- Sejumlah kalangan dari pegiat lingkungan dan akademisi turut menyoroti tambak udang PT Delta Guna Sukses (DGS) dan Anugerah Tanjung Gumukmas (ATG) yang diduga mencemari pesisir Jember, Jawa Timur (Jatim). Mereka mendesak penutupan tambak agar tak makin cemari lingkungan.
- Wahyu Eka Setiawan, Direktur Walhi Jatim sebut tambak di pesisir Jember bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10/2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2023-2043, bahwa pesisir selatan Jatim bukan diperuntukkan untuk budidaya perikanan intensif seperti tambak udang.
- Fikerman, dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) katakan, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebut bahwa pengelolaan wilayah pesisir dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
- Chandra Indrianto, Direktur PT DGS menyebut total luas tambak perusahaannya mencapai 83 hektar yang tersebar di sejumlah blok. Ia klaim limbah tambak yang dibuang telah melalui proses pengolahan di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Sejumlah kalangan dari pegiat lingkungan dan akademisi turut menyoroti tambak udang PT Delta Guna Sukses (DGS) dan Anugerah Tanjung Gumukmas (ATG) yang diduga mencemari pesisir Jember, Jawa Timur (Jatim). Mereka mendesak penutupan tambak agar tak makin cemari lingkungan.
“(Tambak-tambak modern) ini pelanggaran serius terhadap peraturan tata ruang dan lingkungan hidup,” kata Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Jumat (7/3/25).
Sebelumnya, dalam rapat itu rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Jember, Rabu (12/3/25), perwakilan warga mendesak penghentian aktivitas tambak. Selain mencemari lingkungan, tambak juga tidak memberi dampak positif apapun. “Apakah tambak ini nyumbang ke pendapatan desa atau bahkan Pendapatan Asli Daerah Jember? Kami di desa tidak pernah tahu itu,” kata Arif Sukoco, Ketua Kelompok Perjuangan Masyarakat Kepanjen (KPMK).
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10/2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jatim 2023-2043, menyebut, pesisir selatan Jatim, termasuk Jember, bukan untuk budidaya perikanan intensif seperti tambak udang.
Dalam RTRW itu menyatakan, pemanfaatan ruang di kawasan sempadan pantai harus mempertimbangkan fungsi lindung, termasuk pencegahan pencemaran laut dan abrasi. Perda itu juga mengatur pembatasan pengembangan budidaya di kawasan pesisir yang berdekatan dengan pertahanan dan keamanan serta wilayah konservasi.
Jadi, kata Wahyu, tambak udang di pesisir selatan Jember bertentangan dengan kebijakan tata ruang dan dapat meningkatkan risiko bencana bagi masyarakat pesisir. Terlebih, kawasan ini masuk dalam zona rawan tsunami.
Selain RTRW, katanya, tambak juga melanggar UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Berdasarkan UU itu, setiap kegiatan berisiko mencemari lingkungan harus memiliki izin dan memenuhi baku mutu lingkungan.
Peraturan Gubernur (Pergup) Jatim Nomor 37/2022 tentang pengelolaan tambak udang windu dan vaname juga atur bahwa tokasi tambak harus sesuai peruntukan tata ruang, memenuhi standar lingkungan. Limbah pun harus kelola dengan baik untuk mencegah pencemaran, dan pengawasan pencemaran minimal satu kali per tahun
Wahyu bilang, sebagai kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi, pesisir selatan Jatim harus dipertahankan sebagai zona konservasi. “Pasal 9 RTRW Jawa Timur menegaskan, segala bentuk kegiatan yang dapat merusak ekosistem pesisir dilarang, termasuk alih fungsi lahan yang berdampak pada keanekaragaman hayati.”
Kerusakan pesisir, katanya, tidak hanya menghancurkan habitat alami seperti gumuk pasir dan hutan mangrove. juga mengancam spesies satwa dilindungi, seperti penyu dan burung bubut Jawa.
Pasal 11 Perda RTRW Jatim menyebut, harus cegah alih fungsi lahan produktif, terutama lahan pertanian dan kawasan pesisir yang memiliki fungsi ekologis penting. Selain itu, zona inti kawasan konservasi hanya boleh untuk penelitian dan pelestarian, bukan kepentingan industri perikanan skala besar seperti tambak udang.
Berdasarkan UU PPLH, kata Wahyu, membuang limbah ke laut tanpa izin dapat kena sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda hingga Rp3 miliar. Untuk itu, katanya, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus bertindak tegas untuk menghentikan operasional tambak ilegal dan memulihkan ekosistem pesisir yang rusak.
Wahyu mendesak, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim segera menindak tambak udang ilegal di pesisir Jember yang cemari lingkungan dan merusak ekosistem pesisir. “Operasional tambak udang yang tidak memiliki izin lengkap dan tidak memenuhi standar pengelolaan lingkungan.”
