah pemerintah sedang gencar program kedaulatan pangan.
Pagi jelang siang di Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, cerah hari itu. Perasaan Sarinah ikut gembira lantaran cuaca mendukung untuk menjemur padi hasil panen anaknya. Hasil panen itu tak dia jual, buat konsumsi keluarga.
Sarinah baru akan menjual bila gabah dari panen masih tersisa. Hasil jual gabah itu biasa untuk membeli bahan pokok lain atau tabungan. Kalau tidak sisa, tak akan dia jual. Prioritas untuk kehidupan sehari-hari.
“Lauk tuku ning pasar, tahu tempe, endog duwe ning kandang. Sayur metik ning kebon. (Lauk beli di pasar, tahu dan tempe. Kalau telur ada di kandang ayam. Sayuran bisa memetik di kebun),” ceritanya. Dia lanjut menjemur gabah,
Desa Watangrejo, tempat tinggal Sarinah ini salah satu desa terdampak penambangan dan pembangunan pabrik semen. Hamparan lahan hijau membentang luas. Bukit maupun lahan pertanian sama-sama hijau. Tanaman pangan pun di mana-mana.
“Nggih niki. Bade ndamel sambel pecel mengkeh (iya ini panen kacang. Mau membuat sambal pecel nanti),” ujar Suryati, petani Watangrejo. Perempuan paruh baya ini sedang memanen kacang tanah di petak lahan.
Sayup terdengar suara sekelompok laki-laki sedang mengobrol. Rupanya suara itu di antara rimbun tanaman singkong yang sangat subur. Singkong-singkong itu mereka tanam dengan metode tumpangsari. Selain singkong, ada padi, umbi-umbian, dan tanaman lain dalam satu lahan.
“Jadi panen gantian dan berkelanjutan terus-terusan. Beraneka macam, dipangan dewe (dimakan untuk kebutuhan sendiri),” kata Pratikno. Mujasto yang juga ikut nimbrung mengangguk-anggukan kepala.
Pratikno maupun Mujasto, tak tahu sampai kapan lahan-lahan pertanian nan subur itu akan tetap ada karena ada perusahaan tambang berencana membangun pabrik semen di tempat itu. Sedangkan perbukitan hijau tak jauh dari lahan pertanian sebagai lokasi tambang.
Saat ini, warga yang mayoritas petani sedang dibujuk agar menjual lahan produktif mereka. Warga menolak. Lahan subur yang membuat mereka berdaulat atas pangan turun temurun ini pun terancam.
Warga menolak untuk menjual lahan kepada perusahaan karena itu akan berdampak pada sumber-sumber air. “Intinya, warga menolak gak mau jual tanah biarpun harga berapa gak mau jual tanah,” katanya.
Iming-iming pekerjaan tak membuat Wagirin dan sebagian warga lain tergoda. Bagi mereka, lahan pertanian, masih bisa anak cucu nikmati dan jadi lahan hasilkan pangan.

Lumbung pangan
Hery Priswanto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah, dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, apa yang petani Pracimantoro lakukan sebagai bukti bagaimana kedaulatan pangan berlangsung di tingkat tapak. Sudah seharusnya itu jaga bersama.
Kedaulatan pangan mereka, katanya, sudah ada sejak zaman Mataram kuno, kisaran abad 8-10 Masehi. Hal ini ditandai dengan temuan lumbung padi di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah pada 2020. “Selama penelitian di situs Liyangan, kami menemukan lumbung padi. Ini kami temukan relatif utuh,” katanya.
Dari temuan lumbung padi, mereka menyimpulkan, nenek moyang bangsa sudah bisa memitigasi pangan sejak dulu. Keberadaan lumbung padi, katanya, bukti mereka sudah berpikir tentang gudang untuk menyimpan pangan. Bahkan, penerapan konsep ini masih bisa hingga kini.
“Meski di Liyangan sumber melimpah tapi topografi miring tentu harus disiasati. Apalagi mereka hidup di lereng Gunung Sindoro banyak ancaman, mereka prepare. Artinya, mereka bertahan dengan menyiapkan lumbung padi.”
Hery bilang, lumbung padi belum pernah ditemukan secara in situ (di tempat aslinya), di situs mana pun. Kondisi Liyangan musnah dan tertimbun karena erupsi Gunung Sindoro.
Tak ada temuan korban atau peninggalan berharga dalam timbunan. Karena masyarakat Linyangan sudah evakuasi. Selain sudah pandai bertahan hidup, mereka juga bisa membaca tanda-tanda alam kalau ada bencana.
“Waktu ditemukan, ikatan padi masih tertata rapi, masih ada berjajar padi rapi sekali. Ini salah satu kedaulatan pangan, bagaimana masyarakat Jawa kuno aware (menyadari), menyiasati masalah pangan,” katanya.

