Longsor Bayangi Komplek Perumahan Relokasi Rempang Eco City

1 week ago 16
  • Tak sampai dua tahun, perbukitan di Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang, Kota Batam itu kini berubah menjadi kompleks pemukiman. Ratusan rumah dengan atap berkelir biru berjejer di atas lahan yang dulunya merupakan area perkebunan warga itu. 
  • Sejak awal, proyek ini sarat masalah. Selain tuai penolakan dari warga Rempang, rumah-rumah yang dibangun juga rawan longsor karena berada di antara tebing-tebing dengan tinggi 2 meter lebih. Belum lagi soal drainase yang juga dinilai tak layak, serta pasokan air bersih yang tak cukup.
  • Menurut Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Veteran Yogyakarta Teguh Paripurno, kawasan rumah relokasi itu berada di kontur tanah yang lapuk dan rawan erosi serta longsor.
  • Bondan Budiman, Direktur PT LNJ cabang Batam Bondan Budiman tak menampik ancaman longsor di kawasan perumahan relokasi itu. Terlebih, longsor juga sudah terjadi di sejumlah titik dan mengancam rumah yang baru dibangun itu.

Tak sampai dua tahun, perbukitan di Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang, Kota Batam itu kini berubah menjadi kompleks perumahan. Ratusan rumah dengan atap berkelir biru berjejer di atas lahan yang dulunya merupakan area perkebunan warga. 

Rumah-rumah tersebut adalah komplek relokasi warga terdampak proyek Rempang Eco City yang sarat polemik. Dulu, proyek ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Belakangan, Presiden Prabowo Subianto, mengeluarkannya dari daftar PSN pada Februari 2025.

Belum lama ini, Mongabay berkunjung ke pemukiman warga itu. Lokasinya tepat berada di simpang jalan antara Kampung Tanjung Banon dan Kampung Dapur 6 Pulau Rempang, secara administratif masuk Kampung Tanjung Banon. 

Terlihat rumah-rumah dengan bentuk dan desain yang sama, lengkap dengan tandon air berkapasitas 1.000 liter. Posisi rumah berada di lereng bukit. 

Pasokan air masih dari BP Batam menggunakan mobil tangki ke masing-masing tandon setiap dua hari sekali. “Kadang kalau banyak tamu ke rumah tak cukup air itu,” kata  warga yang sudah pindah ke sana. 

Sampai Februari 2025,  68 keluarga menerima relokasi dan pindah ke rumah  itu. Secara keseluruhan total warga terdampak PSN ini lebih kurang 900 keluarga. Tahap pertama, relokasi untuk 300 keluarga tersebar di lima kampung, yaitu, Sembulang Hulu, Sembulang Pasir Merah, Pasir Panjang, Sembulang Tanjung dan Blongkeng.

Rumah relokasi korban terdampak proyek Rempang Eco City, Rempang, Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Banyak persoalan

Sekilas, komplek perumahan relokasi PSN Rempang Eco City, itu seperti pada umumnya. Ada  tipe 45, rumah-rumah itu berjejer rapi dari ujung ke ujung. Sebagian rumah terlihat masih dalam proses pembangunan.

Kalau membandingkan dengan rumah-rumah warga sebelumnya, atau dengan mereka yang menolak relokasi, jelas jauh berbeda. Rumah-rumah warga kampung Rempang berdiri sporadis karena terpisahkan oleh jarak. Hampir setiap rumah memiliki lahan luas dan asri dengan tumbuhan yang sudah ada sejak puluhan tahun lamanya.

Di relokasi, terlihat beberapa penghuni sibuk membenahi saluran drainase yang bermasalah. Ada pipa pembuangan limbah domestik  lebih rendah dari saluran drainase di pinggir jalan. “Kalau hujan datang, mampet, tergenang, kerja asal-asalan,” kata  warga. Genangan air terlihat di beberapa rumah relokasi itu.

Kawasan perumahan ini belum semua selesai. Akses jalan pun belum seluruhnya. Begitu juga drainase. Masalah lainnya, beberapa rumah warga yang terancam longsor karena berada di pinggir tebing dengan tinggi sekitar 2 meter. Tebing-tebing itu merupakan jejak bukit yang dikepras. 

