- Nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar, Sulawesi Selatan, menerapkan sistem buka-tutup perairan selama tiga bulan di tiga lokasi berbeda untuk menjaga populasi gurita dan ekosistem laut secara berkelanjutan.
- Forum Pasibuntuluki bersama masyarakat dan pemerintah menetapkan aturan ketat, termasuk larangan menangkap gurita, pemasangan tanda batas, serta pengawasan rutin guna memastikan kepatuhan terhadap sistem buka-tutup.
- Meskipun berjalan efektif, pengelolaan ini masih menghadapi tantangan legalitas. Nelayan berharap adanya perlindungan hukum lebih kuat agar sistem buka-tutup dapat diakui secara resmi dan berkelanjutan.
- Keberhasilan sistem ini menunjukkan bahwa nelayan mampu mengelola sumber daya laut secara mandiri. Dukungan hukum, pendampingan, dan kesadaran kolektif diperlukan untuk menjamin keberlanjutan inisiatif konservasi ini.
Sekelompok nelayan dari Pulau Langkai dan Lanjukang berkumpul di halaman rumah seorang warga di Pulau Lanjukang, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) akhir Februari. Mereka bersiap untuk mengawasi laut dan merumuskan strategi agar kegiatan itu berjalan efektif.
Mereka ini para nelayan yang tergabung dalam Forum Pengelola Sistem Buka dan Tutup Gurita Lanjukang dan Langkai (Pasibuntuluki). Mereka merasa perlu mengawasi untuk memastikan sistem buka-tutup gurita, yang sudah berjalan sejak Januari-Maret 2025. Selama periode ini, seluruh aktivitas penangkapan gurita setop, baik nelayan setempat maupun nelayan dari luar.
Forum Pasibuntuluki mengelola sistem buka tutup di perairan sekitar Pulau Langkai dan Lanjukang dengan luas sekitar 400 hektar. Luasan itu mencakup kawasan konservasi dan area di luar pencadangan. Kawasan yang masuk dalam sistem buka tutup sudah mereka tandai dengan pelampung sebagai batas wilayah, terletak di sebelah Pulau Lanjukang.
“Kami rutin pengawasan untuk memastikan tidak ada aktivitas penangkapan gurita atau ikan lain di lokasi yang ditutup, termasuk memantau kemungkinan aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan,” kata Erwin, Koordinator Forum Pasibuntuluki.
Penerapan sistem buka tutup ini sudah rutin dalam tiga tahun terakhir. Untuk tahun ini, penerapan buka tutup berlaku di tiga lokasi, sebagaimana kesepakatan dalam pertemuan pada 14 Februari 2025 di Pulau Lanjukang. Ketiganya , adalah sebelah utara Pulau Lanjukang (Januari-Maret), sebelah selatan pulau (Mei-Juli), dan sebelah barat pulau (September-November).
Tiga periode buka-tutup sebelumnya juga berlangsung di lokasi sama, namun titik koordinat dan luasan berbeda. Pada buka tutup 22 Maret-23 Juni 2023 seluas 55,2 hektar. Pada buka-tutup periode 16 September–17 Desember 2023 seluas 30 hektar dan periode Agustus–November 2024 di area 6,8 hektar.
Lokasi buka tutup ini di Wilayah Pencadangan Konservasi Daerah Pulau Lanjukang, berdasarkan Perda No.3/2022 tentang RTRW Sulsel tahun 2022-2041, dengan luas kawasan 1.654, 38 hektar.
Selain sistem buka-tutup, Forum Pasibuntuluki juga menjalankan program prioritas lain, seperti memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak, meningkatkan pengawasan, mengembangkan konservasi melalui transplantasi karang dan pelestarian penyu, serta mendorong ekonomi masyarakat melalui pariwisata dan pengelolaan hasil laut.
“Kami berharap, kesepakatan ini semakin memperkuat sistem yang kami jalankan dan mendapatkan dukungan lebih luas. Semua ini demi keberlanjutan laut kita,” kata Erwin.

Kelestarian laut
Menurut Erwin, pertemuan 14 Februari 2025 di Pulau Lanjukang menjadi mementum penting terkait tata kelola wilayah laut berbasis masyarakat. Selain nelayan, dalam pertemuan ini juga hadir pemerintah provinsi dan kota, Polri/TNI, penyuluh perikanan, Badan Pengelola Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata, serta pihak terkait lain.
