Sasi dan Hak Tenurial Masyarakat Haruku

2 months ago 64
  • Masyarakat adat di Negeri Haruku, Maluku, memiliki sistem konservasi yang disebut sasi. Ada empat jenis sasi yang berlaku yakni sasi laut, sasi hutan, sasi lompa (sejenis sardin kecil) dan sasi dalam negeri. Praktik konservasi itu dilaksanakan dengan membaca tanda-tanda alam atau yang disebut nanaku.
  • Meski telah banyak penelitian ilmiah tentang sasi. Namun, konservasi berbasis masyarakat adat itu, belum banyak diteliti dari aspek tenurial. Imbasnya, pengetahuan tentang kearifan masyarakat adat terbatas pada lingkup kecil.
  • Dedi Supriadi Adhuri, Ahli Peneliti Utama BRIN mengatakan terdapat 5 hak tenurial masyarakat pesisir. Di antaranya hak akses, hak eksploitasi atau mengambil sumber daya, hak untuk meregulasi pemanfaatan, hak untuk mengeksekusi orang luar atau menentukan siapa yang berhak mengakses, serta hak alienasi atau hak untuk menjual atau menyewakan wilayah kepada pihak lain.
  • Hermien Soselisa, Guru Besar Universitas Pattimura mengatakan, petuanan masyarakat pesisir bisa dikenali dari nama lokal sebagai batas teritorial dan tata kelola ruang laut. Menurut dia, masyarakat pesisir mengelola wilayah petuanan secara komunal. Hal itu dipercaya merekatkan mereka pada kewajiban dan keuntungan dari pengelolaan wilayah.

“Kalau mau tanam nangka, tanam saja di dalam tanah. Beta seng pernah sangka sasi terkenal di mana-mana.”  Begitu  Eliza Kissya, Kepala Kewang Negeri Haruku, mengisi ceramah dengan pantun.

Sudah 45 tahun, lelaki dengan sapaan Opa Eli ini, menjadi kewang, jabatan dalam struktur adat di Negeri Haruku, Maluku. Tugasnya, menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di pulau itu.

Salah satu mekanisme perlindungan yang Masyarakat Adat Haruku buat adalah sasi, praktik konservasi berbasis masyarakat adat. Ada empat jenis sasi yang berlaku yakni sasi laut, sasi hutan, sasi lompa (sejenis sardin kecil) dan sasi dalam negeri.

Sasi dengan sistem buka-tutup kawasan. Eli bilang, praktik konservasi dengan membaca tanda-tanda alam atau  nanaku. “Ilmu nanaku bukan ilmu di kampus. Katong tahu buka atau tutup sasi. Jadi, ini (pengetahuan) tradisional,” katanya dalam Simposium Tenurial Laut dan Pesisir di Maluku dan Papua, awal Februari 2025.

Dia contohkan, sasi lompa mulai ketika nener (benih lompa)  terlihat. Di masa itu, Kepala Kewang menyelenggarakan upacara panas sasi, dan mengingatkan warga untuk menjaga sungai Learisa Kayeli.

Warga juga  tak boleh menangkap lompa, mencuci peralatan dapur atau buang sampah ke sungai. Larangan ini  sebagai cara menjaga pertumbuhan, kesehatan dan kelestarian ikan.

Selesai upacara, Kepala Kewang akan memasang tanda sasi yang disebut kayu buah sasi, kayu yang ujungnya diikat daun tunas kelapa berbentuk ikan dan dipasang di tempat tertentu sebagai tanda wilayah sasi.

“Tanda sasi di Haruku beda dengan pulau-pulau lain. Di Haruku menyerupai bentuk ikan. Bahkan di dalam tubuh ikan itu dipasang sumber daya alam yang ada di hutan. Artinya, ada hubungan sasi di sungai dan sasi di hutan,” katanya. 

Masa panen (buka sasi), katanya, baru bisa ketika kewang menyaksikan benih-benih ikan telah bertumbuh jadi ikan lompa dewasa. Serta, menghitung penanggalan di bulan tertentu untuk memperkirakan air surut.

Setelah upacara buka sasi, masyarakat boleh menangkap ikan beramai-ramai. Biasanya, aktivitas itu untuk satu atau dua hari. Setelahnya, kewang kembali menutup sasi untuk jangka waktu satu tahun.

Sayangnya, keberlanjutan sasi saat ini terancam oleh pertambangan, sampah, kerusakan ekosistem mangrove, karang, hingga abrasi pantai. Juga penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan. Karena itu, dia mengajak anak-anak muda di Pulau Haruku untuk menjalankan aksi konservasi.

Beta buat pembibitan bakau ribuan anak ikut ikut, juga transplantasi terumbu karang. Katong juga pasang spanduk supaya sampah itu tidak boleh dibuang ke dalam sungai.” 

Warga mengelar ritual penutupan sasi di Maluku. Foto: dokumen LPPM Maluku/Mongabay Indonesia.

Minim singgung hak tenurial

Banyak penelitian ilmiah tentang sasi, namun konservasi berbasis masyarakat adat itu, hanya sedikit yang menyinggung aspek tenurial. Imbasnya, pengetahuan tentang kearifan masyarakat adat terbatas pada lingkup kecil.

Dedi Supriadi Adhuri, Ahli Peneliti Utama BRIN mengatakan, ada sejumlah kelemahan dari riset-riset tentang sasi. Misal, kurang perhatian pada isu wilayah kelola dan tenurial, tidak membahas aturan kelola di luar aturan sasi, juga tidak mendiskusikan konteks sosial budaya yang mempengaruhi pengelolaan itu. 

