Pargamanan dan Bintang Maria adalah dua dusun yang masuk ke dalam administrasi Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kedua dusun ini dihuni oleh 54 keluarga keturunan marga Batak Toba yakni Sitanggang, Simbolon, dan Lumban Gaol yang telah hidup secara turun-temurun sebanyak enam generasi.
Konon, 125 tahun yang lalu, keturunan Partuan Nahoda Raja (Raja etnis Pakpak) memberikan hak atas tanah kepada leluhur masyarakat Pargamanan-Bintang Maria. Kecamatan Parlilitan dikenal sebagai tanah suku Pakpak di bawah naungan Sionom Hudon.
Pemberian hak atas tanah antar suku ini dilakukan dengan mekanisme adat dan disertai petuah bahwa tanah tersebut tidak boleh dipindahtangankan dan harus dijaga untuk generasi yang akan datang.
Sebagian warga adalah petani yang menggantungkan hidupnya dari sawah, ladang dan tombak haminjon (hutan kemenyan). Saat musim tanam padi tiba, seluruh masyarakat Pargamanan-Bintang Maria akan menetap di kampung untuk bersama-sama mengelola sawah.
Pada musim manige (menyadap) getah kemenyan tiba, seluruh masyarakat serentak berangkat ke hutan dan menginap bermalam-malam di sana. Biasanya, masyarakat berangkat pada hari Selasa dan kembali ke kampung pada hari Sabtu.
Kemenyan dan Hasil Produknya
Kemenyan (Styrax benzoin) adalah tanaman endemik dari Tanah Batak. Kemenyan biasa digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, pengharum ruangan, parfum, dan dupa. Kemenyan hanya mampu menghasilkan getah jika tumbuh di antara pohon-pohon alam.
Iklim yang sejuk membuat getah kemenyan bergumpal dan menghasilkan getah jenis sidukkapi atau getah terbaik yang dibanderol Rp 250.000-Rp 300.000 per kilogram. Hingga kini, kemenyan masih menjadi komoditas termahal dari Tanah Batak.
Sebagai contoh, dalam satu dekade terakhir, Rajes Sitanggang (51) tetua di Pargamanan mampu menghasilkan 80-100 kilogram kemenyan setiap tahunnya. Namun, maraknya pembukaan hutan untuk kebun kayu eucalyptus milik PT Toba Pulp Lestari (PT TPL), produksi getah kemenyan ini menurun drastis.
Pada Desember 2024 lalu, Sitanggang hanya memperoleh 10 kilogram getah kemenyan. Hal serupa dirasakan oleh seluruh masyarakat Pargamanan-Bintang Maria. Demikian juga, semakin hangatnya suhu di hutan juga membuat getah kemenyan tetap mencair dan gagal dipanen.
Mengacu hasil pemetaan partisipatif warga, wilayah Pargamanan-Bintang Maria seluas 1.766 hektar (90%) masuk ke dalam klaim Kawasan Hutan Negara berdasarkan SK.6609/MenLHK/ PKTL/PLH/X/2021 dengan fungsi Hutan Produksi Tetap seluas 1.596 hektar.
Di atas klaim tersebut, terdapat Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman Industri (HTI) PT TPL seluas 736 hektar. Secara eksisting, lokasi tersebut adalah hutan alam yang berisi berbagai jenis kayu-kayu alam dan pohon-pohon kemenyan serta tempat hidupnya satwa liar seperti harimau, beruang madu, rusa dan lainnya. Namun hutan tersebut berganti dengan tanaman monokultur yang rakus air.
Perusahaan yang terafiliasi dengan grup Royal Golden Eagle (RGE) milik Sukanto Tanoto tersebut telah berkomitmen untuk menghentikan deforestasi pada Juli 2015. Namun, pasca publikasi komitmen, angka deforestasi di Pargamanan-Bintang Maria tak kunjung berhenti. Hutan yang telah di buka pun telah mencapai 358 hektar.
Tidak hanya peruntukkan untuk kawasan Hutan Produksi Tetap, wilayah Pargamanan-Bintang Maria juga diklaim sebagai Hutan Produksi Konversi seluas 108 hektar untuk pengembangan food estate. Walhasil, hal ini mengakibatkan warga Pargamanan-Maria hanya menguasai 62 hektar atau 3,6% tanah di desanya dengan status Area Penggunaan Lain (APL).
Sejak 2010, masyarakat Pargamanan-Bintang Maria sebenarnya telah mendesak negara agar wilayahnya dikeluarkan dari klaim Kawasan Hutan dan izin konsesi PT TPL. Alih-alih diakui dan dilindungi keberadaannya, masyarakat Pargamanan-Bintang Maria justru diabaikan oleh kebijakan pembangunan.