Tebing-tebing di sekeliling rumah tersebut terlihat mulai tergerus. 

Seorang pekerja proyek relokasi itu mengatakan, pematangan lahan sebenarnya belum selesai. “Ini proyek gagal, pematangan belum selesai, tetapi rumah sudah dibangun, lihat itu sudah mulai longsor,” katanya menunjuk ke rumah sudah mulai tergerus air hujan.

Dia bilang, pematangan lahan seharusnya tuntas  terlebih dulu sebelum mulai membangun rumah. Itu pun, perlu pemadatan untuk memastikan lahan hasil pematangan benar-benar siap bangun. Akibatnya, beberapa titik longsor pun mulai terjadi, termasuk di bagian puncak bukit yang juga sedang proses pematangan lahan. Beberapa bagian tebing ambrol usai hujan lebat  mengguyur pada Januari lalu. 

Eko Teguh Paripurno, Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mengatakan, kalau melihat dalam peta geologi tapak rumah relokasi Rempang Eco City berada pada formasi Tanjung Kerotang, yang terdiri dari batu pasir kasar yang terkonsolidasi baik, berumur Mio-Pliosin.

“Artinya,  Kampung Tanjung Banon merupakan tanah hasil pelapukan formasi itu. Kondisi lapuk tersebut menjadikan tanah mudah tererosi dan longsor skala kecil,” katanya melalui sambungan telepon. 

Selain itu, Tanjung Banon ini cenderung lebih sulit  air dengan kualitas baik, berbeda dengan di kampung lama. Karena itu, dia  menyarankan kepada pemerintah mencari cara agar akses air itu bisa tercukupi. 

“Kampung lama berada di Formasi Goungon, merupakan endapan fluviatil berumur kuarter,” katanya.

Teguh mengatakan, jika  pematangan lahan tidak  maksimal, bisa berdampak ke depan. “Akan mudah tererosi.”

Dalam Perpres no 87/ 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun, merupakan taman buru. Dalam keterangan Peta Kawasan Lindung dan Budidaya, sebagaimana perpres itu, relokasi berada pada kode TB/L3, berarti  suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya. Lebih rinci,  kawasan itu adalah suaka alam,  pematangan kawasan pantai berhutan bakau, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

“Jika merujuk peruntukan sesuai Perpres maka pembangunan perumahan itu jelas melenceng, yang seharusnya jadi suaka alam atau taman buru, ” kata Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR Walhi  Riau.

Ketentuan perpres ini juga jadi rujukan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3/2021 tentang RT RW 2021-2041 Kota Batam.

 Eko bilang, longsor mungkin saja  terjadi karena air hujan tidak lagi terserap tumbuhan yang awalnya ada di  taman buru  itu. “Informasi terbaru katanya lokasi itu sudah jadi  HPL(hal pengelolaan lahan)  oleh Kementerian ATR/BPN. Pertanyaannya, apa dasar perubahan status ini? Apakah sekedar  mengakomodir proses relokasi tanpa mempertimbangkan potensi bencana, baik dari segi fungsi lahan sebagai kawasan konservasi maupun kelayakan sebagai pemukiman?” tanya Eko.

Sampai saat ini, dia tidak bisa mengakses peta perubahan fungsi kawasan hutan dan penerbitan HPL itu, sebagaimana klaim BP Batam.

Lokasi relokasi korban terdampak proyek Rempang Eco City, Batam. Dulu, lokasi ini adalah perkebunan warga. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Bermasalah sejak awal

Mongabay mengkonfirmasi kepada Harlas Buana, Kasatgas Gabungan Percepatan Rempang Eco City  juga menjabat sebagai Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu BP Batam terkait sejumlah persoalan itu. Dia  berdalih,  bila pembangunan ratusan rumah relokasi itu sepenuhnya menjadi kewenangan perusahaan. BP Batam sudah menyerahkan pengerjaan proyek itu ke PT Lestari Nauli Jaya (LNJ). 

“Terkait longsor ini, nanti  dibikin dinding penahan tanah, cuaca hujan jadi banyak lumpur, itu urusan perusahaan juga,” kata Harlas usai mendampingi Menteri Transmigrasi, M. Iftitah Sulaiman ketika berkunjung ke rumah relokasi di Pulau Rempang, 26 Februari.