Sistem tenurial adalah hubungan sosial yang menentukan siapa yang boleh menggunakan sumber daya tertentu, untuk waktu berapa lama, dan dalam kondisi apa. “Ini definisi dari pedoman FAO untuk perlindungan nelayan kecil. Dan kita sudah mengadopsi definisi ini,” kata Dedi.

Terdapat lima hak dalam sistem ini. Pertama, hak akses untuk memasuki atau melewati wilayah tertentu. Kedua, hak eksploitasi atau mengambil sumber daya di daerah itu. Ketiga, hak untuk meregulasi pemanfaatan dan transformasi wilayah untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitasnya.

Keempat, hak untuk mengekslusi orang luar atau menentukan siapa yang berhak mengakses dan bagaimana itu ditransfer. Kelima hak alienasi atau hak untuk menjual atau menyewakan wilayah kepada pihak lain.

“Kalau kita bicara haknya, lima hak itu bisa kita identifikasi (dalam sasi). Hak akses dan hak eksploitasi, itu biasanya dimiliki  semua warga. Kemudian hak kelola, eksklusi dan alienasi ada pada pemimpin negeri (raja, tuan tanah, negeri, pemimpin agama dan kewang).”

Dedi menilai, kajian-kajian tentang sasi penting juga fokus pada petuanan (wilayah adat) di negeri-negeri atau desa-desa pesisir. Sebab, wilayah petuanan ini lebih besar  dari wilayah sasi, serta memiliki aturan-aturan kelola.

“Ternyata di luar sasi, ada juga aturan-aturan lain yang diimplementasikan. Misal, menyangkut destructive fishing,  penggunaan bom, potas dilarang. Kemudian, pertambangan pasir dan batu ada juga regulasinya.” 

Menurut identifikasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), pembagian ruang menurut adat Haruku terbagi atas ruang darat dan ruang pesisir-laut. Di daratan, ada ewang atau hutan alami yang dilindungi seluruh masyarakat adat, menjadi tempat berburu dan mencari hasil hutan. Kabong, kebun aktif masyarakat.

Ada pula dusung, hutan masyarakat yang ditanami tumbuhan umur panjang seperti cengkih, pala, sagu, durian, kelapa, dan lain sebagainya. Kemudian, aong, wilayah bekas kebun yang mereka tinggalkan 3-5 tahun untuk kembali tanami lagi. Kampong, wilayah yang jadi pemukiman.

Sementara di pesisir-laut, masyarakat menyebut meti untuk wilayah pesisir yang mengering saat air laut surut. Tohor, wilayah perairan dangkal, serta saaru atau perairan laut dangkal dan dalam yang jadi tempat cari ikan.

Pemasangan batas wilayah buka-tutup penangkapan gurita oleh nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar selama 3 bulan. Setelah 3 kali dilakukan buka-tutup ditemukan hasil yang bagus melampaui ekspektasi. Foto : YKL Indonesia.

Pengaturan wilayah Petuanan

Hermien Soselisa, Guru Besar Universitas Pattimura mengatakan, petuanan masyarakat pesisir bisa tahu dari nama lokal sebagai batas teritorial. Penamaan teritori disebut sebagai bukti fisikal, sejarah, pengetahuan, nilai, identitas, maupun kedekatan masyarakat pesisir dengan lingkungan hidupnya.

“Di Seram Timur, saya catat ada 64 titik yang dikenal masyarakat di laut. Jadi mereka namakan titik-titik itu tidak pakai GPS,” katanya.

Penandaan lain bisa terlihat dari tata kelola ruang laut. Dia contohkan, di Kepulauan Kei, masyarakat membagi sasi dalam beberapa klasifikasi. Ada sasi 100% seperti zona inti yang tidak boleh ada intervensi. Ada juga sasi 50% dengan ketentuan boleh ambil ikan selain ikan lola dan teripang.

Hermien menilai, pengaturan itu berdasarkan  pengetahuan lokal masyarakat pesisir, khususnya menyangkut hak konsumsi. Namun, terdapat pula pertimbangan keberlanjutan lingkungan hidup.

Misal, katanya, anak-anak dan perempuan dapat wilayah pemanfaatan tidak jauh dari meti. Meski hanya memberi dampak ekonomi yang kecil, tapi aktivitas di wilayah itu dipercaya berkontribusi menjaga keberlanjutan lingkungan.

Keberlanjutan lingkungan juga didorong dengan keberadaan mitos di seputaran masyarakat. Bahkan, wilayah-wilayah keramat. katanya,   jadi alasan keberlanjutan sasi. “Kalau wilayah pamalinya hancur, sasi juga hancur otomatis,” ucap Hermien.

Pada umumnya, masyarakat pesisir mengelola wilayah petuanan secara komunal. Sepanjang tidak ada larangan adat, mereka boleh mengakses ruang-ruang tertentu yang mereka  percaya merekatkan  pada kewajiban dan keuntungan dari pengelolaan wilayah.

Yang jadi soal, ketika hak kelola itu beralih atau berpindah jadi hak privat, maka masyarakat akan kehilangan akses, keuntungan dan tanggung jawab dari wilayah petuanannya. “Ketika hak masyarakat adat dialihkan, ditarik, kenapa dia harus wajib menjaga di situ? Haknya juga sudah hilang,” ucap Hermien.

Dia berharap, kajian-kajian terkait sasi perlu memberi penekanan lebih pada aspek petuanan dan  menjawab tantangan  masyarakat adat, terutama hak-hak tenurialnya. 

******

Sasi Lompa, Tradisi Jaga Pesisir Orang Haruku

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|