Mikroplastik dalam Tubuh Manusia Bisa Pengaruhi Fungsi Otak

1 week ago 21
  • Ada mikroplastik, plastik berukuran kurang dari 5 mm, dalam urin, feses dan aliran darah manusia bisa pengaruhi fungsi otak.
  • Pukovisa Prawirohardjo,  Ahli saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang memimpin penelitian ini, mengatakan, partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai tinggi memiliki risiko penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat. Ia mencakup pengaruh kemampuan berpikir, mengingat dan mengambil keputusan.
  • Meski berbagai penelitian menunjukkan ancaman nyata paparan mikroplastik, tren pertumbuhan produksi plastik dan timbulan sampahnya juga makin meningkat. Laporan Organisation for Economi Co-operation and Development (OECD) Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040 menemukan, ada peningkatan sampah plastik di seluruh dunia hingga dua kali lipat, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton sepanjang 2000-2019.
  • Afifah Rahmi Andini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia mengatakan, pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer. Juga, mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan.

Ada mikroplastik, dalam tubuh manusia bisa pengaruhi fungsi otak. Penelitian terbaru Greenpeace dan Universitas Indonesia menunjukkan, mikroplastik–plastik berukuran kurang dari 5 mm–, dalam urin, feses dan aliran darah manusia bisa berdampak serius pada fungsi kognitif otak. Belum ada standar pengujian mikroplastik dalam pangan dan lingkungan makin memperparah kontaminasinya dalam tubuh manusia.

Pukovisa Prawirohardjo,  Ahli saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang memimpin penelitian ini, mengatakan, partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai tinggi memiliki risiko penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.

“Ini mencakup pengaruh kemampuan berpikir, mengingat dan mengambil keputusan,” katanya saat peluncuran laporan ini akhir Februari lalu.

Fungsi kognitif ini dianalisis menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan bersama tim dokter Divisi Neurobehaviour Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).

Mula-mula tim peneliti survei identifikasi pola konsumsi plastik dan kelompok masyarakat yang rentan paparan mikroplastik. Tim peneliti menganalisa kadar mikroplastik dalam urin, darah dan feses responden dari Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang, untuk melihat kadar mikroplastik dalam tubuh dan aktivitas mental mereka.

Studi pada Januari 2023-Desember 2024 ini menemukan mikroplastik pada 95% sampel partisipan. Kadar per sampel darah berkisar antara 0-7.35 partikel per gram. Mikroplastik juga dalam sampel urin sekitar 0-0.3 partikel per mililiter. Pada feses sekitar 0-44.35 partikel per gram.

Penelitian ini juga menemukan, PET (polyethylene terephthalate) jadi jenis mikroplastik paling banyak dalam tubuh partisipan. Total 204 partikel terdeteksi.  PET biasa pada kemasan plastik botol minuman, makanan siap saji, kemasan skincare, hingga serat pakaian dan karpet.

Mikroplastik karena ukuran sangat kecil, mudah menyebar melalui rantai makanan, proses pengolahan limbah yang tidak sempurna atau konsumsi makanan laut yang terkontaminasi.

Survei yang menjadi bagian dari kajian ini menunjukkan mayoritas publik sangat mendukung berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah mikroplastik.  Terutama, penghentian bertahap produksi plastik murni, promosi sistem isi ulang dan penggunaan kembali, penerapan standar baku mutu mikroplastik dan perbaikan sistem pengelolaan sampah tingkat lokal.

Afifah Rahmi Andini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia mengatakan, pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer. Juga, mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan.

“Pemerintah juga perlu menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam pangan dan lingkungan,” katanya.

Selain itu, produsen perlu mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai secara signifikan dan beralih ke sistem kemasan guna ulang dan isi ulang.

“Perlu peningkatan transparansi komposisi produk dan investasi dalam teknologi pengelolaan limbah plastik. Karena ini, bukan cuma masalah sampah tapi ancaman nyata untuk kesehatan.”

Afifah mengatakan, konsumen berhak mengetahui apakah produk yang mereka gunakan aman dan bebas dari mikrplastik yang membahayakan.

Terus menggunung

Meski berbagai penelitian menunjukkan ancaman nyata paparan mikroplastik, tren pertumbuhan produksi plastik dan timbulan sampahnya juga makin meningkat. Laporan Organisation for Economi Co-operation and Development (OECD) Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040 menemukan, ada peningkatan sampah plastik di seluruh dunia hingga dua kali lipat, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton sepanjang 2000-2019.