Ruang Hidup Warga yang Terancam
Tepat dua hari sebelum turun dari jabatannya, Joko Widodo menyempatkan diri mengesahkan Perpres Nomor 131 Tahun 2024 Tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Food Estate (BOPKFE) Sumatera Utara.
Lembaga ini diberi mandat untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan food estate di lahan seluas 15.057 hektar yang tersebar di empat kabupaten. Nantinya, lembaga ini akan diarahkan oleh menteri-menteri dan Badan Pelaksana yang melapor langsung kepada Presiden tanpa melibatkan Pemerintah Kabupaten, apalagi masyarakat lokal.
Seolah tak belajar dari kegagalan proyek lumbung pangan di Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan yang mengakibatkan petani kehilangan tanah dan terlilit hutang, pemerintah tetap menunjuk lokasi baru sebagai Proyek Srategis Nasional (PSN) ini.
Dalam rencana ini, maka seluas 969,16 hektar lahan yang ditunjuk sebagai lokasi perluasan lumbung pangan nasional adalah ladang dan hutan kemenyan milik masyarakat Pargamanan-Bintang Maria.
Padahal di tepi hutan kemenyan milik masyarakat Bintang Maria, terdapat mata air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat di pusat Kecamatan Parlilitan. Sumber mata air tersebut berada di titik koordinat 2°21’18.3″ N, 98°31’11.5″ E.
Ironinya, mata air tersebut masuk ke dalam Kawasan Hutan Produksi Konversi dan dicadangkan untuk pengembangan food estate. “Jika food estate dibangun, mata air ini akan menjadi sumber air mata,’’ keluh Sitanggang.
Jika ladang dan hutan tersebut diubah fungsi menjadi lokasi pengembangan komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan maka ketimpangan penguasaan tanah dan ketimpangan ekonomi semakin tajam.
Mendorong Forestry Land Reform di Pargamanan-Bintang Maria
Lima belas tahun lamanya persoalan yang terus bergulir memaksa negara hadir di tengah-tengah masyarakat Pargamanan-Bintang Maria untuk menyelesaikan konflik agraria hingga kini tak kunjung mendapat titik terang.
Makna agraria dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 tidak hanya sebatas tanah, melainkan sumberdaya alam meliputi tanah, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Semangat UUPA adalah untuk menjamin hak rakyat, khususnya rakyat miskin, atas lahan dan pemanfaatan kekayaan alam sebagai upaya menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan. UUPA tidak lagi berfungsi sebagai ‘hukum dasar’ untuk mengatur sumber agraria.
Sejak Orde Baru pembangunan pedesaan dapat dicapai tanpa melalui reforma agraria (land reform), dimana sejak saat itu konflik agraria terus bertambah.
Di saat era Jokowi, reformasi agraria di kawasan hutan, mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 adalah melalui lima skema Perhutanan Sosial; Hutan Adat, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan Kehutanan.
Melalui-melalui skema yang ada hanya sebatas penyerahan akses legal pengelolaan kawasan hutan tanpa adanya penataan ulang struktur penguasaan tanah. Padahal, ketimpangan penguasaan tanah antara rakyat dan negara yang menjadi akar permasalah di pedesaan.
Hal ini yang bertolak belakang dengan semangat forestry land reform yang lebih menekankan distribusi dan redistribusi lahan, alih-alih sekedar memberikan akses untuk mengelola atau menggunakan sumberdaya yang berada pada suatu areal yang dinamakan sebagai ‘hutan’. (Bachriadi, 2021)
Forestry land reform adalah kebalikan atau tandingan dari Perhutanan Sosial, konsep ini sangat mungkin dilakukan di wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria. Negara hanya perlu memberikan penguasaan penuh atas tanah dan hutan milik masyarakat untuk dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri.
Mengingat, wilayah tersebut tumpang tindih dengan konsesi perusahaan dan agenda-agenda akumulasi modal lainnya, maka negara perlu mengeluarkan wilayah masyarakat dari izin-izin tersebut terlebih dahulu. Hal ini dipercaya bakal dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat lokal melalui kemampuan mereka mengelola hasil-hasil hutan seperti pangan lokal, kemenyan, rotan dan obat-obatan tradisonal serta berbagai sumber-sumber agraria yang terkandung di wilayahnya.
Referensi
Ahmad Arif. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan, Kepustakaan Populer Gramedia; Jakarta, 2021.
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Agrarian Resource Center (ARC), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA); Bandung, 2011.
Dianto Bachriadi. Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah ‘Kawasan Hutan’, ARC Books; Bandung, 2020.
Rainforest Action Network. Exposing Royal Golden Eagle Group’s Sprawling Empire of Destruction, Forest Frontlines; Maret 2024.
*Romian Siagian, penulis adalah pegiat di Divisi Studi dan Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Artikel ini adalah opini penulis.