- Nelayan Natuna dan Anambas, Kepulauan Riau kembali melaporkan maraknya kapal ikan asing Vietnam di Laut Natuna Utara, Maret 2025 ini.
- Dampak kapal asing tersebut semakin dirasakan nelayan, pasca kejadian rusaknya puluhan bubu tangkap nelayan Anambas. Kerugian mencapai ratusan juta.
- PSDKP KKP mengatakan paroli tidak bisa dilakukan maksimal karena terdampak efisiensi. Sedangkan Bakamla enggan berkomentar terkait peristiwa ini.
- Akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji mengkritik kewenangan penjagaan laut di Indonesia. Seharusnya undang-undang pengawasan ini dievaluasi.
Mustafa mendapatkan kabar, bahwa tekong dan anak buah kapalnya menemukan alat tangkap bubu mereka hilang di Perairan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau. Pada 9 Maret lalu itu, mereka hendak memanen ikan menggunakan bubu yang terpasang di laut.
“Kejadian ini sekitar 9 Maret, itu koordinat kepala tiga derajat 105, sebelah barat Pulau Tarempa,” kata Mustafa kepada Mongabay,. Lokasi kejadian berjarak sekitar 30 mil dari Pulau Durai Tarempa.
Dia memeriksa titik bubu yang sudah terpasang sebulan lalu. Hasilnya, tersisa tiga bubu dalam keadaan rusak. “Kami pasang bubu itu 20 biji, yang ditemukan tiga rusak, penyot-penyot,” kata yang juga Wakil Ketua HNSI Siantar Timur ini.
Kuat dugaan alat tangkap itu rusak terdampak aktivitas kapal asing karena berjarak tiga mil dari lokasi bubu itu, ada enam kapal asing sedang mengoperasikan jaring trawl atau pukat harimau. “Kita pastikan itu kapal asing Vietnam, mereka melaut menggunakan jaring kapal gandeng, antara kapal terbentang jaring sekitar setengah mil,” kata Mustafa.
Para nelayan bermanuver dengan mendekati kapal Vietnam untuk memberitahu bahwa perairan itu tempat nelayan memasang alat tangkap bubu, tetapi permintaan itu tak digubris.
“Tetap saja mereka melaut disitu, anggota kami kasih taunya pakai isyarat, untuk memberitahu kalau kawasan ini tempat nelayan pasang bubu. Bukan berhenti melaut mereka malahan memberi anggota saya rokok merek Vietnam,” katanya. Khawatir terjadi konflik, para nelayan balik kanan.
Bagi Mustafa, kehadiran kapal-kapal asing itu tentu merugikan para nelayan. Niat mencari ikan dengan perkisaraan bisa hasilkan satu ton dari 20 alat tangkap bubu. Nelayan hanya membawa pulang 200 kilogram ikan. “Biasa kalau kembali ke darat bawa ikan satu ton, ini untuk bayar ongkos operasional saja tidak cukup, rugi,” katanya.
Bubu merupakan alat tangkap ikan yang tergolong pasif. Cara kerja alat tangkap ini dengan menjebak ikan hingga tak bisa keluar. Beberapa jenis ikan tertangkap antara lain baronang, kerapu dan beberapa jenis lain.

Dari kapal trawl sampai cantrang
Kapal sebelah barat berhadapan dengan kapal asing Vietnam, di sebelah utara, ruang laut nelayan Anambas dijarah kapal cantrang. Kejadian bertemu kapal cantrang ini langsung Mustafa alami 7 Maret lalu.
Kala itu, gerombolan kapal cantrang beroperasi di lintang kepala 2 derajat 41 bujur 106 39, sekitar 18 mil dari Pulau Nunsa atau Pulau Akar Anambas. “Ada belasan kapal cantrang ketika itu,” kata Mustafa.
Dampak dari aktivitas kapal cantrang ini, separuh dari 14 bubu Mustafa amblas.
Dia memastikan kapal-kapal cantrang masih beroperasi sampai sekarang.
“Kalau kerugian jangan ceritalah. Rugi pembuatan bubu. Waktu. Satu bubu saja harga Rp800.000, kali 14 biji. Itu belum ikan yang sudah masuk dalam bubu dan akhirnya hilang, berlipat kerugian kami.”