Terkait status hutan buru, Sudirman, Ketua Tim Terpadu Rempang Eco City Sudirman menegaskan, bila kawasan itu sudah berstatus sebagai HPL BP Batam. “Kalau lahan di Tanjung Banon ini sudah HPL semua,” katanya dalam kesempatan  sama.

Bondan Budiman, Direktur LNJ cabang Batam  tak menampik ancaman longsor di perumahan relokasi itu. Terlebih, longsor juga sudah terjadi di sejumlah titik dan mengancam rumah yang baru terbangun.

Kada Bondan, selain longsor kecil di sekitar rumah, longsor skala besar juga terjadi di bekas pemotongan lahan di bagian bukit kawasan rumah relokasi. Longsor terjadi antara tebing yang sudah pematangan  dengan lahan dengan lahan pembangunan rumah relokasi tahap dua.

“Kalau longsor tidak dimitigasi dari awal, tidak terbayang potensi longsor, intensitas hujan tinggi, tanah terus tergerus,” kata Bondan saat ditemui di kawasan Batam Center, 11 Maret lalu.

Longsor terparah sempat terjadi dengan panjang hampir 15 meter dan berdampak pada sekitar 37 rumah. Dia pun akan meminta BP Batam memperpanjang masa pembangunan rumah relokasi— jadwal awal berakhir  31 Maret ini— untuk mitigasi.

” Kalau BP setuju, kami akan bangun batu miring, di titik-titik yang berpotensi longsor. Tentu akan berdampak ke budget pembangunan rumah, ada rumah yang tak selesai, itu tergantung BP,” kata Bondan. 

Dia juga mengaku kontur tanah di Kampung Tanjung Banon tempat relokasi warga Rempang berbeda dengan yang lain.  Tanah di kawasan ini berubah coklat dan licin ketika hujan, tetapi sangat keras saat kering. “Sekarang ini dari 350 rumah yang on progres pembangunan 313, sedangkan 37 rumah kita hold dulu, karena digaris longsor tadi, kita khawatir sepanjang lereng takutnya terjadi semua (longsor), makanya harus dimitigasi.” 

Begitu juga Bondan membenarkan banyak keluhan warga terkait misal saluran air yang bermasalah. Karena memang secara keseluruhan infrastruktur belum terbangun semua, tetapi rumah sudah mau ditempati. “Sehingga ada titik disitu menjadi hambatan,” katanya.

Secara keseluruhan,  kata Bondan, pembangunan rumah relokasi bermasalah sejak pematangan lahan. Awalnya,  pematangan lahan akan PUPR lakukan, tetapi tidak jadi. Belakangan, pematangan itu dibebankan kepada perusahaan hingga pekerjaan pematangan lahan, pembangunan rumah, pembangunan jalan dan infrastruktur bersamaan karena mengejar waktu.

Padahal, seharusnya pematangan  lebih dulu sebelum pembangunan rumah mulai. “Itu yang sebenarnya tidak ideal, tetapi sebagai perusahaan kami akan menyelesaikan pembangunan ini dengan semaksimal mungkin,” kata Bondan.

Papan pengumuman kawasan konservasi taman buru Pulau Rempang yang beririsan dengan kawasan perumahan relokasi PSN Rempang Eco City. Kawasan ini dulunya secara keseluruhan merupakan taman buru. Foto Yogi Eka Sahputra/Mongabay

Boy Sembiring, Direktur Walhi Riau mengatakan, BP Batam, Pemerintah Batam, dan seluruh pihak yang terlibat dalam konspirasi rencana penggusuran tidak merencanakan upaya penyiapan lokasi pengganti dengan baik. “Bahkan  secara terburu-buru, sarat potensi korupsi, tidak memperhatikan aspek kesiapan tanah, dan kebencanaannya,” katanya, 19 Maret 2025.

Dia  pun mempertanyakan rumah-rumah yang terbangun itu. “Rumah-rumah ini untuk siapa? Karena jelas, 80% penduduk di Sembulang, Pasir Panjang dan lokasi tahap I lainnya menolak untuk digusur, menolak dipindahkan,” katanya. 

*****

Tolak PSN Rempang Eco City, Nenek Awe Terjerat Hukum

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|