Di Indonesia, upaya pengurangan dan pengelolaan belum maksimal juga menimbulkan timbulan sampah plastik berisiko masalah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) 2023 menunjukkan,  total 41,07 juta ton sampah, atau naik 48,77% dari 2019. Dari total sampah itu, 61,62% terkumpul di tempat pembuangan sampah, ditimbun, atau sebagian dikelola. Sisanya, mencemari lingkungan, termasuk lautan.

Kenaikan jumlah sampah itu diikuti dengan produksi sampah plastik. Jumlah sampah plastik pada 2019 sebanyak 4,38 juta ton, dan 7,86 juta ton pada 2023.

Kenaikan sampah plastik dari 2019 ke 2023 adalah 79,45%, jauh lebih tinggi dari kenaikan total sampah secara keseluruhan.

“Sebagian besar untuk plastik kemasan yang durasi pemakaian bahkan tak sampai 30 menit. Konsekuensinya timbunan sampah plastik akan naik,” kata Afifah.

Produksi sampah plastik terus meningkat, sementara pengelolaan masih jauh dari kata ideal. “Ironisnya, kita bahkan menampung limbah plastik dari negara lain.”

Pada 2023, Indonesia mengimpor sampah plastik 252.473 ton dari 27 negara.

Belanda, jadi negara importir sampah plastik terbesar di Indonesia, lalu Jerman, Belgia, dan Amerika Serikat (AS). Ini menunjukkan, kontribusi sampah plastik terhadap total sampah makin besar, memperburuk pencemaran lingkungan.

“Bisa dibayangkan sisanya kemana? Jika tidak diintervensi ini akan meningkat dari tahun ke tahun,” katanya.

Saat ini, upaya pembatasan hanya mencakup empat jenis, kantong plastik, sedotan, stereofoam dan saset yang akan berlaku pada 2030.

Tiza Mafira, advokat lingkungan dan dewan penasihat Aliansi Zero Waste Indonesia menilai,  pelarangan plastik sekali pakai bisa lebih cepat tak perlu menunggu 2030.

“Sedotan, stereofoam udahlah dilarang aja. Toh alternatifnya banyak,” katanya.

Cakupannya,  juga perlu lebih luas untuk seluruh jenis plastik sekali pakai termasuk PET. Larangan penggunaan mikroplastik primer seperti microbeads dalam produk konsumen juga mendesak untuk menghindari mikroplastik.

“Pemerintah harus mulai merancang kebijakan yang mendoorong ke sistem guna ulang sebagai solusi lebih berkelanjutan untuk mengurangi sampah plastik di hulu,” katanya.

Limbah rumah tangga yang bercampur dengan limbah medis. Sampah dan limbah potensial sebagai pembawa infeksi

Plastik dalam medis

Laetania Belai Djandan dari Health Care Without Harm (HCWH) menyoroti, penggunaan plastik dalam dunia medis yang berisiko menambah paparan mikroplastik untuk pasien.

“Pasca COVID19 sektor kesehatan menunjukkan ketergantungan pada plastik sangat besar,” katanya.

Kondisi ini membuat sektor ini berada di persimpangan, apakah menjadi solusi dari ancaman kesehatan akibat paparan mikroplastik atau makin berkontrobusi memaparkan mikroplastik. Temuan audit HCWH persentase,  limbah plastik di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia dan Filipina mencapai 72%. Ini hanya lebih rendah dari Eropa, 83% dan jauh dari Amerika dan Inggris masing-masing hanya 25% dan 22,7%.

Kerentanan paparan mikroplastik sebagian besar pada alat-alat non esensial seperti gelas minum, plastik pembungkus makanan, yang semestinya bisa diganti dengan bahan lain. Meski demikian, Belai meyakini transisi dalam sektor kesehatan bisa dilakukan.

“Sektor yang harusnya menyembuhkan jangan sampai malah menimbulkan sakit lagi karena paparan mikroplastik,” kata Belai.

Ada mikroplastik, plastik berukuran kurang dari 5 mm, dalam urin, feses dan aliran darah manusia bisa pengaruhi fungsi otak. Foto: pexels.com/Francesco Ungaro

********

Produk Kosmetik dan Perawatan Diri Mengandung Mikroplastik?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|