Dia mendesak, pemerintah melakukan pemulihan lingkungan pesisir dan konservasi habitat satwa yang terancam. Serta, melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti mencemari lingkungan, sesuai UU PPLH dan PERGUB 37/2022.

Rugikan nelayan kecil
Fikerman, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) sepakat, aktivitas DGS dan ATG bertentangan dengan sejumlah peraturan antara lain, Perda Jatim 10 2023 tentang RTRW yang mengintegrasikan Perda RZWP-3-K ke dalamnya.
Beleid itu menyebutkan, perairan laut Jember tidak untuk tambak, melainkan zona perikanan tangkap dan kawasan konservasi dengan rincian kawasan konservasi lainnya dan zona pencadangan kawasan konservasi.
Selanjutnya, bertentangan dengan tujuan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Aturan ini menyatakan, pengelolaan wilayah pesisir dengan tujuan melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
“Jika di perairan Desa Mayangan dan Kepanjen terdapat ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang yang terkena dampak dari tambak, mulai dari pembukaan dan alih fungsi lahan, hingga operasionalnya, jelas bertentangan dengan aturan itu.”
Fikerman menyebut, aktivitas tambak merugikan nelayan kecil. Terbukti dari makin jauh nelayan mencari dan mendapatkan ikan, yang berdampak pada membengkaknya biaya operasional. Makin sulit mencari ikan menjadi indikator ekosistem tercemar.
“Karena terumbu karang dan mangrove adalah habitat alami ikan dan biota lainnya. Juvenil dari ikan karang menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat pertumbuhan sebelum bermigrasi ke ekosistem terumbu karang,” katanya.
Kerugian nelayan baik secara ekonomi maupun ekologi seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk menghentikan aktivitas tambak ini.
Menurut dia, perlu perhatikan tiga aspek aspek dari keberadaan tambak di sempadan pantai. Pertama, persetujuan masyarakat atas aktivitas pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Kedua, keberlanjutan sosial, ekologi, dan ekologi wilayah pesisir dan laut. Ketiga, kesesuaian pemanfaatan ruang pesisir dengan peraturan tentang tata ruang darat maupun laut.
“Jika ada salah satu dari tiga aspek tersebut tidak terpenuhi, maka pemanfaatan ruang pesisir dan laut untuk kegiatan apapun termasuk pertambakan, idealnya harus dievaluasi, bahkan dicabut.”

Ada beberapa ancaman bila aktivitas tambak itu terus berlangsung. Dalam jangka pendek, katanya, nelayan akan makin sulit melaut. “Kesulitan tersebut akan berdampak pada semakin meningkatnya beban biaya produksi nelayan dan semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan.”
Untuk jangka panjang, akan berisiko menciptakan konflik antara masyarakat dengan masyarakat lain yang ada di industri itu. Bahkan juga dapat menurunkan jumlah nelayan di desa itu.
Dia menilai, pembiaran kasus itu hingga terus muncul protes dari warga, menjadi salah satu indikator ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Tindakan itu, katanya, secara tidak langsung sebagai bentuk pembiaran dugaan perusakan lingkungan pesisir selatan Jember.
“Seharusnya, pemerintah daerah (Pemkab Jember) memiliki sensitivitas perlindungan lingkungan ekosistem pesisir dan berperan aktif dalam menindaklanjuti keluhan warga pesisir di Mayangan dan Kepanjen tersebut,”
Fikerman katakan, dalih Pemda tidak mempunyai wewenang adalah bentuk ketidak proaktifan dan lepas tangan atas permasalahan yang sudah lama berlangsung. Dia mendorong, warga terus berjuang guna mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim, Dinas Lingkungan Hidup jatim bahkan KKP untuk investigasi dan audit lingkungan serta memvalidasi keabsahan perizinan.
“Jika terbukti melanggar, penegakan hukum harus ditegakkan. Termasuk, mewajibkan perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan.”
Chandra Indrianto, Direktur DGS klaim pembuangan limbah tambak sudah melalui proses pengolahan di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Dia sampaikan kala hadiri rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Jember, Rabu (12/3/25). “Itu semua harus lewat IPAL, tidak langsung (dibuang) pada sungai,” katanya.
Luas tambak lebih 83 hektar tersebar di tiga blok. Khusus tambak udang, 35 hektar, 25 hektar ada di Blok B dan C. Sedangkan Blok A, sekitar 10 hektar.
Mongabay berusaha meminta penjelasan lebih lanjut tetapi Chandra menolak memberi keterangan.
Suhana, Pakar Sosial Ekonomi Perikanan dari Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta mengatakan, harus segera menghentikan pembukaan tambak udang seperti Jember , apalagi berdampak pada warga dan lingkungan. “Karena kalau tidak, aktivitas ekonomi masyarakat akan terganggu, juga akan semakin mempersulit Indonesia lepas dari isu budidaya udang yang tidak berkelanjutan,” Rabu (12/3/25)