Dalam pertemuan itu, para nelayan menegaskan komitmen menjaga keberlanjutan ekosistem laut dengan menutup sementara lokasi penangkapan gurita sesuai jadwal. Selama masa penutupan, tidak ada yang boleh menangkap gurita, kecuali pemancing yang menggunakan metode tradisional seperti kedo-kedo, pemancing tenggiri, ande-ande, dan alat tangkap lain yang tidak mengancam kelestarian gurita.
Batas wilayah penutupan juga mereka tandai dengan pelampung dan bendera, dan papan pengumuman berisi informasi larangan penangkapan gurita. Forum Pasibuntuluki bersama masyarakat aktif melakukan pengawasan untuk memastikan aturan dipatuhi dan mencegah pelanggaran.
Larangan keras juga , katanya, merusak atau mengambil tanda pembatas sistem buka-tutup. Kalau ada yang melanggar, mereka akan mendapat teguran. Kalau pelanggaran berulang, akan ada sanksi lebih tegas, termasuk penyitaan hasil tangkapan yang kemudian mereka sumbangkan untuk kepentingan masyarakat. Pelanggar juga dapat dilaporkan kepada pihak berwenang untuk tindakan lebih lanjut.
Adi Zulkarnaen, Koordinator Networking Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, menekankan pentingnya peran masyarakat dalam tata kelola laut. “Kita tidak hanya menutup wilayah tangkap sementara, juga menyepakati strategi penguatan tata kelola ke depan. Langkah ini menunjukkan kepedulian tinggi masyarakat pesisir terhadap kelestarian sumber daya laut yang menjadi sumber penghidupan mereka,” katanya.
Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia, mengapresiasi inisiatif nelayan mendorong pemanfaatan sumber daya secara lestari. Dia yakin, sistem buka tutup tidak hanya memastikan keberlanjutan setok ikan di alam, juga mempercepat pemulihan ekosistem.
“Dulu, hanya satu lokasi yang ditutup selama tiga bulan, dan setiap periode penutupan selalu dibahas ulang. Sekarang, tiga lokasi ditetapkan sekaligus untuk satu tahun penuh. Ini adalah hasil dari pembelajaran bersama,” katanya.

Banyak tantangan
Penerapan praktik buka-tutup para nelayan sejatinya berjalan cukup efektif, kendati inisiatif hanya berdasarkan surat keputusan (SK). Walau Jala, Ketua II Forum Pasibuntuluki sedikit khawatir soal payung hukum ini karena belum cukup kuat mengikat.
Dia berharap, agar praktik ini teraplikasi dalam konteks lebih luas. “Kami ingin kegiatan berjalan aman dan berkelanjutan. Kami sudah berusaha menjaga dan mengelola laut dengan baik, tetapi kami butuh dukungan agar tidak terjadi konflik,” katanya.
Menanggapi hal ini, Astuty, dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan menegaskan, pemerintah mendukung penuh inisiatif masyarakat. “Kami ingin tata kelola ini terintegrasi dengan kawasan konservasi untuk memberikan perlindungan lebih bagi nelayan yang telah berinisiatif menjaga lautnya.”
Rizky Sapharina dari Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata menambahkan bahwa dalam hal pengawasan, masyarakat memiliki peran sebagai pelapor. “Masyarakat tidak boleh melakukan tindakan penegakan hukum, tetapi dapat mencatat dan melaporkan pelanggaran kepada pihak yang berwenang,” katanya.
Munandar Jakasukmana dari BPSPL Makassar menyoroti pentingnya peningkatan legalitas. “Jika kawasan ini masuk dalam pencadangan kawasan konservasi, maka penetapannya akan ditandatangani oleh menteri, yang berarti perlindungannya jauh lebih kuat,” katanya.
Hal ini, menjadi harapan besar bagi masyarakat yang telah bekerja keras menjaga perairan mereka.
Menurut Nirwan, sistem buka-tutup ini menunjukkan, masyarakat pesisir Pulau Langkai dan Lanjukang bisa menjadi pelaku utama dalam menjaga laut mereka. “Keberhasilan sistem ini bukan hanya soal keberlanjutan ekosistem, tetapi juga membangun kemandirian nelayan dalam mengelola sumber daya alam mereka.”
Namun, untuk memastikan keberlanjutan sistem ini dalam jangka panjang, pelru dukungan dari berbagai pihak. Pengakuan hukum lebih kuat, pendampingan dari pemerintah dan lembaga konservasi, serta kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya sistem ini menjadi kunci keberhasilan pengelolaan laut berbasis masyarakat.
*****
Program Buka Tutup, Sukses Tingkatkan Hasil Tangkapan Gurita di Makassar