Kapal-kapal cantrang itu sejatinya sudah lama beroperasi tetapi kali ini terlalu jauh masuk ke pesisir Pulau Tarempa, yang jadi tempat nelayan kecil mencari ikan. Buntutnya, sebagian nelayan enggan kembali melaut karena khawatir merugi lantaran minim hasil.
“Kapal ikan asing itu juga sudah bertahun-tahun, tetapi tidak ada tindakan dari pemerintah,” katanya.
Nelayan meminta, kapal asing tidak beroperasi lagi di Anambas, baik di jarak 50-60 mil.

Minim patroli
Marak kapal-kapal trawl, baik asing maupun lokal, katanya, lantaran aktivitas patroli ini yang minim belakangan ini dari Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) atau Kapal Patroli TNI Angkatan Laut.
Dia meminta, pemerintah memberikan perhatian kepada nelayan Anambas dan Natuna. “Apa yang mau kami makan kalau seperti ini, anak dan istri menunggu hasil laut di rumah, nyatanya tidak ada dapat. Ujung-ujungya kami merampok, kalau tidak ada lagi hasil di laut,” katanya.
Dedy Syahputra, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Anambas, mengatakan, tak hanya Mustafa yang laporkan kasus kapal asing dan cantrang, nelayan lain juga. “Dalam bulan ini (Maret) terlalu banyak (kapal cantrang dan KIA Vietnam), jaraknya hanya beberapa mil saja dari pulau terdekat.”
Dia mempertanyakan efektivitas patroli laut aparat. Alih-alih mengambil tindakan, nyatanya, kapal-kapal asing itu masih banyak beroperasi hingga kini. “Pemerintah harus melakukan aksi nyata, bukan omon-omon. Beberapa bulan ini nggak bisa tangkap itu kapal asing, padahal sebanyak itu di laut.”
Dedy menduga, patroli laut minim belakangan ini karena terdampak efisiensi anggaran. Hingga, kapal-kapal itu makin bebas mencuri ikan seiring dengan pemerintah baru Prabowo Subianto. “Nelayan sudah banyak laporan, tapi tidak ditindak. Jangan salahkan nanti kalau nelayan main hakim sendiri,” katanya.
Pung Nugroho Saksono, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) mengakui ada laporan kapal asing dan cantrang itu. Merespon itu, mereka sudah menurunkan kapal pengawas Macan Tutul 01 tetapi tidak ada kapal asing beroperasi. “Selanjutnya, akan kami gerakkan Orca 03 dari Batam,” katanya, 20 Maret 2025.
Pung tak mengelak, efisiensi anggaran turut berdampak terhadap kegiatan patroli laut. “Sangat berdampak. Maka kami tidak bisa menggerakkan kapal banyak dan tidak bisa lama di laut,” katanya. Terpisah, Bakamla tidak menjawab upaya konfirmasi Mongabay.
Mendengar itu, para nelayan berkelakar untuk patungan demi membantu operasional patroli laut. “Kalau memang terdampak efisiensi, datangkan saja kapal patroli itu ke Pulau Nyamuk Anambas ini, biar kami isi minyaknya, biarlah rugi kami sekali ini, daripada rugi seterusnya,” ujar Mustafa.
Ady Muzwardi, Akademisi Hubungan Internasional Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepri, mengatakan, belum terlihat sinergitas patroli antar kementerian dan lembaga dalam menjaga keamanan laut di Natuna. Hingga intrusi kapal asing di laut terus terjadi sampai sekarang.
“Baik di kawasan teritorial laut, zona tambahan, zona eksklusif, landas kontinen dan laut lepas, aktor utamanya Bakamla, tetapi kita nggak tau seperti apa fungsi utama Bakamla ini, kalau mengandalkan KKP sulit karena keterbatasan anggaran tadi.”
Sejatinya, Bakamla sudah memiliki peta wilayah potensial illegal fishing, termasuk fasilitas radar guna memantau pergerakan kapal ikan. Jadi, ketika kapal-kapal asing itu tidak terpantau, justru hal aneh.
*****
Nelayan Kecil Natuna di Tengah Himpitan Kapal Besar dan Asing