Warga kukuh menolak
Penolakan warga Pracimantoro atas rencana tambang batu gamping dan pabrik semen bukan tanpa alasan. Mereka menilai, industri semen di kawasan bentang alam karst tak hanya merusak sumber air, mengancam kesehatan, dan memiliki daya rusak masif.
Tambang dan pabrik semen juga berisiko merusak peradaban yang terbentuk ribuan tahun di kawasan karst Gunungsewu. Dalih pembangunan pabrik untuk peningkatan ekonomi tak sebanding dengan kerusakan. Apalagi dalih menyerap ribuan tenaga kerja.
Warga merasa sudah memiliki kedaulatan pangan sendiri dari lahan pertanian yang mereka miliki. Jika dipaksa menjadi buruh pabrik tak lantas membuat mereka sejahtera. Justru sebaliknya, bisa memiskinkan warga karena tak lagi berdaulat atas sumber pangan.
Mereka yang menolak pabrik semen tak tahu harus mengadu kepada siapa lagi.. Warga mayoritas petani ini memutuskan untuk mencari Bupati Wonogiri.
Pada 14 Maret 2025, mereka berupaya menunggu Bupati Wonogiri Setyo Sukarno usai sarasehan dan Safari Ramadan di Desa Lebak, Pracimantoro. Di depan Toko Modern Sawahan, Pracimantoro, mereka menunggu iring-iringan mobil pejabat.
Karena iring-iringan mobil pejabat tak berhenti, mereka pun berteriak meminta Setyo Sukarno bisa menampung aspirasi wong cilik. Hasilnya nihil, iring-iringan mobil pejabat lewat begitu saja.
Suryo Permen, koordinator aksi membenarkan itu. Warga ingin bertemu bupati dan meminta revisi Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Gunung Sewu Segmen Wonogiri 2024-2044. Mereka menilai, perbup itu merupakan peraturan yang mendukung penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tambang batu gamping dan pabrik semen di Pracimantoro.
“Pak Bupati tolong revisi atau cabut Peraturan Bupati No 1 tahun 2024. Ini ranah beliau, jadi yang kami minta itu. Kaca mobil juga gak dibuka maka kami berteriak seperti itu. [Dengarkan] aspirasi sekedar ngobrol lima menit. Bupati ternyata gak mau mendengarkan kami.”
Sebelumnya, 11 Maret lalu, Bupati Wonogiri mengatakan terus mendukung rencana investasi pabrik semen di wilayahnya. Apalagi nilai investasi mencapai triliunan rupiah. Dalihnya, demi memajukan Wonogiri.
Investasi di Pracimantoro, katanya, mampu memberikan multiplier effects bagi warga. Dia berdalih, dapat menyerap banyak tenaga kerja, memajukan UMKM, transportasi dan memunculkan banyak usaha indekos.
“Secara regulatif itu terpenuhi kami akan tetap mendukung. Baik dari segi amdal dan lain-lain. Kita bersama ingin memajukan Wonogiri. Pun bilamana ada pro dan kontra di masyarakat kita cari jalan keluarnya seperti apa,” katanya dikutip dari Solopos.

Seolah sadar kuatnya penolakan atas rencana pabrik semen di Pracimantoro, investor, AAS menemui Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ahmad Luthfi, 18 Maret lalu. Gubernur pun menyampaikan dukungan atas rencana itu.
Luthfi bilang, investasi ke Wonogiri dapat menjadikan daerah itu berkembang. Dengan Rp6 triliun, dia berharap, investasi berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Sekali lagi kami mendukung investasi. Aturan-aturannya diselesaikan lebih dahulu.”
Suwadi Bing Andi, Direktur AAS mengatakan, saat ini masih dalam proses perizinan dan penyelesaian pembebasan lahan. Targetnya, pada 2026 sudah mulai konstruksi. “Perusahaan siap menyerap tenaga konstruksi 1.200-an orang dan operasional bisa mencapai 1.200 orang,” katanya dalam keterangan tertulis yang Mongabay terima.
*****